Sabtu, 31 Mei 2014

Membandingkan Anak


gambar dari sini


“Siapa bilang tak boleh membandingkan anak?” tanya seorang dokter spesialis THT di sebuah rumah sakit swasta.
Saya sedikit terkejut dan segera membenarkan posisi duduk, siap menyimak kelanjutannya.
“Tapi dengan siapa dulu. Seorang anak berhak dibandingkan dengan dirinya sendiri hari ini dengan bulan kemarin, hari ini dengan tahun lalu, ada perkembangan tidak.”
Oooo…
“Jika membandingkannya dengan anak tetangga, anak lain, atau bahkan antara ABK dengan non ABK, itu tak adil buatnya. Semua anak memiliki tahapan perkembangannya masing-masing.”

Ya, setiap anak memiliki tahap perkembangannya msing-masing yang tak bisa disamaratakan. Memang ada patokan khusus dari para ahli, bahwa misalnya, bayi usia 6 bulan harus mulai ngoceh, sebelum usia 2 tahun harus sudah bisa mengucapkan beberapa kata yang mengandung arti sebelum divonis lambat bicara lalu dianjurkan terapi, dan sebagainya. Jika tak sesuai tahap perkembangan, bisa konsultasi kepada dokter spesialis anak, psikolog, atau bahkan berbagi cerita dengan ibu yang berpengalaman hampir sama.

Namun yang terpenting dari semua itu adalah limpahan kasih sayang yang tidak tebang pilih dan menerima anak sebagai anugerah Tuhan terbaik yang diberikan kepada kita. Anak sulung saya adalah seorang ABK tuan rungu. Saya mewajibkan diri untuk menuliskan setiap perkembangannya di sebuah buku harian amburadul. Buku harian yang bersatu dengan coretan kedua anak saya, karena mereka selalu berebut ingin ikut menulis ketika saya memegang bolpen dan buku.  

Dalam buku harian amburadul itu tercatat, apa saja yang saya pernah saya dietkan, terapi yang pernah dijalani (alternative), kemajuan yang pernah dicapainya, dan beberapa hal lain. Ternyata anak saya sudah tidak lagi tantrum, sudah menurut ketika tidak boleh ambil minuman kemasan setiap saya ajak belanja, tak lagi membenturkan kepalanya ketika marah. Yang membuat saya terharu ketika dia berusaha bersusah payah menirukan kata-kata yang diajarkan dalam terapi, namun penangkapannya masih terbatas. Tapi saya tahu dia sudah sangat berusaha. Di lain waktu, saya sering mengintip dia coba menirukan yang diajarkan meski belum sempurna, bahkan sudah hafal jika akan meminta bantuan saya, dia harus bersuara dulu karena saya mewajibkannya.  

Ah, bersyukur, bersyukur, bersyukur.
Sepertinya dulu itu semua tak mungkin, namun dengan menuliskannya saya jadi tahu apa yang pernah terjadi dan sangat bersyukur ketika mengetahui setiap tahap perkembangannya. Bagaimanapun, saya harus menerima bahwa memang tahapnya tak sama dengan anak normal seusianya. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua anak berhak memiliki catatan pribadi perkembangannya masing-masing, demi menyadari betapa Tuhan tak pernah berhenti menurunkan karuniaNya.   

Jumat, 30 Mei 2014

Cita-cita


gambar dari sini
 
Imagination is more important than knowledge.
Education is what remains after one has forgotten what one has learned in school.
(Albert Einstein)


“….. duluuu, jaman kita masih pada kecil, tanaman hanya dipanen sekali dalam setahun. Sekarang, tanaman bisa dipanen hingga tiga kali dalam setahun. Kok bisa? Ya pakai obat-obatan yang bisa mempercepat pertumbuhannya…..” cerita seorang ibu, seorang agen produk organic yang sedang promosi bakulannya.
Sambil kejar-kejaran dengan anak-anak, saya hanya bisa sedikit menyimak. Lalu memikirkan kenapa itu bisa terjadi ya. Padahal jika dipikirkan lebih mendalam, kurang apa sih Indonesia ini, dijajah sampai sekian ratus tahun hingga nekat proklamasi kemerdekaan meski hanya beberapa Negara yang mengakuinya, tambangnya dikeruk habis-habisan hingga bisa menghidupi sebagian rakyat negara lain, kebakaran hutan berkali-kali, illegal logging, pencurian kebudayaan, dan masih banyak lagi; yang anehnya belum membuat kita “terlihat” melarat. Masih bisa anteng ayem nonton acara gossip di tv hingga bikin acara debat professional, dengan dalih menemukan solusi masalah bangsa.

Simak obrolan lugu dua anak TK berikut ini,
“Aku mau jadi Ultraman kalau gede nanti,”
“Eh, tak boleh punya cita-cita kayak gitu. Cita-cita itu ya jadi dokter, pilot, insinyur,…”
“Biarin, pokoknya aku mau jadi Ultraman,” katanya bersikukuh, dan mereka kembali melanjutkan permainan perang-perangan.
Begitulah, gambaran cita-cita dalam benak anak-anak. Ga nyalahin, saya sendiri juga gitu kok. Rasanya waktu sekolah dulu, kerja ya jadi dokter, perawat, pilot, dan semacamnya yang termasuk ngawulo. Tak ada kok yang bercita-cita jadi tukang bakso atau tukang bubur, meskipun dalam segi pendapatan bisa jadi mereka lebih besar. Memang, pendidikan formal kita tidak mencetak penemu, inisiator, pionir, namun mencetak kawulo, pengikut, pekerja.

“Semua anak harus bisa menggambar. Bangsa yang terbiasa menggambar, akan menjadi bangsa pencetus, jika tak bisa, maka hanya akan menjadi bangsa penyontek,” kata Dik Doank, yang aktif dengan Kandank Jurangk Doanknya.
Mendadak saya mikir, saya tak bisa menggambar tuh. Tiap kali disuruh menggambar, selalu saja menggambar sawah dengan centang, gunung, lalu jalan yang berkelok. Pokoknya pelajaran seni itu momok buat saya. Juga pelajaran olahraga yang selalu bikin trauma dan deg-degan, karena saya tak mahir urusan olah tubuh. Memang sih, berguna untuk kesehatan, tapi kalau demi mengejar nilai sampe adem panas, huaah. Begitu lulus sekolah, satu hal yang membuat saya bahagia adalah tak ada lagi pelajaran olahraga dan menggambar.

Ingin rasanya melihat seorang guru berdiri di depan kelas dan bertanya,
“Siapa ingin jadi seperti Bob Sadino?”
“Siapa ingin jadi seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg?”
“Siapa ingin jadi petani?”
“Siapa ingin hidup di Kalimantan dan tinggal di hutan bersama banyak hewan dan melestarikannya?”
“Siapa mau jadi penambang?”
“Siapa mau jadi kontraktor bangunan?”

Begitu terjun ke dunia kerja, buanyak sekali profesi yang tak dikenalkan di masa sekolah, halal, dan bahkan bisa menghasilkan pundi-pundi hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya. Kenyataan lagi, tak semua dokter berhasil untuk mendapat kerja praktek dan langsung kaya, dan sebagainya. Bahkan ada yang bilang profesi guru itu tidak menjanjikan gaji besar. Belum lagi sebuah doktrin dari para sesepuh yang mendambakan anaknya menjadi pegawai negeri, dengan alasan mendapatkan pension dan ayem di hari tuanya.


Apabila engkau bekerja dengan sungguh-sungguh, berarti engkau memenuhi sebagian cita-cita itu yang pada hakikatnya engkau mencintai kehidupan -Kahlil Gibran-

Working is not only about price, it is also about value.
Lihat bagaimana tentara Inggris menunaikan kewajibannya dengan berdiri tegak selama sekian jam, atau polisi Jepang yang rela berjibaku dengan salju demi kenyamanan warga dan tidak bersedia menerima tips. “Pembentukan hati” itu bukan sekali jadi, itu butuh proses dalam bertahun-tahun, melalui penanaman berulang dan konsisten, melalui komunitas legal yang diakui dan lingkungan yang bersinergi.

Sebuah perusahaan media ternama di Indonesia yang bisa bertahan hingga puluhan tahun dengan gaya sama yang sangat khas dan evergreen, mengungkapkan bahwa nilai utama yang mereka utamakan pada pencarian karyawan adalah integritas kejujuran. “Ilmu bisa dipelajari dan dicari, namun akhlak itu membentuknya butuh waktu bertahun-tahun,”.

Jadi seberapa besar cinta kita dengan pekerjaan yang kita jalani ini, sehingga kita bisa memancarkan sebuah citra regenerasi yang baik. Semua memang harus dimulai dari keluarga, tentang bagaimana masing-masing orang tua menanamkan berbagai jenis nilai kehidupan kepada anak-anaknya. Bisa saja petani mencintai pekerjaanya dan meminta anaknya menjadi petani, demi meneruskan usaha keluarga misalnya. Namun mereka harus terhambat dengan (lagi-lagi) kebijakan impor yang membunuh swadaya dalam negeri. Tak hanya itu, pengkotakan profesi, atau pengenalan profesi yang tak beragam kepada anak-anak usia sekolah dasar, membuat mereka memiliki batas dalam bermimpi.

Anak-anak itu harapan kesinambungan bangsa. Saya pikir, anak-anak memang harus dikenalkan dengan berbagai jenis profesi, sejak dini, daripada harus berkutat dengan pelajaran teoretis yang pada akhirnya tak dipakai, hanya buang uang dan waktu saja. Pengenalan itu sebagai bentuk usaha regenerasi, bahwa masih banyak lapangan pekerjaan yang membutuhkan boss maupun tenaga kerja. Masih banyak tanah di pelosok negeri yang belum terjamah kemajuan dan peradaban. Bahkan, menurut Trinity, ada banyak pulau perawan, yang entah bagaimana ceritanya, sudah dimiliki orang asing sebagai tempat menyepi dari bingar.

Jangan melulu menyalahkan pemerintah deh, mereka terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Saatnya kita juga ikut bergerak demi masa depan anak-anak kita sendiri. Mari siapkan mereka untuk memahami dengan melihat langung, mengalami, hingga memampukan mereka untuk menjalaninya sendiri.


If money is your hope for independence you will never have it. The only real security that a man can have in this world is a reserve of knowledge, experience, and ability.
- Henry Ford

Susahnya Jadi Anak-anak


nama kerennya ular naga, saya menyebutnya krupukan :)


Saya pernah ingin menjadi anak-anak terus, supaya tak terlibat dalam urusan orang dewasa yang begitu rumit, pelik, butuh banyak mikir. Enakan lihat kartun tiap hati, maen lompat tali, kejar-kejaran sama ibu karena malas mandi, ups, hingga makan apa aja tinggal minta duit ke ortu *abaikan, keinginan bodoh ini*

Makan es krim sambil sembunyi karena dulu urusan jajan sangat ketat, tak ada persaingan merk chiki macam jaman sekarang, juga karena duit yang sangat terbatas.
Tak hanya itu, karena dulu suka banget dengan kartun Donal Bebek, saya juga pernah ingin di dunia yang serba datar dan mulus hingga enak ditempati, tanpa tantangan dan halangan yang berarti.

Saya juga sering merasa pusing jika memikirkan sesuatu secara berlebihan dan segera mengimbanginya dengan mencari guyonana bersama teman atau nonton kartun lucu.

Tak perlu memikirkan bagaimana menjalani hubungan cinta, marahan, cemburu, emosi.

Di saat hari raya, saya siapkan tas kecil untuk galak hampil ke tetangga seraya berharap segepok uang dari kerabat yang pasti lebih banyak. Di akhir lebaran menuju saat masuk sekolah, saya hitung duit lalu melenggang menuju sebuah toko demi mendapatkan barang impian dengan uang hasil “kerja” saya selama beberapa hari dalam setahun. 

Menunggu datangnya majalah Bobo seminggu sekali, untuk berebut atau bergantian dengan kakak saya. Ada saat saya mewek mewek mendapati bahwa majalah saya diloakkan dan dijualbelikan oleh teman-teman yang rakus itu.

Pernah main bikin "adonan" dari tanah yang dicampur dengan air, meniru ala tukang masak begitu. Berdua dengan seorang teman, kami "mengolahnya" di teras rumah tetangga. Ibu tetangga itu hanya berkomentar betapa joroknya kami, namun beliau tak menghubungi orang tua saya demi perbuatan "kotor"  di teras rumahnya.
 
Maiiiiin terus sampai maghrib menjelang, sampai ibu mencari sembari marah-marah, ngomel panjang lebar, tapi saya sama sekali tak dengar tuh, ibu bicara apa, hehehe….

Lihat seorang yang menakutkan (wajahnya), saya akan lari sekencang mungkin menghindarinya. Padahal tak ada yang salah dengannya, hanya tampangnya saja menakutkan, namun dia tak pernah berbuat yang merugikan orang lain. Lihat ternyata ada keluarga jauh dari pihak ibu ada yang lebih menakutkan, saya akan berteriak menangis dan dia akan menjauh. Mereka akan memaklumi bahwa itu semua karena saya masih anak-anak. Bahkan ketika saya lari menjauh dari rumah karena ngambek, kakak saya akan siap mengejar, berusaha menyelamatkan saya dari ganasnya jalanan.

Sementara di sekolah, jika ada guru yang tak beres, tinggal pilih berurusan dengan guru yang aman. Tak perlu lah sampai repot memperkarakan hingga orang tua turun tangan. 
Ada juga teman yang keluarganya berantakan, tapi berhubung dia dekat dengan banyak anak, dia baik-baik aja (semoga hingga hari ini), tak ada yang membatasinya.

Sekarang…
Ada godaan jaman berupa teknologi tanpa henti.

Ada sekat patembayan yang memicingkan mata ketika anak-anak bergerak galak gampil.

Ada banyak zat beracun dalam makanan.

Ada banyak “muatan” dewasa dalam kartun anak-anak.

Main lama, berbahaya, kemana aja dan ketemu siapa aja. Main dengan pakaian minim juga mulai mengundang pikiran yang aneh.

Jika memilih sekolah, dengan mencuatnya kasus pedofil, bukan lagi pelajaran dan pengajarannya bagaimana, mulai ada pilihan di mana letak toiletnya, siapa dan bagaimana guru dan para pekerja di lingkungannya,

Masih SD bisa maen komputer, udah kelihatan keren banget. Sekarang, balita aja bisa maenan tab.

Anak-anak TK sudah mulai dikenalkan pada banyak les, waktu bermain dibatasi, bahkan halaman rumah pun sempit, hanya cukup untuk mobil dan tumpukan mainan bermerk. 

Jika keluar tak memakai sandal atau mainan pasir, siap-siap aja mendengar teriakan orang tuanya, "becek, kotor, cacingan, bla bla bla..."

Kita memang tak bisa memilih jaman harus menjadi seperti kita dulu. Itu semua keputusan pribadi kok, mau mengikuti perubahan yang semakin bervariasi yang berimbas menyempitnya interaksi  fisik yang sosial atau mau membuat alur perubahan sendiri.  

Selasa, 27 Mei 2014

Hijrah Diri




reflection of hijrah
“Kenapa kamu gak mau pake odol? Konspirasi lagi ya?” todong seorang teman.
“Hehe, iya, tapi aku masih harus cari sumber lain lagi, beneran tidaknya,” jawab saya pendek, tak mau menerangkan lebih lanjut.
“Aku tetep pakai odol aja ah, isis. Lagian kamu ini, apa-apa selalu dihubungkan dengan konspirasi,”
“Gak lah, gak semua,” kata saya membela diri. Padahal saat itu saya sedang berjuang mati-matian melawan buncah kegalauan tentang “sempitnya” dunia maya, karena bisa menemukan apapun yang menggalaukan iman dan hati. Sampai sempat terpikir, jangan-jangan dunia ini sudah dikuasasi oleh Yahudi, yang lain ngontrak, hehehe..
“Aku cerita ke suamiku kalau kamu tuh suka menghubungkan apa-apa dengan  konspirasi. Lalu aku tanya apakah suamiku percaya konspirasi dan jawabannya tidak,” tambahnya.
Saya hanya tersenyum dan tidak berusaha menunjukkan sekian bukti dari berbagai sumber maya. Enggak ah, ntar dikira gila beneran, repot saya ini, hehehe… Meskipun, dari sekian halaman maya yang pernah mampir dalam benak, ada juga yang berkorelasi dengan Al Qur’an, menggelitik analisa pribadi yang mencoba menghubungkan banyak hal berkesinambungan, hingga kemudian berusaha berdiskusi dengan beberapa orang yang cukup tahu, syukurlah, ada yang mengamini.
I wasn’t the one crazy, lunatic, insane, out of my mind, or whatsoever. We’re about to get crazy about the world. No, no, no we’re going to be as crazy as the world inside, hahaha….

Don’t blame the web, blame your curious thumb.

Saya pribadi tak bisa sepenuhnya menyalahkan internet, teknologi tetap dibutuhkan, namun harus dalam pengendalian yang ketat, mengingat mudharatnya bukan urusan main-main. Sometimes, clash of opinions may distract your way. Salah saya juga, kenapaaa juga mesti berkelana ke berbagai halaman ajaib, tanpa menyadari bahwa kapasitas otak saya juga punya batas, hehehe… Sisi positifnya adalah, saya mulai membangun sebuah “benteng”, demi kesehatan mental dan spiritual.
Hingga suatu kali saya sudah cukup bisa menahan bercerita tentang konspirasi serta sekian jenis perang pemikiran atau bahasa kerennya ghawzul fikri, memandangnya lebih santai karena sudah mulai menemukan benang merahnya. Sedangkan teman saya tadi mulai merasa serius soal konspirasi, eh, saya belum konfirmasi ulang. *tolong jangan jitak saya, ya*

Your good friend may not always agree with you, but you both can take the good side of every clash. You may argue in some part, but you don’t mix them up with another thing.

She’s getting better.
“Aku sebenarnya pengen ajak kamu ke pengajian, tapi jauh,” katanya suatu hari.
“Andaikan anakku masih kecil banget atau malah sudah gede, jadi bisa kubawa atau kutinggal sekalian,” tukas saya menolak, tanpa berpikir panjang lagi.
Actually I don’t like to think of another reason. Any kind of reason is just a way to escape from something you don’t wanna strive hard. Saya lebih memilih bukan karena keadaan, tapi saya belum cukup berusaha. Semisal, para pejuang Palestina yang berada di bawah ancaman ranjau dan granat setiap saat, masih bisa kok menghasilkan ribuan hafidz dan hafidzah. Sedangkan kita yang aman nyaman sentosa di negeri yang kaya raya, mesti didukung dengan langkah ODOJ, setoran hafalan surat, dan sebagainya. See, comfort pests you gradually.

Jauuuuh hari sebelumnya, saya menyampaikan keinginan saya untuk berhijab panjang yang maju mundur. Well, we do know that they are stated in the holy book, but talking about it may make us too intelligent, jannah-addicted, and universally-restricted *or am I the only one, hehehe*
“Ya tetap beragama, tapi sudahlah jangan terlalu fanatic. Tetap pakai hijab tapi yang biasa aja,” katanya “mengingatkan”.
Tak perlu berusaha berargumen panjang lebar mengapa, biarkan dia mencarinya sendiri, I just said the bait, hehehe… Busana memang hanyalah lambang, namun busana adalah bagian dari resonansi beragama di jalan yang lebih tepat. Soal busana kemudian dijadikan tabarruj, itu cerita lain.
 
Ketika anda sudah mencapai satu langkah kemajuan, seharusnya yang baik adalah mengajak dan mendorong teman dekat untuk bisa melangkah bersama. Saya sempat sungkan juga menunjukkan perubahan bahwa saya sedang berusaha memakai penutup di manapun saya berada, kecuali mandi dan tidur. In fact, she took it positively. I didn’t even try to influence her to copy what I did. 
“Aku kan mau juga sepertimu, yang pakai hijab setiap saat,” katanya.
Glek, saya bahagia lagi, karena saya ikut jadi bagian hijrah ke arah yang lebih baik. sementara saya masih jalan di tempat. Memang sih sudah hijaban terus, bahkan para “satpam” kecil saya selalu mengingatkan kalau saya meleng sedikit saja. Tapiiii pas menyapu halaman atau menjemur cucian, masih suka risih dengan cara menaikkan rok atau celana supaya tak menutupi mata kaki, hehehe…
Teman saya ini, yang sempat tak berkenan dengan hijab panjang, berjalan jauh lebih cepat dan progresif. Rajin ikut pengajian, beberapa kali obrolan saya mulai akrab dengan kata murojah, liqo, tartil, yang saya sama sekali tak tahu artinya, it’s my origin forgetfulness. Dia juga memakai busana syar’i, yang serba panjang dan tak melekuk tubuh itu, dan mulai membersihkan lemari dari banyak busana yang tak lagi “layak pakai”.

“I was so liberal,” akunya suatu saat, seraya bercerita sekian pengalaman beragama yang benar-benar standard. Saya jadi sangat berhati-hati ketika misalnya, ingin menyampaikan keajaiban sedekah, sebagai solusi alternative pada beberapa masalah yang dia hadapi. I failed actually, she needed reason for something I couldn’t explain and I did believe that any miracle is individual. Keajaiban adalah pemenuhan kebutuhan setiap orang, dalam posisi superior. Sedekah adalah salah satu bagian untuk menjemput keajaiban, tapi itu bukan berarti sedekah dalam jumlah sama dari orang yang berbeda akan memberikan imbas yang sama pada mereka.

 “Since I decided to quit (the previous job), I have more time to do anything. Lebih nyaman, karena lebih banyak waktu untuk menunaikan ibadah, meski tetap bisa bekerja mencari uang.”

Saya menunggu, menunggu, menunggu, ijin untuk menuliskan sekelumit tentang hijrahnya.
“Pasti karena postinganku soal syiah tadi siang ya,” todongnya, ketika saya minta ijin untuk menuliskannya.
“Lho kan masih banyak yang menganggapnya sebagai sebuah aliran saja. Tidak berbahaya,” kata saya.
“Kata siapa tidak berbahaya?” tukasnya meradang.
Hehehe, alhamdulillah. 
Sebenarnya saya juga ikut menunggu saat sampai mana dia berjalan, supaya saya bisa ikut mengetahui jawaban beberapa ghawzul fikri yang tak bisa didiskusikan dengan semua orang. Lumayaaan, belajar agama dengan lebih santai, ga perlu keluar rumah, kadang lewat chatting atau pas tukar menukar barang dagangan.

Untuk menjalani sebuah pilihan, sebenarnya kita selalu membutuhkan alasan kuat mengapa, supaya lebih mantap menjalaninya. Ketika nantinya menemui tantangan akan keberadaannya, kita masih sanggup untuk berdiri tegak di atas tanah yang kita pijak. Ikut-ikutan atau menurut tanpa sebab yang jelas, bukanlah alasan yang kuat untuk bertahan. 
Menyadari dunia yang semakin tua, adalah menyadari bahwa kita akan ikut lapuk di dalamnya, kecuali hal mutlak yang tak kasat mata yang tercatat dalam amalan.

“Menurut penelitian, usia kita ini, antara 30-40an adalah usia menuju kematangan spiritual, mulai menuntut diri untuk belajar lebih banyak tentang agama,” jelasnya.
Saya tercenung, waah, lama banget ya proses pemahaman saya yang sudah mengenal agama sejak usia sekolah dasar. Tak heran jika salah satu amalan keren adalah menghabiskan masa muda (remaja) untuk beribadah. Lalu jika usia ini adalah puncak kematangan spiritual, lalu apa sesudahnya, membentuk kurva yang seperti apa. Bisakah membayar carut marut dan kebodohan hari kemarin dengan kekhusyuan hari ini? Bisakah menebus semua dosa yang pernah sengaja dilakukan dengan ketaatan hari ini?

Namun kekuatiran itu (diusahakan) senyap perlahan begitu mengingat bahwa iman itu seperti mandi dan makan. Kita mandi dan makan setiap hari, beberapa kali dalam sehari, dengan kemungkinan sakit, tertular virus, terkena bakteri, dan penyakit lainnya. Kemungkinan juga mengalami bau badan ketika terjadi perubahan hormonal, juga ketika membersihkan ikan yang amis atau sering lewat penampungan sampah, juga ketika makan yang berbau tajam seperti bawang bersaudara. Kemungkinan juga sakit perut jika yang dimakan barang yang tak benar, haram, atau logisnya, tak sinkron dengan metabolisme tubuh. Tapi tetap kita harus mandi dan makan dengan dengan cara yang lebih baik, supaya bertahan hidup. Jika perlu, disambung dengan lulur dan facial sekali waktu dalam sebulan. Begitulah iman. Bukan berarti beragama itu cukup aman dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, namun juga tekun menjalani hingga mencari resonansi "milieu" yang tepat.


"Hijrah will not cease until repentance becomes useless; and repentance will not become useless until the sun rises from the West."
 
(Abu Dawud)


 

Kamis, 22 Mei 2014

Kagum

Malam itu, dokter menambal sebuah gigi seri saya yang berlubang.
"Gimana rasanya? Sudah enak belum, mbak?" tanya bu dokter memastikan bahwa hasil perapiannya untuk penambalan sinar sudah cukup lumayan.
Saya bergaya menggigit dan merasakan bahwa masih ada yang mengganjal, menggeleng. Dokter itu kembali mengulangi pekerjaannya hingga beberapa saat kemudian, beliau menghela napas panjang.
"Begini ya susahnya menyamai karya Allah, yang hanya diciptakan dengan kun faya kun."
Saya hanya bisa mengangguk menyetujui. Tentu saja, mau bilang apa, lha wong mulut saya sedang menganga lebar, hehehe...
"Saya ini jadi dokter sudah belasan tahun, namun untuk bikin gigi yang mirip dengan gigi asli selalu membutuhkan waktu lama," lanjutnya lagi.
Saya hanya bisa mengiyakan dalam hati. Menjadi dokter merupakan salah satu profesi yang membuat jalan spiritual semakin lekat dengan nama dan keagunganNya. 

Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban
Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan.

Rabu, 21 Mei 2014

"Maria" yang Bodoh



gambar dari sini


Nama Maria tak bertujuan atau bermuatan apapun. Jika sama, hanyalah kebetulan semata, diambil dari nama tokoh sebuah dongeng di masa lampau.
Alkisah, ada seorang gadis cantik bernama Maria di sebuah desa. Tak banyak pemuda yang ingin melamarnya, karena Maria dikenal sebagai gadis yang bodoh. Maria tak kunjung mendapatkan jodoh hingga suatu hari Alberto dari desa seberang, ingin melamarnya. Para pemuda lain sudah memperingatkan Alberto supaya tidak menikahinya, namun keputusan itu sudah bulat. Saat hari yang dinanti tiba, Maria tiba-tiba menghilang. Setelah dicari-cari, dia ditemukan di gudang penyimpanan anggur, duduk di lantai sambil menangis bersama tumpahan anggur yang menggenangi lantai.
“Kenapa kamu menangis, Maria?”
“Aku membayangkan kita menikah, lalu kita memiliki anak. Lalu  karena aku ceroboh, anak kita jatuh ke sungai, tenggelam, dan meninggal. Huhuhu…”
Mereka yang ikut mendengarnya tertawa, menertawakan Alberto yang mengetahui sendiri betapa bodohnya Maria.
Bagaimana, apakah anda ikut menertawakan Maria?
Untuk Maria masa kini, tak perlu menangis sedu sedan dengan menyepi ke gudang anggur sambil melamun. Cukup duduk di tengah keramaian bersama gadget anda dan terhubung ke berbagai jaringan di seluruh penjuru dunia, dan tahulah anda bagaimana seorang anak “mati” meski raganya masih bernyawa. 

Sejak kisah kasus pelecehan seksual terungkap satu demi satu, tiba-tiba saya merasa terasing dari sebuah dunia yang saya tempati sejak lahir ini, merasa ketakutan. Adakah tempat aman di dunia yang akan hancur ini? Benarkah ini hanya di negara saya saja? Jika saya warga negara lain, apakah saya akan merasakan hal yang berbeda, karena di sana lebih aman?
Sambil teringat ulasan dari seorang psikolog. Media dan jejaring sosial membombardir dengan berbagai macam isu, dengan mendasarkan pada penelitian, bahwa kebanyakan penggunanya adalah wanita. Wanita itu mudah dipengaruhi, sehingga bisa diarahkan sesuai dengan harapan media dan atau penguasa. So, calm down, calm down, calm down. Tarik napas panjang, menyadari diri sebagai wanita, dan berusaha untuk selogis mungkin. Hiks...
Suatu hari, sekitar sepuluh tahun lalu, saya dan seorang keponakan perempuan di usia balita, duduk di depan warung makan tetangga, menanti pesanan. Cuaca hari itu cukup panas, keponakan saya hanya berbusana baju dalam. Seorang pria tak dikenal tiba-tiba mendatangi kami. Dia tersenyum ramah, menyapa keponakan saya, duduk di sampingnya, dan langsung mengelus pahanya yang terpapar bebas tanpa celana panjang. Refleks, dia menarik kakinya lalu mendekat kepada saya. Refleks, saya segera memangkunya, berbasa-basi sebentar, lalu segera meninggalkan tempat. Setahu saya, pria dewasa itu tak terlalu suka anak-anak, naluri aja. Kalaupun mereka suka dengan anak-anak, itu karena mereka ingat dengan anak-anaknya sendiri, sehingga anak-anak diperlakukan dengan baik dan sopan. Menurut Elly Risman, sentuhan yang boleh adalah sentuhan di atas bahu, sentuhan membingungkan itu di antara bahu sampai lutut, dan sentuhan buruk adalah menyentuh bagian yang ditutupi oleh pakaian renang.

Sekarang, silakan baca data ini.
Maaf, datanya memang berisi hal-hal, yang menurut saya, sebagai ibu, menakutkan. Sempat beberapa kali bertukar cerita dengan sesama ibu, bahkan yang tak terlalu mengakses internet sekalipun, hari-hari ini news become our worst nightmare :(. Dari data ini, salah satu kesimpulan yang cukup menarik adalah, terlalu melepas dan terlalu melindungi, semuanya mengandung pilihan resiko yang hampir sama. Melepas itu berarti melepas anak-anak di antara korban atau mantan korban yang belum kentara. Korban kekerasan seksual itu seperti membawa sebuah virus, yang juga akan menularkannya kepada yang lain dengan berbagai cara.  Sedangkan melindungi anak-anak dengan mengurungnya di dalam rumah itu, juga mengandung kemungkinan untuk kejahatan di dalam dan terisolasi dari lingkungan. Anak-anak yang kurang begitu "gaul" juga memungkinkan menjadi korban. Waaaa, terus mau bagaimana ini?
Ah, langsung, saya teringat sebuah lagu dangdut, "...yaaang sedang-sedang saja..."
Melepas dan melindungi anak-anak ada masanya tersendiri, mengandung pilihan resiko yang mau tak mau harus dihadapi. Pilihan preventif yang baik, antara lain membentengi dengan agama, mengajarkan pendidikan seks sesuai usia, mengajarkan bela diri, dan selanjutnya berdoa yang banyak. 

Rasanya kok seperti "Maria" yang bodoh, menangis mengingat nasib anak-anak (dari orang tua manapun dia) yang mendapat "virus" di masa dia masih berhak untuk bermain saja. Bagaimana dengan masa depannya dan masa depan lingkungan sekitar yang "tertular". Media semakin liar menelanjangi berbagai jenis kasus rudapaksa, dari berbagai belahan bumi, dengan varian pelaku dari anak-anak SD hingga kakek-kakek.  

Saatnya untuk pindah channel ;)
Kita memang tak bisa untuk memprotes kebijakan media untuk memberitakan kasus tertentu. Kalaupun bisa, butuh massa yang cukup handal, semisal melalui petisi. Sebenarnya, butuh tindakan tegas dari pemerintah, supaya warga negara merasa aman dan kasus serupa tak bertambah banyak. Tapi yaaa, harap menungguuuu... Kita sendiri yang harus memindah haluan. Putar sedikit, eh, ketemu urusan politik yang sarat dengan kampanye hitam, bikin ruwet lagi. Putar sedikit, ketemu gosip artis yang setali tiga uang. Putar yang banyak, ketemu apa?

Harus segera "mengadu", demi mendapatkan ketenangan spiritual yang memang sulit dilogika, karena itu bahasa kalbu. Berita itu memang perlu, ambil inti yang penting, lakukan antisipasi yang berhubungan, lalu  segera cari kesibukan yang tak berhubungan dengan berita yang menyesakkan dada. Besar sepelenya sebuah berita, banyak tergantung pada efek penyebaran. Karena saya wanita, saya hanya berusaha mengingat kebobrokan moral itu memulai langkahnya dengan mengacaukan wanita dan anak-anak.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Tak perlu banyak membicarakan dan menyebarkannya.
Kuatir dan parno itu manusiawi dan wanitawi, tapi hati dan akal tetap harus bekerja sesuai dengan porsinya. Semoga hanya ada satu "Maria" yang bodoh di dalam dongeng, yang menangis tanpa kenyataan.   

Minggu, 18 Mei 2014

Bermain

gambar dari sini

Awalnya, membelikan mainan, ya untuk bermain saja. Lama-lama, karena keseringan baca info ini dan itu, ya berusaha mengarahkan juga, mana yang melatih motorik halus dan kasar, mana yang melatih koordinasi tangan dan mata, mana yang melatih kemampuan menganalisa, dan lain sebagainya. Maklum, beginilah OTB (orang tua baru). Sampai kemudian tiba pada tahap retoris, apakah itu semua akan berpengaruh pada masa dewasanya nanti? Bukankah kemandirian dan pola pikir dibentuk dari keteladanan dan pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan, karena pendidikan dan pemahaman itu proses jangka panjang? Apakah akan menjamin, semua mainan itu akan dia ingat ketika dia sukses nantinya?

Edukasi berawal dari kreasi. Jaman dulu, meski belum santer dengan mainan edukatif seperti sekarang, anak-anak juga sudah berkreasi, dengan bahan apa adanya. Kreasi unik dan edukatif yang sebenarnya bisa dilakukan siapa saja dan dengan bahan apa saja di rumah, kemudian dibungkus apik dalam kerangka bisnis dan teknologi dengan nama mainan edukatif.

Salah satu permainan yang dulu sering saya lakukan adalah main pasar-pasaran. Saya bersama beberapa teman perempuan sebaya, mengiris dedaunan aneka warna sebagai sayur yang dijual, menggunakan bekas bungkus permen sebagai uangnya. Pulang sekolah, memungut bekas bungkus permen di jalanan, dipilih yang terlihat masih baru. Jenis permennya menentukan nominal uangnya. Tak ada peringatan “Jangan main sembarangan, nanti sakit perut” karena diambil dari jalanan. Semuanya baik-baik saja.
Sementara yang laki-laki, gemar mengumpulkan umbul, bermain kelereng, bermain dan bertanding dengan yoyo kayu, membuat mainan dari ban bekas dengan pendorong berupa potongan bekas kemasan sabun colek, dan banyak lagi.
Engklek,engkling, gejlig, apapun itu namanya. Ada masa saling pamer gaco terbaik yang diambil dari sisa ubin bangunan atau bahkan membeli di toko bangunan. Gaco terbaik, yang bisa digunakan dengan pas, tidak mudah pecah dan tidak keluar garis, ternyata bukan berasal dari ubin termahal, tapi dari asbes yang murah dan mudah didapat.

Einstein mengatakan bahwa belajar adalah bermain, bermain adalah belajar.

Kita tak menyadari bahwa saat itu, kita pun belajar motorik kasar dan halus, koordinasi tangan mata kaki, bahkan belajar untuk bernegosiasi dan memilih strategi yang tepat demi memenangkan sebuah permainan. Ketika bermain jumprit singit (delikan, singidan, hide and seek), seseorang yang dominan atau dituakan akan mengambil alih pimpinan. Dia mengajak kroninya berunding, menentukan siapa sembunyi di mana, lari ke mana, sehingga yang apes jaga akan apes terus ;)

Curang itu selalu ada dan begitulah dalam kehidupan sebenarnya hari ini. Jika ada yang mulai mencapai angka tinggi, adaaa saja yang menuduh dia melakukan kecurangan, atau berusaha menggunakan cara licik agar yang menang tak bisa menambah angka lagi.

Satu hal terbaik yang tak pernah tergantikan hari ini adalah, kita memiliki sebuah hubungan social dengan nilai kenangan yang begitu berharga. Jika di masa kecil kita bisa saling berbicara dengan sewot karena sebuah persaingan lugu antar anak-anak, di masa dewasa kita bisa saling menertawakannya dan bersyukur melewati masa itu. Tuduhlah si huruf depan T(v), dengan segala pernik dan variasinya, yang banyak menggantikan pentingnya hubungan sosial. Kekenyangan teknologi membuat anak-anak tak lagi lapar akan hubungan social yang jauh lebih berharga secara fisik dan emosional, baik untuk hari ini maupun hari depan.

Masa kecil, masa bermain dengan bebas tanpa batasan aturan dan sensitivitas berlebih, tak akan pernah kembali.

Mana boleh sekarang, anda lari-lari sambil teriak kegirangan tanpa alasan? Kemungkinannya orang akan memaklumi kegilaan anda, mengira anda menang lotere 1 milyar, dan sekian kemungkinan (negative) lainnya. Hehehe…

Mana pernah anda bertengkar hebat dengan seorang teman, karena rebutan pacar misalnya, lalu beberapa menit kemudian anda berdua sudah tertawa lepas seolah tak terjadi apa-apa?

Mana pernah anda terjatuh karena terantuk batu, lalu menangis melolong-lolong minta belas kasih, di pinggir jalan?

Mana pernah anda sekarang, teriak kencang di depan rumah seorang kerabat, memanggil namanya lalu mengajaknya bermain?

Mana boleh anda sekarang mengatakan bahwa seseorang nampak jelek, kurus, tua, tanpa membuat yang bersangkutan sakit hati dan mendendam, hingga berniat pergi ke dukun? Hihihi…

Mana boleh sekarang anda memukul seseorang dan tidak berdosa?

Mana boleh anda sekarang tidak mengerjakan tugas dari atasan, dengan alasan bosan dan cape, kecuali anda pengen dipecat?

Bermain adalah fitrah awal kita sebagai manusia, masa yang harus dilewati dengan sebaik-baiknya. Mainan hanyalah sebagai media, karena sejatinya tiap anak bisa kok menciptakan mainan dan permainannya sendiri. Terlalu banyak larangan hanya akan membatasi kreasinya. Bermain dengan cukup, akan melegakan dahaga kita pada hidup tanpa sekat aturan dan dosa, hingga tiba saat kita harus bertanggungjawab, kita tak perlu lagi main-main.

Ala Marketing

gambar dari sini

Sebuah buku marketing super simple menceritakan tentang seorang marketing sukses di AS yang menjual ribuan Chevrolet dalam waktu beberapa tahun saja. Triknya, menurut buku itu adalah, dia ini tak pernah berjualan jika sedang bertemu dengan calon customernya. Dia bisa ngobrol apapun tanpa sedikit pun membahas tentang mobil yang dijualnya. Saya bingung, lalu kapan dia jualan mobilnya sampai bisa segitu banyak dan masuk ke dalam Guinness Book of Records?

Saat itu saya memang sedang getolnya belajar ilmu marketing, mulai dari tips praktis super tipis dan murah, hingga marketing ala Sun Tzu, sempat saya “lahap” demi memenuhi kelaparan saya akan konsep marketing yang bisa bikin saya sukses. Lamaaaa sekali, saya mencoba ingat siapa nama marketing handal tersebut, sampai tanpa sengaja saya menemukannya dalam beberapa artikel di google. Namanya Joe Girard, dan berita selengkapnya ada disini.
"I never sold a car in my life, I sold a Girard.”
Efeknya, tanpa perlu iklan yang berlebihan, customer itu akan datang dengan sendirinya, yang merupakan anak cabang dari customer lain yang merasa puas dengan pelayanan dan kualitas kepribadian Joe.

Kuncinya, pelayanan dan penghargaan.

Sebuah pepatah bisnis mengatakan bahwa, ketika seorang pelanggan puas, dia barangkali hanya akan mengabarkan kepada satu orang. Namun jika pelanggan merasa marah dan tidak puas, dia bisa langsung memberitahukannya saat itu juga minimal kepada lima orang yang dikenal dan tidak dikenalnya, supaya orang lain tak ikut “terjebak” mendatangi toko anda.
Lihat betapa mudahnya orang menyebarkan dan menyimpan hal yang bersifat negative.

Jurus marketing andalan yang selalu dan sering diyakinkan oleh sebagian orang marketing untuk meyakinkan “downline” nya, antara lain:
-          bahwa setiap orang adalah marketing, jadi bisa “menjual” dirinya sendiri.
-          harus percaya diri dan agresif.
-          semua orang bisa bicara, karena itu pasti bisa menjadi marketing
Hampir semuanya adalah doktrin paksaan yang membuat seorang marketer tampak begitu menyebalkan. Coba dijawab, benar atau benar???

Saking antusiasnya, sampe saya juga keluar masuk MLM satu ke MLM laen, dengan tujuan mengejar diskon, biar tak rugi, hihihi…Sampai di tahap jenuh karena berlari menuntut ilmu, bosan juga dengar para kader yang bilang “Saya siap membantumu, apa kesulitanmu?”
“Nggak, nggak ada yang sulit, duit juga bisa ngutang, tapi kalo saya gak mau, gimana?”
Langsung senyap.

“Ayo Es, apa motivasimu, impianmu, cita-citamu? Kasi foto yang gede, lalu pasang di dinding kamarmu supaya kamu bisa segera mencapainya,”
Sambil cenut-cenut pusing mengingat apa mimpi saya, saya kembali termangu, apakah semua mimpi harus dikaitkan dengan materi?

“Kamu suka baca buku ya, wah boleh dong aku pinjem.”
Dengan ge-er bahagia memiliki temen baru yang bisa diajak diskusi soal buku, saya terima kunjungannya. Dan ternyata…
“Tahu nggak, kalo kamu ikut bisnis yang kujalani ini, kamu bisa membeli lebih banyak buku bla bla bla…”
Walah, berasa pintu kos langsung ambruk.

“Baju itu keliatan bagus lho sama kamu, bayarnya gampang deh, bla bla bla…”
Salah satu kelihaian orang marketing adalah, mereka penuh dengan pujian handal lho. Jika benar, syukurilah. Jika salah, anggaplah tu doa.
  
Inti dari semua marketer yang pernah saya temui adalah, hampir semuanya mengajak orang lain masuk perangkap dengan berbagai macam cara, tapi lupa bahwa yang mesti diajak bukan orangnya saja, tapi hatinya juga.

“Sentuhlah dia tepat di hatinya, dia kan jadi milikmu selamanya..” – Ari Lasso.

Ternyata tak berlaku untuk perempuan lho, tapi hampir semua orang “normal” yang masih merasa memiliki hati. Bahkan ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa, dokter yang mahal lebih laku daripada dokter yang murah, ternyata karena pelayanan mereka jauh lebih baik, seperti menanyakan kabar, mengamati tingkat kesembuhan, dan hal-hal lain di luar penyakitnya. Hampir sama seperti triknya si Joe, mereka terjun menjadi seorang anggota keluarga baru bagi setiap pasien yang datang.
Itupun harus dilakukan dengan konsisten. Biasanya sih, kalau masih cari banyak pelanggan baru, konsep diri dibagus-bagusin. Begitu udah dapet banyak pelanggan, lupa maintain, semaunya sendiri.

Dengan sedikit pengalaman itulah, saya coba mengubah haluan dalam berjualan. Saya memilih untuk mengkonsumsi barang sebelum menjualnya kepada orang lain, mengatakan jelek jika jelek dan cacat, bahkan tebang pilih dengan orang tertentu, barang tertentu hanya dijual kepada orang tertentu. Tak hanya itu, pada beberapa periode tertentu saya bikin undian dan bikin bonus untuk yang beli banyak. Yang susah itu, menelateninya ala Girard.

Menemui orang marketing sekelas Joe Girard itu susah. Harusnya orang yang berusaha jualan dengan cara “menyentuh” hati si pelanggan, bukannya membeberkan serangkaian kelebihan barang yang dijualnya. Bahkan, menurut saya ya, dengan memberikan pilihan dan gambaran lengkap tentang barang kepada konsumen itu sama dengan “mendidik” mereka untuk memahami kemauan dan kebutuhannya sendiri, tanpa perlu “diracuni” oleh gemerlap kelebihan yang sering kali diusung oleh para marketer. Jika hati seseorang nyaman, dia akan datang sendiri kok, anda tinggal tebar perangkap aja :P


Kamis, 15 Mei 2014

Anak-anak dan Air-air


 
Anak dan air adalah dua hal yang tak dapat terpisahkan dalam fase tumbuh kembang mereka. Entah itu air kamar mandi, air kolam renang, hingga air comberan yang super jorok, buat mereka yang penting adalah bermain air. Dulu saya sering melarang mereka bermain air, terutama jika airnya kotor, dengan alasan tentu saja males repot, males basah, males kotor, takut gatal-gatal. Amat-mengamati, semua memang ada masanya, ada masa awal dan masa akhirnya.

Air gallon.
Hingga hari ini, jika menuang air yang banyak, masih saja tumpah, eh wajar ya. Maksudnya disengaja tumpah supaya bisa diseruput demi menirukan minum ala hewan di kartun favoritnya. Terkadang diam-diam menunggu saya lengah, kran air gallon akan terus diputar hingga membanjiri lantai. Marah waktu itu, menyesal hari ini karena memang sama-sama tak tahu, alias emak buta parenting. Akhirnya dudukan gallon disingkirkan, membuat ruangan lebih luas, minum air yang lebih tradisional, yaitu menuang ke dalam teko air.
Air gallon yang tumpah, seringkali bikin Uma jatuh terpeleset hingga terlentang di lantai. Tak sampai kenapa-kenapa sih, sejalan dengan bertambahnya usia juga dia juga mulai berhati-hati dalam ketika berjalan.

Air dingin di kulkas
Saya hanya menyediakan suami sebenarnya. Saya sendiri kurang begitu suka dengan kebiasaan minum air dingin, bikin masuk angin, kalau kebanyakan bisa bikin suara serak. Kembali lagi ini menjadi sasaran anak-anak, disebar-sebar ke lantai. Dibuat minum setiap saat karena mereka menyukai sensasi dinginnya. Tunggu beberapa hari saja, hidung mampet dan suara sentrap sentrup dari hidung mengikuti.

Air kran tetangga
Melihat kran adalah melihat mainan, bagi Ken. Pernah suatu saat dia sedang getol wudhu, jadi tiap menemukan kran, dia selalu gaya berwudhu. Dengan adanya kran inilah dia belajar untuk menyalakan dan menutup kran dengan tepat. Karena ketika menyalakan, saya mulai histeris memanggil namanya. Air di perumahan bisa menggenang halaman. Bukan tak mau anak senang, saya risih buang-buang air untuk kepentingan yang tak jelas. Bahkan lihat anak tetangga dibiarkan main air bersih untuk dibuang, saya buru-buru masuk rumah, takut terbawa emosi marah-marah lihat anak boros dan dibiarkan saja oleh orang tuanya. Bukan saya aja kok, tetangga lain sudah memperingatkan.Maklum, orang kaya gitu lho.

Air kolam renang
Meskipun di Batu yang dingin sekalipun, kegiatan nyemplung kolam renang tak boleh terlewatkan dan harus siap adu otot mengajak pulang karena mereka tak mau mentas meskipun menggigil kedinginan. Repotnya lagi, ayahnya selalu menawarkan mereka untuk makan pop mie yang sangat tidak green dan banyak bahan adiktif. Emak rempooong, hehehe...
Akhirnya ada akal, masuk kolam renang menjelang kolam tutup, hihihi, sehingga mau tak mau dia harus mentas, jika tak mau dimarahi petugas yang jaga.

Air tetesan jemuran
Pada beberapa pagi, saya harus memandikan mereka kembali, karena mereka sibuk “berenang” di bawah jemuran yang masih menetes. Gimana mau melarang, lha wong tenaga dua anak lebih kuat dan lebih usil, akhirnya saya biarkan aja. Mereka dimandikan setelah menjemur selesai. Jika tak ketahuan, Ken bahkan akan membuka mulut seolah tetesan itu adalah kran air minum yang bisa dia konsumsi sesuka hati. Biasanya mereka juga membantu menjemur dengan posisi yang sembarangan. Eh, sekarang sudah bosan sendiri. Begitu saya persilakan mereka mainan sebelum mandi, malah lebih memilih mengayuh sepeda mengitari halaman rumah. Ya sudah, memang sudah saatnya berhenti.

drama air jemuran
Air kamar mandi
Perkenalannya hanya dengan memasukkan semua mainannya ke dalam bak, bahkan jika belum puas Ken akan memasukkan panci, wajan, spatula, dan sebagainya. Begitu dia semakin tinggi dan gerakannya semakin mantap, dia mulai “berenang” di dalamnya, sampai sepuasnya. Pakai tanda kutip, karena, berapa sih luas bak mandi perumahan sederhana? Kadang bergaya menyelam sambil minum air, dalam arti sebenarnya. Jika ketahuan saya mendelik, dia akan cengingisan dan segera memuntahkan air yang ada dalam mulutnya. “Sudah silakan kungkum”. Saya biarkan sembari mengurusi yang lain, ternyata akhirnya dia bosan sendiri kok. Mentas sendiri minta dihandukin dan segera pakai baju.

Air hujan
Air hujan yang baik itu deras, dan setelah 15-30 menit turun, baru boleh dibuat mainan, begitu sih yang pernah saya baca. Ayah juga sempat melarang anak-anaknya, padahal hujan itu tak bikin sakit, karena sakit itu urusannya dengan daya tahan,. Alhamdulillah sejalan dengan hilangnya kuatir, akhirnya mereka hujan-hujan dengan bahagia, meski tetap saling ngotot kapan berakhir, atau minta tambah tiap hari.
Saya sering kali ditanya orang,
“Hujan lho, bu. Anak-anaknya?”
“Foto PP kok mesti hujan-hujan melulu ya…”
Ya kadang sambil ikut kehujanan karena mengawasi, anak-anak puas bermain hujan, segera mandi, makan, lalu tidur. Dengan catatan awal, mereka sedang tidak sakit, atau tubuh lagi fit.

tendangan tanpa bayangan saat hujan
Air genangan
Ini yang sedang in didatangi anak-anak, karena setelah main itu mereka bikin jejak kaki atau gaya tergenang di dalamnya. Tak sampai gatal-gatal sih, hanya beberapa kali terpeleset. Kalau ibu-ibu teriak-teriak, saya juga tapi ga sering selama dia belum mandi biarin aja. Kalau sudah mandi baru saya ikut ribut.  

Air teh dan kopi
Waaa, sepertinya saya harus sembunyi kalau mau bikin kopi, karena dua anak ini bergantian mengusik kesyahduan emaknya menikmati semangat ngopi. Jika air teh akan dituangkan ke seluruh penjuru lantai, maka air kopi yang biasanya hanya satu cangkir kecil akan dinikmati berebut.

Itulah para air yang menemani anak-anak bermain. Setua saya ini, yang sudah jadi emak-emak, tak mungkin main air kan, jadi biarkan saja mereka main, sampai puas, supaya tak "menagih" keinginannya di saat yang tak lagi tepat ;) 

Rabu, 14 Mei 2014

Sang Penguasa




“Seorang wanita ibarat lingkaran. Dalam dirinya ada kekuatan untuk menciptakan, memelihara dan mengubah. ” (Diane Mariechild)


Sementara para aktivis perempuan berjuang demi nasib kaumnya yang lebih menderita, kesetaraan, persamaan hak, dan semacamnya, banyak juga lho wanita yang menikmati “karir” nya sebagai penguasa, bikin suami manut hingga takut, yang kemudian sering dibuat banyolan ikatan suami takut istri. Itu wanitawi kok. Sebagai hempasan gejolak lelah dalam menjalani kodrat. Caranya saja yang kurang pas. Jika ada karir wanita lagi naik daun dan tak seimbang dengan pasangannya, meskipun tak tahu persis bagaimana masalah rumah tangganya, tunggu aja kabar keretakan rumah tangganya, eh…

Ego pria iya, ego wanita juga iya.
Sebagian wanita dan juga sebagian pria, kalau sudah punya duit, merasa sudah punya semuanya.

Materialistic is women’s middle name, some in bold, normal, and italicized.


"Ini kan beli pakai duitku sendiri.”
“Bukannya gajimu lebih rendah, kenapa ikut repot memutuskan siapa yang membangun rumah.”
“Ah, kamu tak mahir mencari uang. Bangkrut melulu”

Ini tak melulu dengan harga diri seorang pria, tapi menyangkut soal martabat manusia juga lho. Memang ada bagian harta pria yang menjadi milik wanita, tapi sebagai pencari nafkah, mereka juga harus dihargai jerih payahnya, apalagi di depan anak-anak. Jangan sampai pertikaian masalah intern pasangan dibuka di depan anak-anak yang belum matang proses penalarannya. Jangan juga sangkutpautkan dengan pria yang kasar atau yang malas mencari nafkah ya, itu bahasan yang berbeda.

Menurut seorang psikolog, semua hubungan seharusnya selalu pakai rumus dasar 3P (Penerimaan Penghargaan Pemaafan). Susah?3P itu sejatinya demi kebaikan diri kita sendiri kok, biar hidupnya tenang tak kebanyakan pikiran. Bahagia itu pilihan kan, bukan tergantung pada orang lain.

Yes, women, you are the queen of your home.

Penguasa yang baik itu tahu bagaimana “memperkaya” bawahannya, asuhannya, agar mereka bisa menjalani hidup yang baik di luar sana, melalui makanan yang layak, pakaian yang bersih, perilaku yang santun, hingga tiba saat kau memetik "hasilnya", kau akan tahu namamulah yang pertama terngiang dalam benak mereka.

gambar dari nuphitaikmal.wordpress.com

Rabu, 07 Mei 2014

"Wisata" ke Dokter Gigi




Entah karena ada keturunan gigi-gampang-keropos, atau karena saya pernah doyan coklat, atau karena saya wanita, atau karena yang lain, gigi saya mengalami pembolongan dan intimidasi para kuman dalam bentuk lain, sehingga saya berganti hingga lebih dari 10 dokter gigi di berbagai kota yang berbeda. Sebut saja mulai dari gigi berlubang, gusi bernanah, tambalan copot, gigi palsu, dan yang termahal dalam sejarah pergigian yaitu implant, hmmm, tidak pernah, hehehe… Mahal amit-amit, satu gigi aja paling murah 7.5 juta. Tambah sedikit lagi, sudah dapat motor kan.

Bolak balik berhadapan alat jagal dan juga berbagai macam karakter dokter dan menghabiskan sekian juta rupiah kalo ditotal, saya mau berbagi sedikit tips untuk yang mau ke dokter gigi. Dokter gigi memang menakutkan, tapi harus tetap ditemui bagaimanapun caranya, entah itu pakai tutup mata atau pakai obat penenang, bius local dan sebagainya. Karena sekali saja fatal, bisa berimbas pada gigi lain yang masih bagus. Semua mengandung resiko, memang. At least, minimalkan resiko itu.

Persiapan Pribadi
Rajin membersihkan gigi dengan benar. Kalau mau tahu caranya, silakan google ya. Saya sudah coba banyak cara, dengan yang benar sekalipun, namun tak juga menemukan alasan kenapa lubang gigi tetap banyak :(

Jika takut bertemu dengan dokter gigi, minta bantuan orang terdekat, atau bikin perjanjian dengan dokter yang bersangkutan untuk bekerjasama. Bolak balik berurusan dengan bor, saya tak pernah curious seperti apa itu bor dan bagaimana kerjanya. Itu cukup menolong untuk memberanikan diri kembali ke dokter gigi.


Tempat Praktek
Carilah tempat praktek yang sebisa mungkin tidak bersatu dengan rumah sakit atau poli, jika memerlukan penanganan gigi yang serius seperti tambal, bernanah, gigi palsu, dan sebagainya. Pertimbangannya, penanganan jadi kurang maksimal. Jika harus kembali untuk penanganan lanjutan, bisa saja dirujukkan pada seadanya dokter, yang belum tentu sama dengan dokter yang menangani awal. Some say, doctor’s (any kind) work is an art.

Cari tempat praktek dokter di kota besar. Mereka punya banyak pesaing, sehingga pasti pelayanannya lebih bagus supaya dapat terus bertahan. Selain pelayanan bagus, ilmunya juga jauh lebih update. Saya pernah punya gigi yang nampak bagus tapi terasa sakit. Saya bawa ke dokter cantik, “Giginya bagus kok, tak apa, disikat aja yang rajin ya.” Pulang dari sana, masih pengen marah-marah karena sakitnya minta ampun. Cari dokter yang lain, tanpa babibu, langsung dibor dan ditemukan bahwa bakterinya berkembang di dalam badan gigi dan gigi tak bisa dipertahankan. Soal penanganan ini juga tergantung dokternya ya, ada yang menyarankan dipertahankan dengan resiko duit akan lebih banyak, ada yang menyarankan langsung dihabisi.

Jika sudah di depan praktek, lihat apakah dokternya memiliki asisten yang mengurusi administrasi pasien. Jika tak ada, masih bisa dimaafkan asalkan beliau memiliki asisten yang membantunya bekerja dalam tempat praktek. Mengapa? Karena tetek bengeknya dokter gigi itu banyak banget dan serba mungil, seperti mata bor, jarum suntik, salep penambal, kaca, sinar untuk menambal, alat penyedot iler, dan apapun itu saya tak tahu nama kerennya. Jika tak ada yang membantunya, bisa dibayangkan bagaimana repotnya si dokter, berapa banyak waktu anda terbuang untuk mulut menganga percuma, hingga tidak maksimalnya penanganan. Hal paling menyebalkan yang pernah saya alami adalah satu kursi beda perawatan. Jadi ketika saya memerlukan sekian jenis perawatan, saya mesti berkali-kali pindah kursi “spesifikasi” dengan memegangi kapas di mulut. Eh, hasil kerjanya bikin emosi pulak, grrrr, tambalan lepas dalam waktu beberapa hari saja.

Jangan terkecoh dengan pasien yang banyak. Dokter dan pasien itu berjodoh ya, jodoh saya belum tentu jodoh anda. Dokter itu bukan warung makan yang sudah pasti enak jika banyak pelanggannya. Saya pernah beberapa kali ke dokter yang pasiennya banyak dan sedikit dan itu bukan ukuran kualitasnya sebagai dokter yang baik. 

Pastikan dokternya memakai sarung tangan dan masker, sebagai bentuk penghargaan terhadap kebersihan.   

Siapa Dokternya?
Dokter pria atau wanita tak masalah sebenarnya. Secara keseluruhan, saya lebih suka ditangani dokter pria. Kebanyakan dari mereka menangani dengan total, ada yang total baik dan ada yang total biayanya tinggi sekali saking totalnya. Hahaha.

Teslah si dokter dengan kondisi anda yang paling bobrok. Misalnya “Aduh gigi saya beranak banyak, aduh tambalan saya kok warnanya jadi ijo ya.” Jangan hanya sekali aja, tiap kali datang tes aja dengan masalah anda. Hehehe, tapi masalah beneran ya, bukan bohongan seperti contoh saya tadi. Jika beliaunya tak tahan, bisa saja muncul komentar yang menyatakan betapa malangnya anda, betapa malasnya dia menangani bagian yang bukan dari kerjanya, dan sebagainya. Biasanya sih, kali pertama sudah langsung kelihatan bagaimana dedikasi dokter terhadap pekerjaannya. Dokter akan diam saja dan segera bekerja memeriksa bagian mana yang perlu ditangani. Seandainya perlu mengatakan sesuatu, beliau akan mengatakan yang benar-benar harus dikatakan. Urusan gigi itu sensitive lho. Benar juga nasehat seorang psikolog, bahwa dokter dalam bidang apapun juga perlu mempelajari ilmu psikologi.  

Seperti halnya kelahiran, ada pilihan untuk normal dan operasi. Dalam pencabutan gigi juga hampir sama, ada cabut normal, cabut kompleks, hingga operasi. Ada akar gigi yang menancap kuat sehingga memerlukan beberapa kali usaha pencabutan. Tak mau repot, bisa aja sobek dan jahit. Dokter inilah yang berusaha untuk mencabut sekuat tenaga atau malah main iris saja.


Biaya
Biaya itu memang hal yang tak bisa di hindari dalam urusan gigi, alias udah pasti banyak. Jika giginya banyak bermaslaah seperti saya, sebaiknya mulai memutuskan untuk memiliki dokter langganan, yang bisa diajak untuk membuat perencanaan bersama. Tapi ini ya gampang-gampang susah ya. Pernah dapat dokter bagus dan lumayan terjangkau, lha kok cepat meninggal. Pernah dapat bagus lagi, tapi mahalnya amit-amit.

Sebaiknya sih, tak hanya dokter yang bekerja tapi kita juga. Cari referensi yang banyak, supaya bisa mempertahankan gigi dengan perawatan sendiri, yang minim resiko. Almarhum dokter langganan saya itu selalu menyarankan rajin kumur dengan air rebusan daun sirih. Contoh nyata, nenek-nenek di kampong yang suka mengunyah sirih, meski merah kan giginya kuat, tinggal dua tetap aja tinggal dua sampai akhir hayat.

Penting juga untuk menyerahkan keputusan pada dokter gigi yang lebih tahu mana yang paling urgen untuk ditangani. Jika dokternya tak berkenan diajak kerjasama, ya sudah sebaiknya jangan balik lagi. Seorang dokter, tiap kali datang selalu mengeluh, yang gigi saya jelek lah, yang dia tak mau memperbaiki kerjaan dokter dulu lah, dan sebagainya. Well, dokter juga manusia, tapi ada juga dong saatnya benar-benar profesional, karena sebagai pasien kita kan bayar, tidak minta gratisan. 

Begitulah sebagian kecil yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat. Silakan ubek-ubek judul lain tentang dokter gigi, untuk mengetahui serba-serbinya. Jangan lupa enam bulan sekali, jadwalkan kunjungan ya. Demi kesehatan anda :)

gambar dari id.gofreedownload.com