“Kenapa kamu gak
mau pake odol? Konspirasi lagi ya?” todong seorang teman.
“Hehe, iya, tapi
aku masih harus cari sumber lain lagi, beneran tidaknya,” jawab saya pendek,
tak mau menerangkan lebih lanjut.
“Aku tetep pakai
odol aja ah, isis. Lagian kamu ini, apa-apa
selalu dihubungkan dengan konspirasi,”
“Gak lah, gak
semua,” kata saya membela diri. Padahal saat itu saya sedang berjuang
mati-matian melawan buncah kegalauan tentang “sempitnya” dunia maya, karena bisa
menemukan apapun yang menggalaukan iman dan hati. Sampai sempat terpikir,
jangan-jangan dunia ini sudah dikuasasi oleh Yahudi, yang lain ngontrak,
hehehe..
“Aku cerita ke
suamiku kalau kamu tuh suka menghubungkan apa-apa dengan konspirasi. Lalu aku tanya apakah suamiku
percaya konspirasi dan jawabannya tidak,” tambahnya.
Saya hanya
tersenyum dan tidak berusaha menunjukkan sekian bukti dari berbagai sumber maya.
Enggak ah, ntar dikira gila beneran, repot saya ini, hehehe… Meskipun, dari
sekian halaman maya yang pernah mampir dalam benak, ada juga yang berkorelasi
dengan Al Qur’an, menggelitik analisa pribadi yang mencoba menghubungkan banyak
hal berkesinambungan, hingga kemudian berusaha berdiskusi dengan beberapa orang
yang cukup tahu, syukurlah, ada yang mengamini.
I wasn’t the one
crazy, lunatic, insane, out of my mind, or whatsoever. We’re about to get crazy
about the world. No, no, no we’re going to be as crazy as the world inside,
hahaha….
Don’t blame the
web, blame your curious thumb.
Saya pribadi tak
bisa sepenuhnya menyalahkan internet, teknologi tetap dibutuhkan, namun harus
dalam pengendalian yang ketat, mengingat mudharatnya bukan urusan main-main. Sometimes,
clash of opinions may distract your way. Salah saya juga, kenapaaa juga mesti
berkelana ke berbagai halaman ajaib, tanpa menyadari bahwa kapasitas otak saya juga
punya batas, hehehe… Sisi positifnya adalah, saya mulai membangun sebuah
“benteng”, demi kesehatan mental dan spiritual.
Hingga suatu
kali saya sudah cukup bisa menahan bercerita tentang konspirasi serta sekian
jenis perang pemikiran atau bahasa kerennya ghawzul fikri, memandangnya lebih
santai karena sudah mulai menemukan benang merahnya. Sedangkan teman saya tadi
mulai merasa serius soal konspirasi, eh, saya belum konfirmasi ulang. *tolong
jangan jitak saya, ya*
Your good friend
may not always agree with you, but you both can take the good side of every
clash. You may argue in some part, but you don’t mix them up with another
thing.
She’s getting
better.
“Aku sebenarnya
pengen ajak kamu ke pengajian, tapi jauh,” katanya suatu hari.
“Andaikan anakku
masih kecil banget atau malah sudah gede, jadi bisa kubawa atau kutinggal
sekalian,” tukas saya menolak, tanpa berpikir panjang lagi.
Actually I don’t
like to think of another reason. Any kind of reason is just a way to escape
from something you don’t wanna strive hard. Saya lebih memilih bukan karena keadaan,
tapi saya belum cukup berusaha. Semisal, para pejuang Palestina yang berada di
bawah ancaman ranjau dan granat setiap saat, masih bisa kok menghasilkan ribuan
hafidz dan hafidzah. Sedangkan kita yang aman nyaman sentosa di negeri yang
kaya raya, mesti didukung dengan langkah ODOJ, setoran hafalan surat, dan sebagainya.
See, comfort pests you gradually.
Jauuuuh hari
sebelumnya, saya menyampaikan keinginan saya untuk berhijab panjang yang maju
mundur. Well, we do know that they are stated in the holy book, but talking
about it may make us too intelligent, jannah-addicted, and
universally-restricted *or am I the only one, hehehe*
“Ya tetap
beragama, tapi sudahlah jangan terlalu fanatic. Tetap pakai hijab tapi yang
biasa aja,” katanya “mengingatkan”.
Tak perlu
berusaha berargumen panjang lebar mengapa, biarkan dia mencarinya sendiri, I
just said the bait, hehehe… Busana memang hanyalah lambang, namun busana adalah
bagian dari resonansi beragama di jalan yang lebih tepat. Soal busana kemudian
dijadikan tabarruj, itu cerita lain.
Ketika anda
sudah mencapai satu langkah kemajuan, seharusnya yang baik adalah mengajak dan
mendorong teman dekat untuk bisa melangkah bersama. Saya sempat sungkan juga
menunjukkan perubahan bahwa saya sedang berusaha memakai penutup di manapun
saya berada, kecuali mandi dan tidur. In fact, she took it positively. I didn’t
even try to influence her to copy what I did.
“Aku kan mau juga sepertimu,
yang pakai hijab setiap saat,” katanya.
Glek, saya
bahagia lagi, karena saya ikut jadi bagian hijrah ke arah yang lebih baik.
sementara saya masih jalan di tempat. Memang sih sudah hijaban terus, bahkan
para “satpam” kecil saya selalu mengingatkan kalau saya meleng sedikit saja.
Tapiiii pas menyapu halaman atau menjemur cucian, masih suka risih dengan cara
menaikkan rok atau celana supaya tak menutupi mata kaki, hehehe…
Teman saya ini, yang
sempat tak berkenan dengan hijab panjang, berjalan jauh lebih cepat dan
progresif. Rajin ikut pengajian, beberapa kali obrolan saya mulai akrab dengan
kata murojah, liqo, tartil, yang saya sama sekali tak tahu artinya, it’s my
origin forgetfulness. Dia juga memakai busana syar’i, yang serba panjang dan tak melekuk tubuh itu,
dan mulai membersihkan lemari dari banyak busana yang tak lagi “layak pakai”.
“I was so
liberal,” akunya suatu saat, seraya bercerita sekian pengalaman beragama yang
benar-benar standard. Saya jadi sangat berhati-hati ketika misalnya, ingin menyampaikan
keajaiban sedekah, sebagai solusi alternative pada beberapa masalah yang dia hadapi.
I failed actually, she needed reason for something I couldn’t explain and I did
believe that any miracle is individual. Keajaiban adalah pemenuhan kebutuhan
setiap orang, dalam posisi superior. Sedekah adalah salah satu bagian untuk
menjemput keajaiban, tapi itu bukan berarti sedekah dalam jumlah sama dari
orang yang berbeda akan memberikan imbas yang sama pada mereka.
“Since I decided to quit (the previous job), I
have more time to do anything. Lebih nyaman, karena lebih banyak waktu untuk menunaikan
ibadah, meski tetap bisa bekerja mencari uang.”
Saya menunggu,
menunggu, menunggu, ijin untuk menuliskan sekelumit tentang hijrahnya.
“Pasti karena
postinganku soal syiah tadi siang ya,” todongnya, ketika saya minta ijin untuk
menuliskannya.
“Lho kan masih banyak yang
menganggapnya sebagai sebuah aliran saja. Tidak berbahaya,” kata saya.
“Kata siapa tidak
berbahaya?” tukasnya meradang.
Hehehe,
alhamdulillah.
Sebenarnya saya juga
ikut menunggu saat sampai mana dia berjalan, supaya saya bisa ikut mengetahui
jawaban beberapa ghawzul fikri yang tak bisa didiskusikan dengan semua orang.
Lumayaaan, belajar agama dengan lebih santai, ga perlu keluar rumah, kadang
lewat chatting atau pas tukar menukar barang dagangan.
Untuk menjalani
sebuah pilihan, sebenarnya kita selalu membutuhkan alasan kuat mengapa, supaya
lebih mantap menjalaninya. Ketika nantinya menemui tantangan akan
keberadaannya, kita masih sanggup untuk berdiri tegak di atas tanah yang kita
pijak. Ikut-ikutan atau menurut tanpa sebab yang jelas, bukanlah alasan yang
kuat untuk bertahan.
Menyadari dunia
yang semakin tua, adalah menyadari bahwa kita akan ikut lapuk di dalamnya,
kecuali hal mutlak yang tak kasat mata yang tercatat dalam amalan.
“Menurut
penelitian, usia kita ini, antara 30-40an adalah usia menuju kematangan
spiritual, mulai menuntut diri untuk belajar lebih banyak tentang agama,”
jelasnya.
Saya tercenung,
waah, lama banget ya proses pemahaman saya yang sudah mengenal agama sejak usia
sekolah dasar. Tak heran jika salah satu amalan keren adalah menghabiskan masa
muda (remaja) untuk beribadah. Lalu jika usia ini adalah puncak kematangan
spiritual, lalu apa sesudahnya, membentuk kurva yang seperti apa. Bisakah
membayar carut marut dan kebodohan hari kemarin dengan kekhusyuan hari ini?
Bisakah menebus semua dosa yang pernah sengaja dilakukan dengan ketaatan hari
ini?
Namun kekuatiran
itu (diusahakan) senyap perlahan begitu mengingat bahwa iman itu seperti mandi
dan makan. Kita mandi dan makan setiap hari, beberapa kali dalam sehari, dengan
kemungkinan sakit, tertular virus, terkena bakteri, dan penyakit lainnya.
Kemungkinan juga mengalami bau badan ketika terjadi perubahan hormonal, juga
ketika membersihkan ikan yang amis atau sering lewat penampungan sampah, juga
ketika makan yang berbau tajam seperti bawang bersaudara. Kemungkinan juga sakit
perut jika yang dimakan barang yang tak benar, haram, atau logisnya, tak
sinkron dengan metabolisme tubuh. Tapi tetap kita harus mandi dan makan dengan dengan
cara yang lebih baik, supaya bertahan hidup. Jika perlu, disambung dengan lulur
dan facial sekali waktu dalam sebulan. Begitulah iman.
Bukan berarti beragama itu cukup aman dengan melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan, namun juga tekun menjalani hingga mencari resonansi "milieu" yang tepat.
"Hijrah
will not cease until repentance becomes useless; and repentance will
not become useless until the sun rises from the West."
(Abu Dawud)