Sabtu, 31 Mei 2014

Membandingkan Anak


gambar dari sini


“Siapa bilang tak boleh membandingkan anak?” tanya seorang dokter spesialis THT di sebuah rumah sakit swasta.
Saya sedikit terkejut dan segera membenarkan posisi duduk, siap menyimak kelanjutannya.
“Tapi dengan siapa dulu. Seorang anak berhak dibandingkan dengan dirinya sendiri hari ini dengan bulan kemarin, hari ini dengan tahun lalu, ada perkembangan tidak.”
Oooo…
“Jika membandingkannya dengan anak tetangga, anak lain, atau bahkan antara ABK dengan non ABK, itu tak adil buatnya. Semua anak memiliki tahapan perkembangannya masing-masing.”

Ya, setiap anak memiliki tahap perkembangannya msing-masing yang tak bisa disamaratakan. Memang ada patokan khusus dari para ahli, bahwa misalnya, bayi usia 6 bulan harus mulai ngoceh, sebelum usia 2 tahun harus sudah bisa mengucapkan beberapa kata yang mengandung arti sebelum divonis lambat bicara lalu dianjurkan terapi, dan sebagainya. Jika tak sesuai tahap perkembangan, bisa konsultasi kepada dokter spesialis anak, psikolog, atau bahkan berbagi cerita dengan ibu yang berpengalaman hampir sama.

Namun yang terpenting dari semua itu adalah limpahan kasih sayang yang tidak tebang pilih dan menerima anak sebagai anugerah Tuhan terbaik yang diberikan kepada kita. Anak sulung saya adalah seorang ABK tuan rungu. Saya mewajibkan diri untuk menuliskan setiap perkembangannya di sebuah buku harian amburadul. Buku harian yang bersatu dengan coretan kedua anak saya, karena mereka selalu berebut ingin ikut menulis ketika saya memegang bolpen dan buku.  

Dalam buku harian amburadul itu tercatat, apa saja yang saya pernah saya dietkan, terapi yang pernah dijalani (alternative), kemajuan yang pernah dicapainya, dan beberapa hal lain. Ternyata anak saya sudah tidak lagi tantrum, sudah menurut ketika tidak boleh ambil minuman kemasan setiap saya ajak belanja, tak lagi membenturkan kepalanya ketika marah. Yang membuat saya terharu ketika dia berusaha bersusah payah menirukan kata-kata yang diajarkan dalam terapi, namun penangkapannya masih terbatas. Tapi saya tahu dia sudah sangat berusaha. Di lain waktu, saya sering mengintip dia coba menirukan yang diajarkan meski belum sempurna, bahkan sudah hafal jika akan meminta bantuan saya, dia harus bersuara dulu karena saya mewajibkannya.  

Ah, bersyukur, bersyukur, bersyukur.
Sepertinya dulu itu semua tak mungkin, namun dengan menuliskannya saya jadi tahu apa yang pernah terjadi dan sangat bersyukur ketika mengetahui setiap tahap perkembangannya. Bagaimanapun, saya harus menerima bahwa memang tahapnya tak sama dengan anak normal seusianya. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua anak berhak memiliki catatan pribadi perkembangannya masing-masing, demi menyadari betapa Tuhan tak pernah berhenti menurunkan karuniaNya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar