Minggu, 18 Mei 2014

Bermain

gambar dari sini

Awalnya, membelikan mainan, ya untuk bermain saja. Lama-lama, karena keseringan baca info ini dan itu, ya berusaha mengarahkan juga, mana yang melatih motorik halus dan kasar, mana yang melatih koordinasi tangan dan mata, mana yang melatih kemampuan menganalisa, dan lain sebagainya. Maklum, beginilah OTB (orang tua baru). Sampai kemudian tiba pada tahap retoris, apakah itu semua akan berpengaruh pada masa dewasanya nanti? Bukankah kemandirian dan pola pikir dibentuk dari keteladanan dan pembinaan yang dilakukan secara berkesinambungan, karena pendidikan dan pemahaman itu proses jangka panjang? Apakah akan menjamin, semua mainan itu akan dia ingat ketika dia sukses nantinya?

Edukasi berawal dari kreasi. Jaman dulu, meski belum santer dengan mainan edukatif seperti sekarang, anak-anak juga sudah berkreasi, dengan bahan apa adanya. Kreasi unik dan edukatif yang sebenarnya bisa dilakukan siapa saja dan dengan bahan apa saja di rumah, kemudian dibungkus apik dalam kerangka bisnis dan teknologi dengan nama mainan edukatif.

Salah satu permainan yang dulu sering saya lakukan adalah main pasar-pasaran. Saya bersama beberapa teman perempuan sebaya, mengiris dedaunan aneka warna sebagai sayur yang dijual, menggunakan bekas bungkus permen sebagai uangnya. Pulang sekolah, memungut bekas bungkus permen di jalanan, dipilih yang terlihat masih baru. Jenis permennya menentukan nominal uangnya. Tak ada peringatan “Jangan main sembarangan, nanti sakit perut” karena diambil dari jalanan. Semuanya baik-baik saja.
Sementara yang laki-laki, gemar mengumpulkan umbul, bermain kelereng, bermain dan bertanding dengan yoyo kayu, membuat mainan dari ban bekas dengan pendorong berupa potongan bekas kemasan sabun colek, dan banyak lagi.
Engklek,engkling, gejlig, apapun itu namanya. Ada masa saling pamer gaco terbaik yang diambil dari sisa ubin bangunan atau bahkan membeli di toko bangunan. Gaco terbaik, yang bisa digunakan dengan pas, tidak mudah pecah dan tidak keluar garis, ternyata bukan berasal dari ubin termahal, tapi dari asbes yang murah dan mudah didapat.

Einstein mengatakan bahwa belajar adalah bermain, bermain adalah belajar.

Kita tak menyadari bahwa saat itu, kita pun belajar motorik kasar dan halus, koordinasi tangan mata kaki, bahkan belajar untuk bernegosiasi dan memilih strategi yang tepat demi memenangkan sebuah permainan. Ketika bermain jumprit singit (delikan, singidan, hide and seek), seseorang yang dominan atau dituakan akan mengambil alih pimpinan. Dia mengajak kroninya berunding, menentukan siapa sembunyi di mana, lari ke mana, sehingga yang apes jaga akan apes terus ;)

Curang itu selalu ada dan begitulah dalam kehidupan sebenarnya hari ini. Jika ada yang mulai mencapai angka tinggi, adaaa saja yang menuduh dia melakukan kecurangan, atau berusaha menggunakan cara licik agar yang menang tak bisa menambah angka lagi.

Satu hal terbaik yang tak pernah tergantikan hari ini adalah, kita memiliki sebuah hubungan social dengan nilai kenangan yang begitu berharga. Jika di masa kecil kita bisa saling berbicara dengan sewot karena sebuah persaingan lugu antar anak-anak, di masa dewasa kita bisa saling menertawakannya dan bersyukur melewati masa itu. Tuduhlah si huruf depan T(v), dengan segala pernik dan variasinya, yang banyak menggantikan pentingnya hubungan sosial. Kekenyangan teknologi membuat anak-anak tak lagi lapar akan hubungan social yang jauh lebih berharga secara fisik dan emosional, baik untuk hari ini maupun hari depan.

Masa kecil, masa bermain dengan bebas tanpa batasan aturan dan sensitivitas berlebih, tak akan pernah kembali.

Mana boleh sekarang, anda lari-lari sambil teriak kegirangan tanpa alasan? Kemungkinannya orang akan memaklumi kegilaan anda, mengira anda menang lotere 1 milyar, dan sekian kemungkinan (negative) lainnya. Hehehe…

Mana pernah anda bertengkar hebat dengan seorang teman, karena rebutan pacar misalnya, lalu beberapa menit kemudian anda berdua sudah tertawa lepas seolah tak terjadi apa-apa?

Mana pernah anda terjatuh karena terantuk batu, lalu menangis melolong-lolong minta belas kasih, di pinggir jalan?

Mana pernah anda sekarang, teriak kencang di depan rumah seorang kerabat, memanggil namanya lalu mengajaknya bermain?

Mana boleh anda sekarang mengatakan bahwa seseorang nampak jelek, kurus, tua, tanpa membuat yang bersangkutan sakit hati dan mendendam, hingga berniat pergi ke dukun? Hihihi…

Mana boleh sekarang anda memukul seseorang dan tidak berdosa?

Mana boleh anda sekarang tidak mengerjakan tugas dari atasan, dengan alasan bosan dan cape, kecuali anda pengen dipecat?

Bermain adalah fitrah awal kita sebagai manusia, masa yang harus dilewati dengan sebaik-baiknya. Mainan hanyalah sebagai media, karena sejatinya tiap anak bisa kok menciptakan mainan dan permainannya sendiri. Terlalu banyak larangan hanya akan membatasi kreasinya. Bermain dengan cukup, akan melegakan dahaga kita pada hidup tanpa sekat aturan dan dosa, hingga tiba saat kita harus bertanggungjawab, kita tak perlu lagi main-main.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar