gambar dari sini |
Nama Maria tak bertujuan atau bermuatan apapun. Jika sama, hanyalah kebetulan semata, diambil dari nama tokoh sebuah dongeng di masa lampau.
Alkisah, ada seorang
gadis cantik bernama Maria di sebuah desa. Tak banyak pemuda yang ingin melamarnya, karena Maria dikenal sebagai gadis yang bodoh. Maria tak kunjung mendapatkan jodoh
hingga suatu hari Alberto dari desa seberang, ingin melamarnya. Para
pemuda lain sudah memperingatkan Alberto supaya tidak menikahinya, namun
keputusan itu sudah bulat. Saat hari yang dinanti tiba, Maria tiba-tiba menghilang.
Setelah dicari-cari, dia ditemukan di gudang penyimpanan anggur, duduk di
lantai sambil menangis bersama tumpahan anggur yang menggenangi lantai.
“Kenapa kamu
menangis, Maria?”
“Aku
membayangkan kita menikah, lalu kita memiliki anak. Lalu karena aku ceroboh, anak kita jatuh ke sungai,
tenggelam, dan meninggal. Huhuhu…”
Mereka yang ikut
mendengarnya tertawa, menertawakan Alberto yang mengetahui sendiri betapa
bodohnya Maria.
Bagaimana, apakah anda ikut menertawakan Maria?
Bagaimana, apakah anda ikut menertawakan Maria?
Untuk Maria masa
kini, tak perlu menangis sedu sedan dengan menyepi ke gudang anggur
sambil melamun. Cukup duduk di tengah keramaian bersama gadget anda dan
terhubung ke berbagai jaringan di seluruh penjuru dunia, dan tahulah anda
bagaimana seorang anak “mati” meski raganya masih bernyawa.
Sejak kisah kasus pelecehan seksual terungkap satu demi satu, tiba-tiba saya merasa terasing dari sebuah dunia yang saya tempati sejak lahir
ini, merasa ketakutan. Adakah tempat aman di dunia yang akan hancur ini? Benarkah
ini hanya di negara saya saja? Jika saya warga negara lain, apakah saya akan
merasakan hal yang berbeda, karena di sana
lebih aman?
Sambil teringat ulasan dari seorang psikolog. Media dan jejaring sosial membombardir dengan berbagai macam isu, dengan mendasarkan pada penelitian, bahwa kebanyakan penggunanya adalah wanita. Wanita itu mudah dipengaruhi, sehingga bisa diarahkan sesuai dengan harapan media dan atau penguasa. So, calm down, calm down, calm down. Tarik napas panjang, menyadari diri sebagai wanita, dan berusaha untuk selogis mungkin. Hiks...
Suatu hari, sekitar sepuluh tahun lalu, saya dan seorang keponakan perempuan di usia balita, duduk di depan warung makan tetangga, menanti pesanan. Cuaca hari itu cukup panas, keponakan saya hanya berbusana baju dalam. Seorang pria tak dikenal tiba-tiba mendatangi kami. Dia tersenyum ramah, menyapa keponakan saya, duduk di sampingnya, dan
langsung mengelus pahanya yang terpapar bebas tanpa celana panjang. Refleks,
dia menarik kakinya lalu mendekat kepada saya. Refleks, saya segera
memangkunya, berbasa-basi sebentar, lalu segera meninggalkan tempat. Setahu
saya, pria dewasa itu tak terlalu suka anak-anak, naluri aja. Kalaupun mereka
suka dengan anak-anak, itu karena mereka ingat dengan anak-anaknya sendiri,
sehingga anak-anak diperlakukan dengan baik dan sopan. Menurut Elly Risman, sentuhan yang boleh adalah sentuhan di
atas bahu, sentuhan membingungkan itu di antara bahu sampai lutut, dan
sentuhan buruk adalah menyentuh bagian yang ditutupi oleh pakaian
renang.
Sekarang, silakan baca data ini.
Maaf, datanya memang berisi hal-hal, yang menurut saya, sebagai ibu, menakutkan. Sempat beberapa kali bertukar cerita dengan sesama ibu, bahkan yang tak terlalu mengakses internet sekalipun, hari-hari ini news become our worst nightmare :(. Dari data ini, salah satu kesimpulan yang cukup menarik adalah, terlalu melepas dan terlalu melindungi, semuanya mengandung pilihan resiko yang hampir sama. Melepas itu berarti melepas anak-anak di antara korban atau mantan korban yang belum kentara. Korban kekerasan seksual itu seperti membawa sebuah virus, yang juga akan menularkannya kepada yang lain dengan berbagai cara. Sedangkan melindungi anak-anak dengan mengurungnya di dalam rumah itu, juga mengandung kemungkinan untuk kejahatan di dalam dan terisolasi dari lingkungan. Anak-anak yang kurang begitu "gaul" juga memungkinkan menjadi korban. Waaaa, terus mau bagaimana ini?
Ah, langsung, saya teringat sebuah
lagu dangdut, "...yaaang sedang-sedang saja..."
Melepas dan melindungi anak-anak ada masanya tersendiri, mengandung pilihan resiko yang mau tak mau harus dihadapi. Pilihan preventif yang baik, antara lain membentengi dengan agama, mengajarkan pendidikan seks sesuai usia, mengajarkan bela diri, dan selanjutnya berdoa yang banyak.
Rasanya kok seperti "Maria" yang bodoh, menangis mengingat nasib anak-anak (dari orang tua manapun dia) yang mendapat "virus" di
masa dia masih berhak untuk bermain saja. Bagaimana dengan masa
depannya dan masa depan lingkungan sekitar yang "tertular". Media semakin liar menelanjangi berbagai jenis kasus rudapaksa, dari berbagai belahan bumi, dengan varian pelaku dari anak-anak SD hingga kakek-kakek.
Saatnya untuk pindah channel ;)
Kita memang tak bisa untuk memprotes kebijakan media untuk memberitakan kasus tertentu. Kalaupun bisa, butuh massa yang cukup handal, semisal melalui petisi. Sebenarnya, butuh tindakan tegas dari pemerintah, supaya warga negara merasa aman dan kasus serupa tak bertambah banyak. Tapi yaaa, harap menungguuuu... Kita sendiri yang harus memindah haluan. Putar sedikit, eh, ketemu urusan politik yang sarat dengan kampanye hitam, bikin ruwet lagi. Putar sedikit, ketemu gosip artis yang setali tiga uang. Putar yang banyak, ketemu apa?
Harus segera "mengadu", demi mendapatkan ketenangan spiritual yang memang sulit dilogika, karena itu bahasa kalbu. Berita itu memang perlu, ambil inti yang penting, lakukan antisipasi yang berhubungan, lalu segera cari kesibukan yang tak berhubungan dengan berita yang menyesakkan dada. Besar sepelenya sebuah berita, banyak tergantung pada efek penyebaran. Karena saya wanita, saya hanya berusaha mengingat kebobrokan moral itu memulai langkahnya dengan mengacaukan wanita dan anak-anak.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Kuatir dan parno itu manusiawi dan wanitawi, tapi hati dan akal tetap harus bekerja sesuai dengan porsinya. Semoga hanya ada satu "Maria" yang bodoh di dalam dongeng, yang menangis tanpa kenyataan.
Kita memang tak bisa untuk memprotes kebijakan media untuk memberitakan kasus tertentu. Kalaupun bisa, butuh massa yang cukup handal, semisal melalui petisi. Sebenarnya, butuh tindakan tegas dari pemerintah, supaya warga negara merasa aman dan kasus serupa tak bertambah banyak. Tapi yaaa, harap menungguuuu... Kita sendiri yang harus memindah haluan. Putar sedikit, eh, ketemu urusan politik yang sarat dengan kampanye hitam, bikin ruwet lagi. Putar sedikit, ketemu gosip artis yang setali tiga uang. Putar yang banyak, ketemu apa?
Harus segera "mengadu", demi mendapatkan ketenangan spiritual yang memang sulit dilogika, karena itu bahasa kalbu. Berita itu memang perlu, ambil inti yang penting, lakukan antisipasi yang berhubungan, lalu segera cari kesibukan yang tak berhubungan dengan berita yang menyesakkan dada. Besar sepelenya sebuah berita, banyak tergantung pada efek penyebaran. Karena saya wanita, saya hanya berusaha mengingat kebobrokan moral itu memulai langkahnya dengan mengacaukan wanita dan anak-anak.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Kuatir dan parno itu manusiawi dan wanitawi, tapi hati dan akal tetap harus bekerja sesuai dengan porsinya. Semoga hanya ada satu "Maria" yang bodoh di dalam dongeng, yang menangis tanpa kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar