Sabtu, 25 Oktober 2014

Ibu-ibu, Bekerjalah




Akhir bulan lalu, genap lima tahun perjalanan saya menjadi seorang ibu, sekaligus lima tahun usia anak sulung saya. Ah, masih sama-sama unyu dalam hal pengalaman, masih banyak belajar memahami satu sama lain.

Waktu “usia” saya masih setahun pertama, saya oon banget sebagai ibu. Berangkat kerja, mewek di hari-hari pertama lalu biasa aja. Tak pengen perlakuan yang terlalu istimewa untuk Ken, toh dia belum paham (menurut saya waktu itu). Waktu dia dititipin ke nenek-neneknya atau bersama asisten, saya juga lempeng aja, tak terlalu pusing mau pakai parenting style manapun. Bahkan, naluri suami saya tumbuh lebih awal daripada saya. Dia yang sering bangun malam hari, karena saya pulas minta ampun. Kecapean sih, kerja pulang malam terus *alasan*. Dia juga yang marah-marah, kalau saya tinggalin anak mainan sendiri, lalu saya nonton kartun. Hihihi.. 

Nangis juga, waktu diberitahu tetangga bahwa si asisten yang masih usia belasan itu, menggulingkan (tanpa sengaja) sepeda yang dinaiki Ken di tanah bebatuan, membuat hidungnya berdarah. Saya tanya anak saya kenapa, dia tak mau mengaku, hanya bilang kalau Ken gatal dan selalu usil menggosok hidungnya hingga berdarah. Supaya tak ketahuan, pas mandi, dia kruweki sendiri itu lukanya Ken sampe berdarah yang kedua kalinya. Aih, masih muda kok udah sadis. Untung hanya ikut saya selama beberapa bulan saja.
 
Drama selanjutnya, saya pernah “kalah” sama seorang asisten yang judesnya minta ampun, mau gendong anak saya aja nggak boleh. Ndilalah, si Ken ini udah usil sejak bayi, jadi dia juga tak mau sama saya, tapi mau sama ayahnya dan orang lain. Hukuman buat ibunya yang cuek ini kali ya. Hiyaaa, bayangin betapa terlukanya perasaan seorang ibu. Buat sebagian orang, itu aib, ibu macam apa yang tak dimaui anaknya. Buat ibu-ibu muda lain, “Biasaaaa bu, ntar juga mau sendiri kok. Namanya juga anak-anak, masih semaunya sendiri.”
Buat nenek yang baik hati, ”Udaaah, ga usah dipikir, lihat di tivi, anak hilang yang terpisah dari orang tuanya selama bertahun-tahun, masih mau kan nyari orang tuanya supaya bisa kumpul bareng. Ikatan batin antara ibu dan anak itu tak akan tergantikan.”

Tak dinyana, tak direncana, saya dikaruniai anak lagi, sewaktu Ken baru berusia 15 bulan, baru aja bisa jalan. Bisa jadi, saya punya anak dengan jarak usia berdekatan itu, sebagai peringatan dari Allah, biar tumbuh lebih cepat nalurinya. Pernah lho, saya lupa kalau udah punya anak dua. Ceritanya, waktu si Ken sedang super aktif dan saya sedang hobi mengejarnya ke sana kemari. Adiknya lagi tidur pulas, lalu menangis keras menyadari si pabrik susu tak ada di sisinya. Saya sempat nyeletuk, "Anak siapa sih, kenceng banget nangisnya."
Beberapa saat kemudian baru sadar, "Ya Allah, aku kan baru lairan beberapa minggu kemarin."
Saya lari terbirit-birit ke rumah. "Awas mbak, jahitannya (operasi). Ngapain lari-lari?" 
"Aku lupa anakku sudah dua."

Awal-awal punya anak dua, saya masih pakai asisten. Ngos-ngosan juga mengatur keuangan dari satu penghasilan, dengan mental ibu bekerja yang sebelumnya mau apa aja langsung beli. Meski bukan itu sih masalah utamanya, tapi soal asisten yang masyaallah, ringan tangan sama Ken yang super aktif dan dia juga panjang tangan alias suka mengambil ini dan itu. Akhirnya memberanikan diri tanpa asisten di usia Uma belum genap lima bulan. Cape banget, tapi fun juga, hingga idealisme itu menggelegar *waaa*. Saya pernah pasang biodata di sebuah blog berjamaah, "Ibu rumah tangga yang bangga bla bla bla..." Pokoknya, macam rookies yang sok banget menjalani hari-hari barunya.   

Idealis amat, sampai saya berpandangan, betapa teganya para ibu yang meninggalkan bayinya demi bekerja. Jadi waktu keemasan bayimu itu setara dengan gaji bulananmu, begitu?
Jadi tak mau menyusui biar tak rusak buah dadamu, begitu?
Jadi tak mau menyusui, karena kandungan susu formula itu lebih bagus, lebih nyaman dan tak ribet, begitu?
Jadi kerja itu sebagai aktualisasi dirimu, biar tak monoton dalam rumah dan tak kuper, begitu?   
Lupa saya, kalau saya sudah melakukan hampir semuanya itu kepada Ken, dan dia langsung "menghukum" saya. 
 
Saya masih saja berpandangan seperti itu sampai kemudian tiba masa anak-anak saya bermain dengan teman sebayanya. Saya menemukan fakta bahwa menjadi ibu rumah tangga bukan harga mati untuk tumbuh kembang anak yang sempurna dan berakhlak mulia. Ada anak yang minta dipithes saking ndablegnya, karena ibunya (ibu rumah tangga) galak minta ampun. Ada anak yang begitu manis dan menyayangi ibu serta saudara-saudaranya, padahal ibunya bekerja.

Ibu dari seorang teman, pernah memberikan 'fatwa' kepada anak-anaknya, bahwa semua wanita harus bekerja, tapi setelah anaknya berusia dua tahun. Iya, waktu itu cari kerja masih gampang, tak perlu rebutan kursi seperti hari-hari ini. Ketika anak-anak mulai main sendiri, meski belum sekolah, saya merasakan juga betapa manjurnya 'fatwa' itu. Tiba juga rasa ingin kembali bekerja rutin, meski tak sanggup juga membayangkan bagaimana mengatur hati dan tenaga. 

Mindset bekerja udah terlanjur sebagai kerja kantoran. Padahal kerja itu luas, bahkan tukang bubur pun naik haji kan. Dalam artian kerja di sector informal pun, jika tekun menghasilkan duit lebih pahala lebih, fleksibel waktu, dan banyak lagi. Semua itu pilihan masing-masing dan tiap orang yang memahami bagaimana kemampuannya sendiri. Semua rumah tangga punya kebutuhannya masing-masing. Masa anda menyuruh orang di rumah jika dia seorang ibu tunggal dengan anak-anak yang butuh makan dan sekolah. 

Kalau suami masih mampu, ya kita juga mesti mampu menabung yang banyak untuk hari depan kita bersama untuk liburan dan kebutuhan tersier lain. Kalau suami belum sepenuhnya mampu, ya kita emang harus turun tangan, karena pasangan itu harus saling mendukung.

Sebagai makhluk multitasking, semua wanita, wajib bekerja. Apapun itu bentuk dan caranya, selama halal, dengan prioritas pribadi masing-masing. Jika memang untuk menambah kas rumah tangga, teguhkan hati. Jika untuk aktualisasi diri, jangan lupakan kewajiban utama sebagai ibu dan istri.



Senin, 07 Juli 2014

SeSaMa #3: Agak Paceklik

sumber

Ramadhan tahun lalu.
Seminggu setelah menerima gaji bulanan dari suami.
Bulan itu kebetulan banyak sekali tagihan yang mesti dilunasi, hingga uang hampir habis dan tersisa tinggal 50 ribu rupiah. Padahal masih butuh sekitar tiga minggu lagi untuk bertahan. Apalagi saat itu ada keponakan yang sedang berkunjung. Beruntung juga sih, sedang bulan puasa, sehingga tak terlalu merasa berdosa ketika saya tak bisa mengajak dia jajan seharian. Dalam beberapa hari ke depan, masih butuh uang transport sekitar 50 ribu untuk ke tempat terapi wicara anak. Lalu kalau habis buat transport, makan apa? Ya Allah, “pandai” banget saya mengatur uang bulan itu ;)

Saya bingung, masa mau minjam, dengan alasan untuk menutupi kebutuhan hidup. Kok merasa belum sebegitunya, ini hanya kebetulan, mencoba optimis, hehehe... Ingat kata Yusuf Mansyur, kalau memiliki kesulitan, Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Sepertinya nasehat itu harus dicoba, bukankah Allah seperti prasangka hambaNya. Saya sengaja tidak bilang siapapun, sambil terus mikir, apakah jika aku terus berdoa akan ada uang jatuh dari langit, atau tiba-tiba orang datang ngasih duit, atau apa ya. Biasanya Allah memberi umpan dan kita menyediakan kail, supaya kita dapat makan rejeki dari dua arah, rejeki itu sendiri dan juga pelajaran berusaha. Tapi, saya punya kail apa yaa...

Sesiang itu saya komat-kamit berdoa kebingungan, mesti ngapain. Sebenarnya masih banyak juga piutang ke pelanggan,tapi sungkan juga nagih karena mereka belum waktunya bayar. Bolak balik saya browsing untuk mencari ide, lalu mengitari isi rumah untuk melihat barang apa yang layak jual. Apakah ini waktunya dagang turun gunung dengan beredar ke rumah-rumah? Tapi nanti bagaimana dengan anak-anak yang masih berlarian kian kemari, dua balita bersama gelendotan barang bakulan?

Coba sih, jual barang-barang itu via online. Bukan ke teman, ke orang lain aja. Saya buka akun di tokobagus, yang sekarang namanya olx. Saya upload beberapa barang yang dulu susah laku, diturunin dikit dari harga biasanya, lumayan kan beda 20-30 ribu, siapa tahu ada yang tertarik.
Beberapa orang mulai sms menanyakan dalam sehari, namun tidak meyakinkan karena mereka minta melihat langsung ketempat. Saya waspada dan mau ketemuan aja di toko tetangga yang letaknya di pinggir jalan raya. Ternyata dia menolak, wah udah indikasi tak beres ini. Saya mulai deg-degan, jangan-jangan menolak rejeki nih. Enggak salah juga kan, hati-hati dengan orang yang belum kita kenal. Lagipula kalau dia berniat baik, mestinya dia bersedia janjian di tempat yang disepakati untuk menindaklanjuti pesanannya. Ternyata tidak.

Esok siang, ada seorang wanita yang tertarik dengan sebuah barang yang harganya beberapa ratus ribu. Glek, saya menelan ludah menahan senang, semoga ini nyata. Setelah deal via sms, dia hanya memastikan barang masih benar-benar bagus. Saya beritahukan cacatnya hanya kardus penyimpanan yang koyak, tapi isinya masih utuh dan bagus. Di hari biasa, jika ada teman transfer, saya percaya aja pasti masuk. Hari itu, karena tak ada cukup uang, saya cek dulu ke atm sebelum mengirim barang kepadanya. Saya berangkat sembari komat-kamit lagi, hehehe, semoga ini nyata. Alhamdulillah, saya hampir tak percaya ketika saldo bertambah, bahkan kelebihan ongkir. Tak tega, bulan puasa pula, saya kembalikan dalam bentuk pulsa.

Sekitar 2-3 hari kemudian, seorang anak kuliah naksir barang seken yang saya pajang dan memborongnya, bahkan meminta saya melengkapi dengan barang yang bisa saya hutang dulu di toko langgganan. Alhamdulillah, padahal baru aja kenal. Mumpung masih ada keponakan di rumah, jadi saya bisa titipkan anak-anak sementara saya ke kantor ekspedisi yang letaknya di pinggir jalan raya.

Setelah uang ada di tangan, legalah saya bercerita kepada semua orang bahwa saya baru saja melewati masa itu. Tak mahir dagang online nih, ribet wira-wirinya dan malas berurusan dengan hape terlalu lama, takut banyak urusan terbengkalai.
“Kalau gitu ayok sekarang traktir aku ke hokben, Te” ajak keponakan dengan lugunya.
Saya mendelik sewot.
“Eh, lu kate duit ni buat seneng-seneng aje. Mau sahur dan buka pake tempe tahu dan air putih?” Keluar deh galak dan pelitnya ;)
Dia tertawa.   
Ketika cerita ke teman dekat, dia terenyuh, “Kenapa enggak pinjam aku aja?”
Pengennya sih saya bilang, ini semua karena harusnya kita menggantungkan semua pada Allah. Tapi sungkan ah, ilmu cekak begini.
“Terima kasih ya, tapi kapan-kapan kalau sudah kepepeeet banget. Selama masih berusaha, ya harus diusahakan dulu semaksimal mungkin.”
Dari situ, saya belajar banyak, "transaksi" dengan Allah nampaknya fiktif, tapi selama kita percaya, sebesar itulah yang akan kita terima.

Fa-biayyi alaa'iRabbi kuma tukadzdzi ban
Maka nikmat Tuhankamu manakah yang kamu dustakan.

Sebagai penutup, ketika saya buka akun lagi untuk jual dagangan yang ada, dalam kondisi berlebih, tiba-tiba penjualan seret, padahal harga udah jedug. Sepertinya mesti lebih tekun lagi jika berniat jualan online :)

SeSaMa #2: Ghibah

sumber

"Great minds discuss ideas. Average minds discuss events. Small minds discuss people.” - Eleanor Roosevelt.

Kalau ketemu teman yang enak diajak ngobrol, apa sih yang kita omongin? Susah kan, kalau gak ngomongin orang, ayo ngaku aja lah. Saking 'enaknya', bahkan ghibah itu diibaratkan memakan daging, tapi bangkai. Puasa yang bermakna juga ditandai dengan 'no ghibah days'. Tapi tak semua membicarakan orang itu buruk. Buruk jika kita membicarakan sesuatu yang tidak dia sukai. 

Seorang ibu. Call her, menace of the alley ;)
Sekali anda bertatap muka dengannya dan atau berurusan dengan orang di sekitarnya, tak lama lagi akan segera beredar berita tentang anda kepada orang lain, juga tentang orang lain kepada anda. Nah, bayangkan jika anda hidup di sekitarnya setiap hari, hahaha... Bapak-bapak saja, yang biasanya hampir bebas dari dunia pergosipan, jadi ikutan kuatir jika mereka jadi bahan hari ini, dengan dengan "bumbu penyedap" yang tak akan bisa ditemui di tukang sayur manapun. Astaghfirullah, pahala saya berkurang nggak ya? Kadang saya refleks menjauh jika bertemu, takut diajak ghibah jamaah, dan kebanyakan di antaranya enggak bener, kebanyakan bumbu.
   
Almarhum mbah kakung dan kakak saya memiliki kebiasaan yang hampir sama, selalu nggelibet kalau orang-orang di sekitarnya sedang khusyu membicarakan orang lain. Apalagi mbah kakung memiliki sepuluh orang anak, yang tujuh di antaranya adalah wanita. Beeuh, bisa dibayangin kan riuhnya. Reaksi yang dilakukan adalah mulai dari dehem-dehem sampai menegur langsung,
"Lha memang kalian dapat menfaat apa dari membicarakan mereka?"
Semua langsung senyap. 

Waktu masih sekolah dulu, saya pernah dapat edaran sebuah tabel dosa dan pahala, isinya centang yang sudah kita lakukan hari ini, mulai dari ghibah, sholat wajib dan sunnah, dsb. Saya sempat isi dalam beberapa hari, setelah itu buyar. Ternyata centang saya terlalu banyak, dosanya. Mesti gimana dong?

Ribut-ribut di media sosial, membuat semua orang mempunyai lahan berbayar kuota untuk ghibah jamaah, tentang sesuatu yang kadang belum pasti kebenarannya.

Lalu hukum ghibah yang benar itu gimana?
1.  Haram jika berkaitan dengan aib hingga kemudian memunculkan namimah (adu domba). Yang mendengar harus memperingatkan atau mengalihkan. Kalau enggak, ya bersama menanggung dosa.
2. Wajib bila itu bisa menyelamatkan seseorang dari bencana.
3. Boleh bila merasa terdzalimi, meminta pertolongan, untuk memperingatkan, dan juga sebagai pelajaran hidup apabila yang bersangkutan memperlihatkan kefasikan di depan umum, seperti mabuk.
Lebih lengkapnya, silakan baca di sini.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. maka kamu tentu merasa jijik. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat dan Maha penyayang (49:12)

Rasanya, kebiasaan ini lekat banget dengan kodrat wanita, terutama ibu rumah tangga *langsung nutup pintu*. Ketika anak mulai besar dan waktu luang mulai banyak, kemungkinan yang bisa diambil ibu rumah tangga hanya berujung dua, terlalu nyaman dengan rumah atau malah kelewat idealis *nyengir lebaaar*.

Saya sedang berusaha. Diawali dengan cara sepele saja, tak mengungkapkan keburukannya di tulisan media sosial, atau meminta ijin dulu jika mau menuliskannya. Bagaimanapun hubungan di dunia nyata itu jauh lebih berarti daripada hubungan maya. Berusaha empatik aja, mau gak sih misalnya saya dalam posisi dibicarakan tanpa ijin. Pernah sih, mengalami masa-masa, semua-mua dilaporin ke wall, sampai ditegur seorang teman.
"Jangan-jangan urusan kita ini kamu ungkap di wall juga," katanya kuatir. Ouch...
Ternyata banyak juga yang jauh lebih parah, sindir sana sini, bahkan sebut nama langsung, sampai ada yang trauma ga mau bermedsos lagi. Aduh, kasihan banget ya.

Bagaimana menghindarinya?
Temanmu adalah dirimu, jadi mulai pilah-pilih teman yang lebih banyak membicarakan hal positif. Jika kebetulan terlibat dalam area bersama, coba taruh posisi kita pada yang sedang dibicarakan, mau gak sih. Jika berani, coba tebus dosa dengan menemui yang bersangkutan dan meminta maaf telah membicarakannya. Hehehe, do you think it's so silly?

Sebuah kisah.
"Aku baru saja membicarakan sesuatu yang tak menyenangkan orang lain," curhatnya pada orang bijak.
"Belilah sebuah bulu-bulu (kemoceng), lalu buang satu per satu di sepanjang jalan yang tadi kamu lewati," ujar sang bijak.
Beberapa saat kemudian, dia kembali.
"Lalu apalagi?"
"Sekarang punguti semua bulu yang kamu buang tadi."
"Bagaimana mungkin?"
"Begitulah kata-kata, sekali kamu ucapkan, akan susah untuk mengambilnya kembali." 

Waaa, kita sudah membicarakan apa dan siapa saja hari ini? Penting untuk kebaikan kita atau tidak? Secara fisik, puasa memang menahan lapar dan haus. Namun jika ada bagian syahwat lain yang tak terkekang, berapa banyak 'tabungan' yang tersisa?

Khilaf adalah nama tengah manusia. Mari saling mengingatkan, semoga puasa kita sempurna hingga akhir Ramadhan. Amin.

Kamis, 03 Juli 2014

SeSaMa #1: Intro


source
Apa yang menjadi persiapanmu beberapa bulan lalu, menjelang datangnya Ramadhan?

Saya, nyicil baju lebaran buat anak-anak, hahaha. Jadinya waktu lebaran udah ga terlalu repot cari baju buat mereka, atau tak perlu meluangkan waktu terlalu banyak. Repotnya sekarang kalau beli baju, harus berurusan dengan si kecil yang udah mulai tahu urusan emaknya, yang hampir tiap hari nagih kapan baju barunya dipake. Dibilangin buat lebaran, eh dianya maksa buat ngaji harian di masjid. Hehehe, susah juga ya keluar dari mindset bahwa lebaran tak harus dengan baju baru.

Intro yang agak keren, saya memberanikan diri ikut ODOJ. Saya bilang berani, karena dengan bacaan yang masih amburadul, pemahaman yang sepatah-sepatah, serta kebelumlihaian membagi waktu dengan baik, ini sebuah langkah yang nekad. Iyaah nekad. Tapi (ikutan jargon kampanye), jika bukan sekarang kapan lagi? Apalagi untuk bisa ikut pengajian keluar itu susah. Ya susah niatnya, waktunya, dan alasan-alasannya, hehehe... Apa ya kemudian tak boleh ibadah dilakukan di rumah?


"Bacalah oleh kalian Qur'an, karena dia akan datang pada hari kiamat kelak sebagai pemberi syafa'at bagi orang-orang yang rajin membacanya." [HR Muslim 804]   

Di awal ikut sangat semangat, lalu mengendur di tengah-tengah. Gimana mau semangat kalau tiap dapat beberapa ayat, dua titipan yang sedang masa jahil itu, berlarian mengitari emaknya, sambil pukul-pukulan. Syukurlah, as a woman and also a multitasker, dua tangan, mata, serta kaki ini bekerja semaksimal mungkin. Kabar baiknya, ada saat mereka ikutan mengambil bacaan ngajinya sendiri atau menyediakan tangan mungilnya sebagai pena penunjuk bacaan. Saya belum cari hukumnya sih, apakah kondisi seperti ini dibolehkan ketika membaca kitab suci?

Di tengah pro dan kontra tentang ODOJ, seperti semua debat yang selalu abadi di negara ini adalah, seberapa banyak sih yang kita tahu tentang sesuatu, hingga berani mendebatnya mati-matian? Mbok ya berbaik sangka pada berusaha kreatif menjalankan ibadah. Hidayah itu mahal bo', yang paham sampai khatam puluhan kali hingga mengkaji sana-sini, masih bisa lho membelokkan makna ayat hingga semisal, menghalalkan pernikahan sejenis, naudzubillah. Apalagi, yang ilmunya cekak, kayak awak-awak ini, udaaaah, sinau, sinau, sinau... 

Intro inilah yang entah bagaimana caranya bisa bikin mata melek lebih lama. Memang tidur adalah ibadah dan selalu lekat dengan hari-hari panjang di bulan Ramadhan. Tapi bukannya lebih baik lagi jika tidur digantikan dengan aktifitas bermanfaat. Tak hanya bikin mata melek di pagi hari setelah sahur, tapi juga tidur siang tidak terlalu "kesirep". Ah, saya jadi agak paham kenapa ngaji mesti dibanyakin waktu bulan penuh rahmat ini, salah satunya ya anda tidak kebanyakan tidur melebihi waktu delapan jam. Hahaha, "sangat menjelaskan." Tidur itu kan kondisi setengah mati, jadi syukurilah ketika kita bangun masih dalam kondisi lengkap dan selamat. Tidur itu memang ibadah, namun jika dia dibandingkan dengan waktu habis untuk ghibah atau menghitung jam menuju berbuka, hehehe... 

Soal bacaan yang amburadul, ada sifat ilmu yang hampir sama satu dan lainnya. Semakin sering akan semakin mahir, semakin memiliki keinginan untuk lebih baik, dengan cara apapun. Mumpung keponakan saya yang lagi mondok libur lama, saya minta diajarin baca yang bener. Saya diketawain melulu, gara-gara "Bukan seperti itu, teee..." Hehehe, usia memang hampir berbanding lurus dengan keras kepala ya.


Intro nasionalnya, yang lagi in, ghibah capres. Waa, panas banget, sampai bikin pusing karena semua hanya dipenuhi oleh pembelaan berlebihan pada kandidat jagoan, klarifikasi hoax, hingga serangan balik kepada kandidat lawan. Puasa sebentar, lalu balik perang lagi. Kapan nih capenya?
Berita soal penutupan Dolly yang masih berjalan maju mundur, yang sudah pasti manfaat dan mudharatnya, hanya menempati trend dalam beberapa hari, selanjutnya balik lagi civil war. Entah apakah ini semua akan berakhir pasca 9 Juli, atau malah lebih keruh. Debat berkepanjangan ini sudah banyak membuat kita kehilangan banyak empati dan simpati, saling hujat dan umpat. Tak sadarkah kita, bahwa pengeroposan mental kita yang “mereka” serang. Sebenarnya kandidat presiden itu manusia biasa, ada kurang lebihnya. Yang mesti dipilah-pilih, mereka mengusung kepentingan apa bersama orang-orang plural yang berada di belakangnya. Eh, kok jadi belok ke politik gini ya, maap.

Ramadhan memang datang setiap tahun, tapi jangan-jangan rejeki kita udah habis duluan. Rejeki di dunia kan udah dijatah dari sananya. Jadi kalau jatahnya habis, anda tahu kan siapa yang harus ditemui ;)


Jika mengingat hakekat waktu yang tak kenal kompromi, ada baiknya kita siapkan Ramadhan beberapa bulan sebelumnya. Sah-sah aja kan, membeli baju baru dan menyediakan kue-kue *teteeep*, dengan tujuan agar bulan ini bisa diisi dengan ibadah yang penuh. Lebih baik lagi jika memperbanyak ibadah sebelumnya, supaya mulai terbiasa dan juga mendapat banyak manfaatnya di bulan yang penuh berkah ini. Sepakat? Salam lima jari :D

Jumat, 13 Juni 2014

Gratis


 
tak perlu bayar

Semalam sebelum insiden es krim beberapa waktu lalu, suami saya berniat mengajak kami semua ke Taman Bungkul untuk ikutan menikmati es krim gratis. Hehehe, wajar dong, kan undangan terbuka. Saya juga bersiap membangunkan mereka pagi-pagi supaya bisa dapat tempat. Setelah berpikir agak lama,
“Ga jadi deh, Kang,”
“Kenapa?”
“Anak-anak kan baru sembuh, ntar kecapean, panas, rame banget,”
“Ya terserah,”
Sebenarnya dalam hati lebih banyak pertimbangannya. Seperti mikir berapa harga es krim termahal, sanggup ga sih membelinya. Kalaupun dapat gratisan emang kuat berapa banyak sih. Terpenting dari itu, saya mencoba memenuhi nazar sendiri untuk anti gratis, anti KW, anti minta oleh-oleh dan traktiran, dan anti mainstream lainnya. Ingat ya, masih dalam taraf berusaha, kalau melenceng, peace ah ;p
“Biar aja es krimnya bisa buat orang-orang yang belum pernah merasakan enaknya es krim,” kata saya lagi.
Bersyukuuur banget, saya ga ikut jadi bagian pawai perusakan taman. Kemungkinan besar, melihat kondisi awal, saya akan lebih memilih tempat lain yang bisa dinikmati bersama anak-anak, daripada sekedar mikir gratisan tapi mesti terlibat dalam keributan dan kerusuhan.

Seberapa besar sih hasrat kita akan gratis?

Lumrah, wanita banget lah. Kadang manut aja diiming-imingi diskonan beli 2 gratis 1. Padahal setelah dihitung-hitung, eh harganya dinaikkan dulu baru dikasi diskon. Banyak kan yang seperti itu.
Apalagi kalau urusannya sama dunia perbakulan macam saya ini, mesti tebal telinga mendengarkan raungan minta gratisan sana-sini, kalo ga ngasi dibilang pelit lah, ga maintain langganan lah, dan sebagainya, hehehe...

Pernah saya cerita sama ibu kalau saya berhasil ngelakuin dagangannya seorang teman tiap bulan hingga bisa beberapa juta, lumayan lah untuk emak-emak seperti saya yang hanya berkeliling beberapa kali dan repot dengan anak-anak.
“Trus kamu dikasi bonus apa?”
“Oalah mak, itu aku cari untung sendiri, untung dia ya urusan dia. Kalo dia mau ngasi ya alhamdulillah, kalo ga ya sudahlah. Duitnya keuntungan itu kan sama dengan gajinya orang kantoran, bedanya kalau pedagang ya dikumpulin sedikit demi sedikit.”
“Enggak apa, nanya aja kok,” tukas ibu saya kalem.
Kalau saya kadang masih suka bikin kuis dan program ini gratis itu, tapi ada nih teman bakul yang lempeng aja kalo mendapat kicauan dari pelanggannya yang minta gratisan karena sudah bikin barang dagangan dia laku banyak banget.
“Gratis gimana, untung aja hanya lima ribu, itupun masih dibayar beberapa kali,”

Kebetulan saya bukan pedagang asli, alias tak semuanya dihitung dengan cermat, jadi kasi gratis dan bonus, ya kasi aja, ga pake perhitungan njelimet. Tapi begitu jalan-jalan ke matahari atau ke mall besar, suka mendelik sewot.
“Aiih, ini yang segede gaban dengan omzet miliaran rupiah ngasi bonus pelit amat. Kenapa mesti pedagang pracangan kayak saya gini yang mesti nanggung kicauan orang doyan gratisan.”

Belum lagi kalo ke tukang sayur, yang menawar minta ampun sengitnya. Saya sih menawar seperlunya, ga boleh ya udah, ambil atau tinggalkan. Setidaknya, belanja itu, lepaskan hasrat dulu untuk memiliki sesuatu. Jika berusaha nawar tak sampai juga, ya biarin aja dia pergi, toh itu bukan rejeki kita kan.
Urusan duit seribu dua ribu aja bisa rame kalo ketemu sama ibu rumah tangga. Saya beli kentang di tukang sayur dapat harga 4000 waktu itu. Begitu si pedagang pergi, ibu-ibu pada ribut, "Harusnya tadi kamu tawar dulu pasti bisa kena 3000..."
Hihihi, saya bukan ibu rumah tangga sejati kali ya, urusan tawar menawar itu seperlunya aja. Prinsipnya gini lho, kenapa aja ga sekalian nawar di mall yang harganya selangit, tetap aja dibeli? Ngasi kekayaan sama cukong kan, nguyahi segoro. Sementara sama pedagang, ga berlebihan kok, pasti udah tahu bedanya pedagang A dan B, beda tipis, anggep aja rejekinya. Bahkan kadang karena udah langganan, si tukang sayur suka lupa saya utang berapa. Untungnya punya beberapa langganan, ambil sembarang, bayar besok atau kapan-kapan, asal sama-sama tahu. Saya agak malas nawar juga, dapet ikan busuk ya ga bawel. Paling hanya bisa bilang aja ke bakulnya, "Ikannya busuk bos," males nagih yang baru, males rame. Eh, kok jadi kelihatan saya malas amat ya ;p Masalah tukang sayur itu curang, udaaah, ada "dewan peradilan" sendiri dan itu bukan saya.

Suatu hari pernah iseng bertanya pada si tukang sayur langganan
“Sampean itu lupa melulu, piye kalau aku gak bayar?”
“Ya gak papa mbak, ada kok yang lebih banyak.”
“Hah?”
“Iya, bisa sampai seratus dua ratus ribu ga dibayar-bayar.”
“Trus dia tetep belanja aja?”
“Iya.”
“Ga sampean tagih?”
“Ga, biar aja.”
“Rugi dong?”
“Alhamdulillah selalu saja ada rejeki, ga sampai rugi."
Hehehe, ga kenal deh istilah menyumbat rejeki orang, karena memang benar rejeki itu sudah ada jatahnya masing-masing, dengan cara apapun. 

Ternyata bukan urusan perbakulan saja, urusan penulisan buku pun jadi sasaran untuk cari gratisan. Eh, saya pernah kayaknya minta gratisan, tapi honestly hanya sebagai basa basi aja kok, ga dikasi ya cuek aja, namanya usaha, hahaha… Sekarang mikirnya, mereka (penulis) itu usaha menulis dengan susah payah, melalui proses edit, revisi, dan sebagainya. Bahkan kadang saya mesti beli buku yang ada nama saya, karena penulis yang bersangkutan hanya mendapat jatah 3 buku dari penerbit.

Beginilah repotnya ketika pekerjaan mainstream adalah yang terima gaji tiap bulannya, sehingga di luar pekerjaan itu dianggap tidak bekerja, sehingga bisa diperlakukan untuk dimintai gratisan. Padahal keuntungan dari penjualan barang, adalah sebuah bentuk gaji yang diperoleh dengan cara berbeda, jemput bola, jual dan laku.     
 
Seorang teman yang bercita-cita menjadi dokter dan alhamdulillah sekarang menjadi dokter beneran, pernah berusaha "menyadarkan" teman-temannya."Wah asik nih kalau kamu jadi dokter. Aku kan bisa berobat gratis," kata saya gembira banget, waktu itu.
Wajahnya datar, diam sesaat, lalu...
"Bukan aku ga mau ngasi gratisan, tapi kalau aku kasi gratis sama kalian teman-temanku, sama dengan aku mematikan nafkah dokter lain karena kalian semua maunya berobat ke aku, menyalahi kode etik, bla bla bla..."
"Udaaah, bilang aja kamu pelit..." serbu teman yang lain.
Begitu kita sudah sama-sama menjalani profesi masing-masing, saya malah sungkan jika masih menggunakan prinsip lama itu. Berapa sih, harga sebuah hubungan pertemanan? Jika ukurannya gratis ongkos perawatan, murah sekali ya. Semua profesi butuh cari makan juga lho, masalah yang bersangkutan memberikan keringanan, itu urusan dia. Jika memang kita butuh gratis atau keringanan, tentu butuh alasan yang kuat, antara lain dalam kondisi tidak mampu. Jika masih mampu, well, sepertinya kita juga mampu kan memberi "harga" pada diri kita sendiri kaaan...

Gratisan itu mental nina bobo yang mesti dikikis, mental yang tak mau repot tak mau rugi merasa udah dijajah selama ratusan tahun jadi harus minta disayang-sayang melulu. C’mon, move on, dear.

Jadikan gratis sebagai bonus kejutan, jangan diminta,
Jadi sekali waktu ada yang ngasi gratis tiba-tiba, rasanya mulia banget, kadang malah tak pecaya ya, masih ada yang bersedia ngasi gratis dengan begitu baiknya *lebay*

Minggu, 08 Juni 2014

Easy When You're Not



sesuatu yang belum sempat dijalani ;)

Beberapa waktu lalu, sebuah perusahaan implant untuk telinga menelpon saya dan menawarkan apakah saya berniat menanam plat dengar (implant) untuk anak saya, yang gangguan dengarnya tergolong parah. Dengan lugas saya menjawab tak ada uang. Jangankan implant, alat bantu dengar saja kami baru sanggup membeli yang semi digital, lebih murah dan juga berhubungan dengan kondisi anak. Awalnya memang sempat sedih, tapi setelah mendapat pencerahan dan pengalaman di sana sini, Insha Allah tak apa. Kecerdasan tak melulu ditentukan oleh alat bantu yang baik, alat hanyalah salah satu penunjang. Alasan gayanya sih, ga tega anak jadi robot karena harus dipasang plat di dalam rumah siputnya supaya telinganya bisa bekerja dengan proses hampir mendekati telinga normal. Padahal dengan harga satu plat kurang lebih seharga rumah di suatu tahun, rasanya mustahil untuk bisa menyediakan angka sejumlah itu dalam waktu singkat.

Intervensi implant yang dini memang bisa membuat anak berbicara senormal yang lain, dengan tingkat kegagalan 25-30%. Kemungkinan gagal antara lain tak adanya stimulant. Lagipula implant bukan satu-satunya solusi kok, toh tak tak semua anak tuna rungu terlahir dan keluarga yang mampu kan. Sebagai penyemangat, bahwa keterbatasan bukanlah halangan, saya selalu mematrikan dalam benak, kisah Heller Keller dan Thomas Alva Edison.

Tapi kemudian, bagaimana jika saya memiliki uang cukup banyak yang memungkinkan saya untuk implant berapa kali pun? Masihkah ada kemungkinan idealis, anak saya tak akan implant? Terkadang, kekuatiran berbanding lurus dengan jumlah harta benda yang kita punyai. Karena punya uang, gampang aja pergi ke dokter. Betul, demikian?
Nyaman itu racun, saudara.

Macaulay Culkin kecil, keren dan larisnya minta ampun. Begitu besar, eh terkena pengaruh obat bius, nikah usia muda dan tak bisa lagi mengulang kejayaan masa kecilnya. Kabarnya, orang tua si Mac imut ini dulu memforsir sehingga dia kehilangan masa kanak-kanaknya demi pekerjaan. Misalnya saya ada di posisi orang tuanya, bisa nggak ya saya tidak mempekerjakannya. Seperti si Mulan Jameelah yang mempekerjakan Safeea yang usainya baru tiga tahun. Banyak yang menuduh pasangan ini (Mulan-Dhani) kemaruk, hehehe.. 

Bobo Ho, yang bernama asli Hao Shaowen, tak berkenan mengulang kejayaan masa kecilnya. Si gundul yang jahilnya minta ampun, yang selalu jadi appetizer yang unik pada semua film yang dibintanginya. Begitu beranjak remaja, dia tak lagi menlanjutkan karirnya yang pernah begitu cemerlang di dunia seni. Dia memilih bekerja di toko es krim demi membiayai kuliahnya.  Itu semua atas permintaan orang tuanya dan dia menuruti sebagai bentuk baktinya kepada mereka.

Gampang sekali untuk mengatakan, hai orang-orang berdermalah. Padahal sewaktu kita punya uang, bisa tidak sih tercapai cita-cita itu. Salut banget yang masih konsisten berhubungan dengan uang, karena seperti yang banyak dibilang, uang itu banyak “penunggunya”. Maksudnya, jika anda sudah punya banyak, belum tentu anda ingat akan apa yang ingin dilakukan, apalagi yang tak berhubungan langsung dengan kesejahteraan kita.

Seperti juga kampanye dan demo, gampang banget utuk menebar janji ketika kita belum benar-benar berada di dalamnya, belum mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi pemimpin dengan gelimangan lembaran kemewahan dan berbagai fasilitas yang melenakan diri. Hehehe, nyambung lagi deh ke capres.

Mensyukuri itu penting.
Berusaha juga tak kalah penting.
Berangan-angan juga tak dilarang, asal jangan berlebihan, dan masih ingat daratan. Jadi?

Jumat, 06 Juni 2014

Durhaka



Kisah si Malin

 …..
Seorang nenek pemukul batu berusia 70 tahun lebih bekerja sebagai pemukul batu karena tak seorang pun dari anak-anaknya yang mau ditumpangi hidup. 

Sepasang suami istri bahu membahu membesarkan anak-anak mereka hingga harta bendanya habis. Begitu usia tua menjelang, para anak dan menantunya tak ada yang berkenan menampung mereka. Suami kembali mencari nafkah dari nol dengan cara mengamen menggunakan tutup botol. Matanya sudah rabun dan pikirannya terguncang. Terkadang dia tak tahu mana rumah orang mana kandang ayam. Demi kekuatannya bertahan dan mendapatkan uang untuk mereka (dia dan istrinya) makan, ia selalu menenggak segenggam obat. Entah berapa banyak rejeki yang masih tersisa.

Sang ibu tinggal sendirian di sebuah rumah, semenjak anak lelaki semata wayangnya menikah dan tinggal bersama isrinya. Jika sang ibu berkunjung sekedar untuk mengetahui kabar anaknya, menantu itu akan berteriak dan berserapah, tak mau menerima kunjungan sang ibu. Buncah rindu tak tertahan membuat sang ibu bak seorang maling yang datang ke halaman rumah, sekedar melihat anaknya atau menengok cucunya. Itu pun hanya berani dilakukan ketika si menantu tak di rumah.

Sepasang suami istri bekerja hingga malam. Karena tak memiliki pembantu, mereka meminta bantuan kepada ibunya. Ibu memasak, mengepel, mencuci pakaian, dan hampir semua pekerjaan rumah tangga dibebankan kepada beliau yang renta. Masih belum cukup, kedua anak yang mendapat limpahan harta dari orang tua kurang bisa menghormati neneknya.
…..

Cobaan itu tak punya rumus matematis, itu rahasia ilahi.
Tak pantas rasanya memberikan tuduhan, “Itulah balasan orang tua yang dulunya durhaka kepada anak”. Lhah, emang kita ini hidup bersama mereka sepanjang usia, hingga tahu dengan pasti siapa yang durhaka dan siapa yang tidak. Ada memang yang beranggapan bahwa kita akan menerima balasan sesuai dengan apa yang kita kerjakan. Balasan itu tidak mutlak akan diberikan di dunia lho. Bisa aja balasan diberikan di dunia karena yang bersangkutan diberi kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosanya. Bisa juga, karena “sebiji sawi” yang tetap disimpannya, balasan itu juga disimpan dulu sebagai deposito, dan diberikan nantiii, entah kapan. Kita tak pernah tahu, apakah saat nantiii itu, kita sudah punya banyak persiapan.     

Banyak orang tua, terutama ibu, yang mengalah demi kemauan menantu wanita. Hehehe, cari cermin, ingat sejarah, saya masuk gak ya??? Memang sih, setiap rumah tangga hanya membutuhkan satu “ratu”. Tapiii, tak ada yang salah kan, jika menemani ibu yang sudah renta, membiarkan beliau menikmati waktu yang tak banyak tersisa bersama cucu-cucunya. Padahal kan rejeki dan kewajiban suami masih terikat kepada ibunya meskipun dia sudah menikah.  Andai kata mau, bisa saja si ibu mengulang kisah si Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu. Jika kita masih punya banyak salah kepada orang tua, terutama ibu, namun ibu tak sampai mengutuk, bersyukurlah dan segera perbaikilah.

Seorang pemuda di jaman Rasulullah, bernama Alqamah, susah menjalani sakaratul mautnya,. Dia seorang pemuda yang rajin sholat, puasa, dan sedekah, namun lalai akan perhatian kepada ibunya. Dia lebih memperhatikan istri daripada ibunya. Setelah ibunya ridho, barulah Alqamah ini mampu mengucap La ilaha illallah dengan lancar.

Perkataan seorang ibu yang disampaikan dengan sepenuh hati, seringkali menjadi kenyataan (nasib anak) yang tak disangka-sangka. Ridha orang tua, ridha Allah. Kemarahan orang tua, kemarahan Allah.
Saya sendiri sering tak sependapat dengan bapak dan ibu, tapi sudahlah, bukan untuk meyakinkan siapa yang paling benar, tapi menghentikan debat di saat yang tepat dan menghormati apapun pendapat mereka.
Orang tua akan semakin melemah karena aus oleh usia, pikiran, seperti halnya anak-anak lelah karena masanya serta ingatan nilai hidup terpatri yang tak mudah berubah. Kita semua akan mengalami masa seperti mereka.

Menghormati orang tua itu wajib, apapun kesalahan mereka, karena dosa adalah pertanggungjawaban mereka dengan Allah, bukan dengan kita. Bahkan Nabi Ibrahim masih tetap menghormati orang tuanya, meskipun mereka musyrik, salah satu kejahatan utama dalam beragama. Jadi, jika orang tua kita Muslim, merawat dan mengasuh kita hingga baligh, menikahkan kita, mencintai pasangan dan anak-anak kita, adakah alasan yang lebih kuat untuk tidak menghormatinya? 

Rabu, 04 Juni 2014

Antara Mendengar dan Menyeduh Teh

menyeduh teh

Setahun ini, mungkin lebih, saya banyak mendengarkan tentang banyak hal. Sebagian besar di antaranya memang tentang saya sendiri, karena saya yang membuka obrolan, lalu kemudian ada beberapa “sok cenayang”, dewa lebay, serta para kepo yang turut serta :)

Awalnya sih, saya berniat menghormati hak orang lain, untuk menggunakan kecakapan berbicara tentang isi dalam benaknya, terhadap saya berikut nasib yg sedang saya lakoni. Dan ternyata, mendengar itu tak sekedar butuh telinga, tapi juga butuh hati untuk memaklumi dan otak untuk mencerna.

Ada banyak sekali orang yang lebih suka untuk didengar, tanpa berperilaku sebaliknya. Dan bila bertemu dengan mereka yg cuma mau didengar, saya merasa lagi liat lenong gratis, hehe…
Repotnya, saya yg memilih untuk menjadi pendengar, ditarik ke sana, ditarik ke sini. Begitu mau sedikit ngomong ikut nanggepi, langsung dipotong, suruh dengerin lagi.

Marah?
Nggak lah, pengen cekikikan malah, tapi kok ya gak sopan banget. Kayak majikan aja, maunya di… ga mau me…

Yang lucu lagi, dengan orang-orang yg merasa dia paling benar, trus kalo saya ngajukan pendapat lain, mereka bilang saya ngeyelan. Lho, piye to?
Padahal mengeluarkan argumen kan harusnya didasarkan data dan fakta yg sesuai. Kalo ada data baru yang lebih akurat, harusnya mau dong, menerima kenyataan dengan lapang dada. Juga perlu mengingat bahwa, kondisi setiap orang tak ada yang sama persis, tak bisa disamakan satu sama lain. Perbedaan itulah, yang kadang, tak bisa diterima begitu saja oleh sebagian orang.
Lebih lucu lagi, ketika terbukti salah, mereka malah marah, bahkan menyerang saya dengan argumen yg sama sekali tak ada hubungannya dengan diskusi sebelumnya.
Walahhh…

Setahun lalu, anak saya mendapat sebuah vonis dari sebuah rumah sakit.
Shock, jelas lah.
Nangis, ya hampir tiap hari.
Marah, teriak, dsb, dan syukurlah ga sampe bunuh diri, hehe..

Dalam setahun itu, saya bertemu banyak sekali orang yang “nunut” kasi nasib, dengan segala keterbatasan dan ketidaktahuan mereka tentang sebuah proses.

Saya, seperti biasa, berlagak bodoh, “ooo…begitu ya,”

Dianggap bodoh itu lebih menyenangkan, karena tak ada pertanggungjawaban moral untuk omongan kita *ngeles*
“omongane wong bodo kok digape..”
Hehe, ga seekstrem itu sih, just an example.

Dan ternyata, saya makan buah simalakama dari perilaku mendengar dan sikap sok bodoh itu tadi.
Nah lho..

Terlalu banyak yang diserap, sampe saringane jebol.

Tapi ok lah, tak perlu mendendam untuk para pengobral omongan tanpa kajian mendasar. Memaafkan itu mungkin berat, tapi pada jangka panjangnya, jauh lebih meringankan pikiran.

Jika dendam itu disamakan sebagai jeruk busuk, opo ya mau, anda bawa jeruk busuk itu kemana-mana?

Setahun berlalu itu telah memberi saya pelajaran yg sangat bermakna, bahwa mendengar itu seperti menyeduh teh.

Ada yg suka teh, ada yg tidak.
Ada yg mau mendengar, ada yg tidak.

Teh harus diseduh dengan air panas untuk mengeluarkan aroma dan khasiatnya.
Setiap perkataan orang tentang kita, harus dicerna dengan baik, untuk memperoleh makna sebenarnya.

Saya suka teh dengan sesendok kecil gula.
Ada yg suka teh dengan gula beberapa sendok besar.
Saya (berusaha) untuk beranggapan bahwa maksud orang menanyakan, memberitahu, menilai, adalah baik. Tanda mereka perhatian kan.. Hanya saja, cara mereka yang  kadang tidak klop dengan harapan kita. So, mau dilakoni, minum aja teh pahitnya. Mau disesuaikan, ya tambahkan rasa sesuai selera.

Butiran daun teh kering yg diseduh dan disaring, maupun teh celup dalam kantong kertas, selalu meninggalkan butiran halus di dasar cangkir. Kalo anda meminumnya sampe tandas, pasti tersedak kan..
Semua pilihan (untuk mendengar dan mengikuti), ada konsekuensi dan resiko benar salah. Jika terlalu mengamini perkataan orang, beberapa dari kita akan menyalahkan yang memberi saran. Padahal hak bertindak sebab-akibat itu ada di tangan kita. Kalo semua muanya ditelan, ya tersedak itu tadi. Ga enak.

Saya teringat dengan Professor Trelawney di serial Harry Potter yg suka meramalkan nasib melalui sisa daun teh di cangkir.
Percaya pada ramalan? Pernah sih, tapi syukurlah lupa, karena tak baik percaya ramalan itu. Hanya akan membatasi perilaku dan mematok nasib kita sendiri yang belum tentu benar.
Saya lebih melihatnya sebagai residu biasa. Melihat kelihaian seseorang meminum teh sampai tandas, hingga menyisakan beberapa tetes air dan riak daun teh atau butiran halus saringan.
Seberapa pandai seseorang menikmati hidup dengan segala aromanya, membiarkan yang buruk (tak bisa dicerna) sebagai bumbu yg memperkaya rasanya.

Dengan begitu saya berterima kasih pada dokter yang pernah sinis pada kesedihan saya. Waktu dia muncul di tv, saya kok dejavu kemarahan. Mengoyak-oyak memori, sampai kemudian ingat, “oooh, ini dulu yang tidak total dalam melayani pasien,”
Ya sudahlah, semoga dia bisa lebih baik hari ini. Semoga dia bisa baik dengan para pasien yang tidak mampu. Saya sih, ga kaya, tapi masih mampu memberikan terapi dan pengobatan yang baik untuk anak, itu sudah lebih dari cukup.

Juga kepada para terapis yang menggunakan segala kelihaiannya untuk memanfaatkan ketidaktahuan kami, memberikan informasi yang terlalu menakut-nakuti, memberikan vonis tambahan yang sebenarnya di luar wewenangnya, bahkan mengintimidasi dengan halus untuk mengikuti pola yang dia sarankan, yang UUD (ujung-ujungnya duit). Lho, memang semua pengobatan butuh biaya, tapi seperti apa, setransparan apa, dan tindak lanjutnya bagaimana.
Saya paham, bahwa semua orang membutuhkan uang, dengan caranya masing-masing. Sebenarnya kasihan juga, ketika seorang oknum akhirnya konangan “bermain di belakang”. Itu kan berarti mengurangi pemasukan bulanannya. But, hei, siapa suruh dia cari tambahan dengan cara yang tak halal (sesuai aturan dari kantornya)?

Herannya lagi, dengan dokter yang mengatakan bahwa anak saya tak apa, tapi tetap meresepkan obat seharga ratusan ribu untuk ditebus. Demi percepatan fungsi otak sih, katanya, tapi… Ya memang saya termasuk pasien yang ngeyelan mungkin, tapi saya kan saya berhak tahu apa saja yang masuk dalam tubuh anak saya. Apalagi, pemberian obat berlebihan sejak dini, bisa mengarah pada ketergantungan obat di masa dewasanya.

Ah sudahlah, panjang banget jadinya :)
Yang penting saya sudah mulai menemukan titik cerah.
Biarlah uang dan kebodohan yang pernah ada itu, sebagai sebuah mata kuliah tanpa kampus.

-February 2013-

Selasa, 03 Juni 2014

Oh Prospek


scrutinize the prospects ;)
 
Saya duduk di kursi di sebuah restoran Eat and Eat di bilangan jalan Tunjungan, memperhatikan seorang eksekutif muda memainkan layar laptopnya seraya menerangkan kepada saya tentang ini dan itu. Dia menjelaskan mengenai sebuah MLM baru, yang tentu saja dipermanis dengan bahasanya sendiri, dengan sekian metode bahwa ini merupakan peluang yang bagus dalam beberapa than mendatang, sebelum saya ketinggalan.

Awalnya biasa saja ketika dia menjelaskan soal produk dan jangkauan konsumennya, hingga kemudian dia sampai pada tahap uang yang melimpah sebagai hasil kerja keras, mendadak saya pusing. Saya terbayang uang ratusan juta milik nasabah saya dulu yang amblas di pasar bursa indeks. Sebagai manusia biasa yang tak terlalu paham dengan system resiko perputaran uang, ada sebuah guilty feeling, tapi itu tak bisa mengembalikan uang utuh. Uang bisa utuh dengan kehandalan seseorang untuk mengaturnya dengan pengetahuan mengenai saham dan sebagainya. Itupun butuh waktu dan proses panjang, mengikuti fluktuasi pasar. Saya? Boro-boro paham, masih untung dapat 7 untuk mata pelajaran  Ekonomi dan Akuntansi, hehehe

“Jadi bagaimana menurut mbak Esthy, peluang bisnis yang kita tawarkan ini?” tanya si eksekutif yang sedang memprospek.
Saya meringis dan segera sigap mengambil alasan, “Sebentar, saya butuh waktu untuk mencerna, setelah sekian lama saya sibuk dengan urusan rumah dan anak-anak, jadi agak sedikit lag menerima materi sebanyak ini.”
Dia pun tak kalah cepat menanggapi. “Ada lho ibu rumah tangga yang pendapatannya sebulan mencapai puluhan juta rupiah. Cuma kerja dua jam dari rumah…”

Begitu bicara uang, saya sudah tak lagi mendengarkan. Buat saya sih, uang itu akan datang dengan cara yang saya inginkan, saya sukai. Tak selalu harus dengan mencari orang, toh kerja kerasnya sama.
“Mau pilih yang mana, biasa atau platinum? Kerja kerasnya sama, tapi hasilnya beda lho,” katanya masih mengejar, sangat khas marketing.
Saya meringis, ini bukan semata soal uang yang harus ditanam, dengan harga terjangkau itu. Tapi saya pusing membayangkan kerja keras harus membujuk orang supaya mau duduk diam dan menyimak orang bicara, lalu harus belajar lagi tentang perputaran uang yang tak terlalu saya sukai, karena akan mengingatkan lagi tentang uang nasabah yang hilang.

Suami saya yang menunggu di mall Tunjungan Plaza, marah-marah, “Jadi kutunggu selama ini cuma untuk mendengarkan orang prospek?” tanyanya sewot.
Sebelumnya saya memang minta ijin untuk bertemu dengan beberapa teman lama, setelah dua tahun lebih berkutat dengan kesibukan rumah tangga dan anak-anak, dan dia memberi ijin untuk itu.

Bicara soal MLM dan semacamnya, saya ini termasuk sering ikut prospek, seminar, pencerahan, apapun itu namanya, yang hampir semuanya demi menghargai usaha teman yang bersusah payah mengajak. Beberapa teman memang berhasil meyakinkan saya untuk bergabung dengan tujuan dan alasan ini dan itu, bahkan saya sempat mendapatkan prospek beberapa orang. Namun, karena saya moody, semua jenis MLM itu mandheg di tengah jalan. Soal biaya, buat saya tak banyak, saya anggap biaya belajar.

Sebut aja Tianshi, High Dessert, Forever Young, Amway, UFO, Sophie Martin, Tupperware, dan saya lupa mana lagi, yang tentu saja mengandalkan para pemimpin yang berada di puncak “rantai makanan” sebagai bukti keberhasilan. Terkadang para amatir itu dengan sok hebatnya mengejar saya, mengorek apa sih yang menjadi kendala saya dan mereka akan bantu. Beberapa kali saya tersenyum manis saja. Namun jika lagi keluar isengnya, “Semua kerjaan itu butuh niat. Jika saya tak niat, terus cara kerjanya seperti apa,”
Hihihi, dia diam, wajahnya seperti lampu persimpangan, merah kuning hijau.
Kadang juga dengan halus saya kembalikan,
“Saya sudah pernah datang, sudah tahu bagaimana, dan maaf saya tidak tertarik,”
Hehehe, sama saja ya.

Bahkan hingga beberapa minggu terakhir pun, seorang teman yang bekerja secara aktif di MLM online yang booming dengan sebuah nama upline Dini Shanti, mulai cari celah untk memprospek saya. Tuh kan, betapa hebatnya kerja keras para prospector ini.
“Harusnya calon prosprek dibuat nyaman sehingga tertarik. Sini biar eike prospek,” katanya sembari bercanda.
Saya ketawa saja. Aduuuh mbak, saya ini uda keluar masuk MLM dengan berbagai nama, berbagai seminarnya, bahkan sampai keluar duit juga, meski tak sampai hitungan jutaan (sedikit banget kan). Pada intinya sama saja, semua pekerjaan butuh kerja keras jika ingin mencapai hasil yang diinginkan.

Doktrin marketing seringkali mengatakan bahwa semua orang itu bisa bicara, lalu memaparkan bukti banyaknya orang yang sebelumnya pendiam menjadi cas cis cus banyak bicara setelah belajar ilmu arketing. Kebetulan dia juga berbakat. Bukankah ada orang yang terlahir introvert, yang memang susah berhubungan dengan orang baru. Masa harus dipaksa juga?

Bekerja itu dengan hati, biar uangnya banyak atau sedikit, karena kenyamanan itu mahal harganya. Saya sih, lebih nyaman menjadi guru dan penulis, lebih kaya pengalaman yang kemudian bisa menginspirasi banyak orang.

Saya juga berdagang kok, meski dengan hukum yang tak tega. Lha mesti bagaimana, jika menawar pasang muka memelas, memohon supaya bisa mencicil atau membayar sewaktu gajian. Belum lagi, jika mereka belum punya uang untuk membayar, mereka memilih menghindar jika ditagih. Akhirnya, seperti halnya biaya MLM, saya ikhlaskan sudah, duit ratusan ribu itu melayang lagi. Biaya belajar lagi. Jika saya terus-terusan menganggap semuanya sebagai biaya belajar, lalu kapan ujian dan lulusnya? Hehehe…

Sabtu, 31 Mei 2014

Membandingkan Anak


gambar dari sini


“Siapa bilang tak boleh membandingkan anak?” tanya seorang dokter spesialis THT di sebuah rumah sakit swasta.
Saya sedikit terkejut dan segera membenarkan posisi duduk, siap menyimak kelanjutannya.
“Tapi dengan siapa dulu. Seorang anak berhak dibandingkan dengan dirinya sendiri hari ini dengan bulan kemarin, hari ini dengan tahun lalu, ada perkembangan tidak.”
Oooo…
“Jika membandingkannya dengan anak tetangga, anak lain, atau bahkan antara ABK dengan non ABK, itu tak adil buatnya. Semua anak memiliki tahapan perkembangannya masing-masing.”

Ya, setiap anak memiliki tahap perkembangannya msing-masing yang tak bisa disamaratakan. Memang ada patokan khusus dari para ahli, bahwa misalnya, bayi usia 6 bulan harus mulai ngoceh, sebelum usia 2 tahun harus sudah bisa mengucapkan beberapa kata yang mengandung arti sebelum divonis lambat bicara lalu dianjurkan terapi, dan sebagainya. Jika tak sesuai tahap perkembangan, bisa konsultasi kepada dokter spesialis anak, psikolog, atau bahkan berbagi cerita dengan ibu yang berpengalaman hampir sama.

Namun yang terpenting dari semua itu adalah limpahan kasih sayang yang tidak tebang pilih dan menerima anak sebagai anugerah Tuhan terbaik yang diberikan kepada kita. Anak sulung saya adalah seorang ABK tuan rungu. Saya mewajibkan diri untuk menuliskan setiap perkembangannya di sebuah buku harian amburadul. Buku harian yang bersatu dengan coretan kedua anak saya, karena mereka selalu berebut ingin ikut menulis ketika saya memegang bolpen dan buku.  

Dalam buku harian amburadul itu tercatat, apa saja yang saya pernah saya dietkan, terapi yang pernah dijalani (alternative), kemajuan yang pernah dicapainya, dan beberapa hal lain. Ternyata anak saya sudah tidak lagi tantrum, sudah menurut ketika tidak boleh ambil minuman kemasan setiap saya ajak belanja, tak lagi membenturkan kepalanya ketika marah. Yang membuat saya terharu ketika dia berusaha bersusah payah menirukan kata-kata yang diajarkan dalam terapi, namun penangkapannya masih terbatas. Tapi saya tahu dia sudah sangat berusaha. Di lain waktu, saya sering mengintip dia coba menirukan yang diajarkan meski belum sempurna, bahkan sudah hafal jika akan meminta bantuan saya, dia harus bersuara dulu karena saya mewajibkannya.  

Ah, bersyukur, bersyukur, bersyukur.
Sepertinya dulu itu semua tak mungkin, namun dengan menuliskannya saya jadi tahu apa yang pernah terjadi dan sangat bersyukur ketika mengetahui setiap tahap perkembangannya. Bagaimanapun, saya harus menerima bahwa memang tahapnya tak sama dengan anak normal seusianya. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua anak berhak memiliki catatan pribadi perkembangannya masing-masing, demi menyadari betapa Tuhan tak pernah berhenti menurunkan karuniaNya.   

Jumat, 30 Mei 2014

Cita-cita


gambar dari sini
 
Imagination is more important than knowledge.
Education is what remains after one has forgotten what one has learned in school.
(Albert Einstein)


“….. duluuu, jaman kita masih pada kecil, tanaman hanya dipanen sekali dalam setahun. Sekarang, tanaman bisa dipanen hingga tiga kali dalam setahun. Kok bisa? Ya pakai obat-obatan yang bisa mempercepat pertumbuhannya…..” cerita seorang ibu, seorang agen produk organic yang sedang promosi bakulannya.
Sambil kejar-kejaran dengan anak-anak, saya hanya bisa sedikit menyimak. Lalu memikirkan kenapa itu bisa terjadi ya. Padahal jika dipikirkan lebih mendalam, kurang apa sih Indonesia ini, dijajah sampai sekian ratus tahun hingga nekat proklamasi kemerdekaan meski hanya beberapa Negara yang mengakuinya, tambangnya dikeruk habis-habisan hingga bisa menghidupi sebagian rakyat negara lain, kebakaran hutan berkali-kali, illegal logging, pencurian kebudayaan, dan masih banyak lagi; yang anehnya belum membuat kita “terlihat” melarat. Masih bisa anteng ayem nonton acara gossip di tv hingga bikin acara debat professional, dengan dalih menemukan solusi masalah bangsa.

Simak obrolan lugu dua anak TK berikut ini,
“Aku mau jadi Ultraman kalau gede nanti,”
“Eh, tak boleh punya cita-cita kayak gitu. Cita-cita itu ya jadi dokter, pilot, insinyur,…”
“Biarin, pokoknya aku mau jadi Ultraman,” katanya bersikukuh, dan mereka kembali melanjutkan permainan perang-perangan.
Begitulah, gambaran cita-cita dalam benak anak-anak. Ga nyalahin, saya sendiri juga gitu kok. Rasanya waktu sekolah dulu, kerja ya jadi dokter, perawat, pilot, dan semacamnya yang termasuk ngawulo. Tak ada kok yang bercita-cita jadi tukang bakso atau tukang bubur, meskipun dalam segi pendapatan bisa jadi mereka lebih besar. Memang, pendidikan formal kita tidak mencetak penemu, inisiator, pionir, namun mencetak kawulo, pengikut, pekerja.

“Semua anak harus bisa menggambar. Bangsa yang terbiasa menggambar, akan menjadi bangsa pencetus, jika tak bisa, maka hanya akan menjadi bangsa penyontek,” kata Dik Doank, yang aktif dengan Kandank Jurangk Doanknya.
Mendadak saya mikir, saya tak bisa menggambar tuh. Tiap kali disuruh menggambar, selalu saja menggambar sawah dengan centang, gunung, lalu jalan yang berkelok. Pokoknya pelajaran seni itu momok buat saya. Juga pelajaran olahraga yang selalu bikin trauma dan deg-degan, karena saya tak mahir urusan olah tubuh. Memang sih, berguna untuk kesehatan, tapi kalau demi mengejar nilai sampe adem panas, huaah. Begitu lulus sekolah, satu hal yang membuat saya bahagia adalah tak ada lagi pelajaran olahraga dan menggambar.

Ingin rasanya melihat seorang guru berdiri di depan kelas dan bertanya,
“Siapa ingin jadi seperti Bob Sadino?”
“Siapa ingin jadi seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg?”
“Siapa ingin jadi petani?”
“Siapa ingin hidup di Kalimantan dan tinggal di hutan bersama banyak hewan dan melestarikannya?”
“Siapa mau jadi penambang?”
“Siapa mau jadi kontraktor bangunan?”

Begitu terjun ke dunia kerja, buanyak sekali profesi yang tak dikenalkan di masa sekolah, halal, dan bahkan bisa menghasilkan pundi-pundi hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya. Kenyataan lagi, tak semua dokter berhasil untuk mendapat kerja praktek dan langsung kaya, dan sebagainya. Bahkan ada yang bilang profesi guru itu tidak menjanjikan gaji besar. Belum lagi sebuah doktrin dari para sesepuh yang mendambakan anaknya menjadi pegawai negeri, dengan alasan mendapatkan pension dan ayem di hari tuanya.


Apabila engkau bekerja dengan sungguh-sungguh, berarti engkau memenuhi sebagian cita-cita itu yang pada hakikatnya engkau mencintai kehidupan -Kahlil Gibran-

Working is not only about price, it is also about value.
Lihat bagaimana tentara Inggris menunaikan kewajibannya dengan berdiri tegak selama sekian jam, atau polisi Jepang yang rela berjibaku dengan salju demi kenyamanan warga dan tidak bersedia menerima tips. “Pembentukan hati” itu bukan sekali jadi, itu butuh proses dalam bertahun-tahun, melalui penanaman berulang dan konsisten, melalui komunitas legal yang diakui dan lingkungan yang bersinergi.

Sebuah perusahaan media ternama di Indonesia yang bisa bertahan hingga puluhan tahun dengan gaya sama yang sangat khas dan evergreen, mengungkapkan bahwa nilai utama yang mereka utamakan pada pencarian karyawan adalah integritas kejujuran. “Ilmu bisa dipelajari dan dicari, namun akhlak itu membentuknya butuh waktu bertahun-tahun,”.

Jadi seberapa besar cinta kita dengan pekerjaan yang kita jalani ini, sehingga kita bisa memancarkan sebuah citra regenerasi yang baik. Semua memang harus dimulai dari keluarga, tentang bagaimana masing-masing orang tua menanamkan berbagai jenis nilai kehidupan kepada anak-anaknya. Bisa saja petani mencintai pekerjaanya dan meminta anaknya menjadi petani, demi meneruskan usaha keluarga misalnya. Namun mereka harus terhambat dengan (lagi-lagi) kebijakan impor yang membunuh swadaya dalam negeri. Tak hanya itu, pengkotakan profesi, atau pengenalan profesi yang tak beragam kepada anak-anak usia sekolah dasar, membuat mereka memiliki batas dalam bermimpi.

Anak-anak itu harapan kesinambungan bangsa. Saya pikir, anak-anak memang harus dikenalkan dengan berbagai jenis profesi, sejak dini, daripada harus berkutat dengan pelajaran teoretis yang pada akhirnya tak dipakai, hanya buang uang dan waktu saja. Pengenalan itu sebagai bentuk usaha regenerasi, bahwa masih banyak lapangan pekerjaan yang membutuhkan boss maupun tenaga kerja. Masih banyak tanah di pelosok negeri yang belum terjamah kemajuan dan peradaban. Bahkan, menurut Trinity, ada banyak pulau perawan, yang entah bagaimana ceritanya, sudah dimiliki orang asing sebagai tempat menyepi dari bingar.

Jangan melulu menyalahkan pemerintah deh, mereka terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Saatnya kita juga ikut bergerak demi masa depan anak-anak kita sendiri. Mari siapkan mereka untuk memahami dengan melihat langung, mengalami, hingga memampukan mereka untuk menjalaninya sendiri.


If money is your hope for independence you will never have it. The only real security that a man can have in this world is a reserve of knowledge, experience, and ability.
- Henry Ford