gambar dari sini |
“Siapa bilang
tak boleh membandingkan anak?” tanya seorang dokter spesialis THT di sebuah
rumah sakit swasta.
Saya sedikit
terkejut dan segera membenarkan posisi duduk, siap menyimak kelanjutannya.
“Tapi dengan
siapa dulu. Seorang anak berhak dibandingkan dengan dirinya sendiri hari ini dengan
bulan kemarin, hari ini dengan tahun lalu, ada perkembangan tidak.”
Oooo…
“Jika
membandingkannya dengan anak tetangga, anak lain, atau bahkan antara ABK dengan
non ABK, itu tak adil buatnya. Semua anak memiliki tahapan perkembangannya
masing-masing.”
Ya, setiap anak
memiliki tahap perkembangannya msing-masing yang tak bisa disamaratakan. Memang
ada patokan khusus dari para ahli, bahwa misalnya, bayi usia 6 bulan harus
mulai ngoceh, sebelum usia 2 tahun harus sudah bisa mengucapkan beberapa kata
yang mengandung arti sebelum divonis lambat bicara lalu dianjurkan terapi, dan
sebagainya. Jika tak sesuai tahap perkembangan, bisa konsultasi kepada dokter
spesialis anak, psikolog, atau bahkan berbagi cerita dengan ibu yang
berpengalaman hampir sama.
Namun yang
terpenting dari semua itu adalah limpahan kasih sayang yang tidak tebang pilih dan
menerima anak sebagai anugerah Tuhan terbaik yang diberikan kepada kita. Anak
sulung saya adalah seorang ABK tuan rungu. Saya mewajibkan diri untuk
menuliskan setiap perkembangannya di sebuah buku harian amburadul. Buku harian
yang bersatu dengan coretan kedua anak saya, karena mereka selalu berebut ingin
ikut menulis ketika saya memegang bolpen dan buku.
Dalam buku
harian amburadul itu tercatat, apa saja yang saya pernah saya dietkan, terapi
yang pernah dijalani (alternative), kemajuan yang pernah dicapainya, dan
beberapa hal lain. Ternyata anak saya sudah tidak lagi tantrum, sudah menurut
ketika tidak boleh ambil minuman kemasan setiap saya ajak belanja, tak lagi
membenturkan kepalanya ketika marah. Yang membuat saya terharu ketika dia
berusaha bersusah payah menirukan kata-kata yang diajarkan dalam terapi, namun
penangkapannya masih terbatas. Tapi saya tahu dia sudah sangat berusaha. Di
lain waktu, saya sering mengintip dia coba menirukan yang diajarkan meski belum
sempurna, bahkan sudah hafal jika akan meminta bantuan saya, dia harus bersuara
dulu karena saya mewajibkannya.
Ah, bersyukur,
bersyukur, bersyukur.
Sepertinya dulu
itu semua tak mungkin, namun dengan menuliskannya saya jadi tahu apa yang
pernah terjadi dan sangat bersyukur ketika mengetahui setiap tahap
perkembangannya. Bagaimanapun, saya harus menerima bahwa memang tahapnya tak
sama dengan anak normal seusianya. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Semua anak berhak memiliki catatan pribadi perkembangannya masing-masing, demi
menyadari betapa Tuhan tak pernah berhenti menurunkan karuniaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar