scrutinize the prospects ;) |
Saya duduk di
kursi di sebuah restoran Eat and Eat di bilangan jalan Tunjungan, memperhatikan
seorang eksekutif muda memainkan layar laptopnya seraya menerangkan kepada saya
tentang ini dan itu. Dia menjelaskan mengenai sebuah MLM baru, yang tentu saja
dipermanis dengan bahasanya sendiri, dengan sekian metode bahwa ini merupakan
peluang yang bagus dalam beberapa than mendatang, sebelum saya ketinggalan.
Awalnya biasa saja
ketika dia menjelaskan soal produk dan jangkauan konsumennya, hingga kemudian
dia sampai pada tahap uang yang melimpah sebagai hasil kerja keras, mendadak
saya pusing. Saya terbayang uang ratusan juta milik nasabah saya dulu yang amblas
di pasar bursa indeks. Sebagai manusia biasa yang tak terlalu paham dengan
system resiko perputaran uang, ada sebuah guilty
feeling, tapi itu tak bisa mengembalikan uang utuh. Uang bisa utuh dengan
kehandalan seseorang untuk mengaturnya dengan pengetahuan mengenai saham dan
sebagainya. Itupun butuh waktu dan proses panjang, mengikuti fluktuasi pasar. Saya?
Boro-boro paham, masih untung dapat 7 untuk mata pelajaran Ekonomi dan Akuntansi, hehehe…
“Jadi bagaimana menurut
mbak Esthy, peluang bisnis yang kita tawarkan ini?” tanya si eksekutif yang
sedang memprospek.
Saya meringis
dan segera sigap mengambil alasan, “Sebentar, saya butuh waktu untuk mencerna,
setelah sekian lama saya sibuk dengan urusan rumah dan anak-anak, jadi agak
sedikit lag menerima materi sebanyak
ini.”
Dia pun tak
kalah cepat menanggapi. “Ada
lho ibu rumah tangga yang pendapatannya
sebulan mencapai puluhan juta rupiah. Cuma kerja dua jam dari rumah…”
Begitu bicara
uang, saya sudah tak lagi mendengarkan. Buat saya sih, uang itu akan datang
dengan cara yang saya inginkan, saya sukai. Tak selalu harus dengan mencari
orang, toh kerja kerasnya sama.
“Mau pilih yang
mana, biasa atau platinum? Kerja kerasnya sama, tapi hasilnya beda lho,” katanya masih mengejar, sangat
khas marketing.
Saya meringis,
ini bukan semata soal uang yang harus ditanam, dengan harga terjangkau itu.
Tapi saya pusing membayangkan kerja keras harus membujuk orang supaya mau duduk
diam dan menyimak orang bicara, lalu harus belajar lagi tentang perputaran uang
yang tak terlalu saya sukai, karena akan mengingatkan lagi tentang uang nasabah
yang hilang.
Suami saya yang
menunggu di mall Tunjungan
Plaza, marah-marah, “Jadi
kutunggu selama ini cuma untuk mendengarkan orang prospek?” tanyanya sewot.
Sebelumnya saya
memang minta ijin untuk bertemu dengan beberapa teman lama, setelah dua tahun
lebih berkutat dengan kesibukan rumah tangga dan anak-anak, dan dia memberi
ijin untuk itu.
Bicara soal MLM
dan semacamnya, saya ini termasuk sering ikut prospek, seminar, pencerahan,
apapun itu namanya, yang hampir semuanya demi menghargai usaha teman yang
bersusah payah mengajak. Beberapa teman memang berhasil meyakinkan saya untuk
bergabung dengan tujuan dan alasan ini dan itu, bahkan saya sempat mendapatkan
prospek beberapa orang. Namun, karena saya moody,
semua jenis MLM itu mandheg di tengah
jalan. Soal biaya, buat saya tak banyak, saya anggap biaya belajar.
Sebut aja
Tianshi, High Dessert, Forever Young, Amway, UFO, Sophie Martin, Tupperware,
dan saya lupa mana lagi, yang tentu saja mengandalkan para pemimpin yang berada
di puncak “rantai makanan” sebagai bukti keberhasilan. Terkadang para amatir
itu dengan sok hebatnya mengejar saya, mengorek apa sih yang menjadi kendala saya dan mereka akan bantu. Beberapa kali
saya tersenyum manis saja. Namun jika lagi keluar isengnya, “Semua kerjaan itu
butuh niat. Jika saya tak niat, terus cara kerjanya seperti apa,”
Hihihi, dia diam, wajahnya seperti lampu
persimpangan, merah kuning hijau.
Kadang juga
dengan halus saya kembalikan,
“Saya sudah
pernah datang, sudah tahu bagaimana, dan maaf saya tidak tertarik,”
Hehehe, sama saja ya.
Bahkan hingga
beberapa minggu terakhir pun, seorang teman yang bekerja secara aktif di MLM
online yang booming dengan sebuah nama upline Dini Shanti, mulai cari celah
untk memprospek saya. Tuh kan,
betapa hebatnya kerja keras para prospector ini.
“Harusnya calon
prosprek dibuat nyaman sehingga tertarik. Sini biar eike prospek,” katanya sembari bercanda.
Saya ketawa saja.
Aduuuh mbak, saya ini uda keluar
masuk MLM dengan berbagai nama, berbagai seminarnya, bahkan sampai keluar duit
juga, meski tak sampai hitungan jutaan (sedikit banget kan).
Pada intinya sama saja, semua pekerjaan butuh kerja keras jika ingin mencapai
hasil yang diinginkan.
Doktrin
marketing seringkali mengatakan bahwa semua orang itu bisa bicara, lalu memaparkan
bukti banyaknya orang yang sebelumnya pendiam menjadi cas cis cus banyak bicara setelah belajar ilmu arketing. Kebetulan
dia juga berbakat. Bukankah ada orang yang terlahir introvert, yang memang
susah berhubungan dengan orang baru. Masa harus dipaksa juga?
Bekerja itu
dengan hati, biar uangnya banyak atau sedikit, karena kenyamanan itu mahal
harganya. Saya sih, lebih nyaman
menjadi guru dan penulis, lebih kaya pengalaman yang kemudian bisa menginspirasi
banyak orang.
Saya juga berdagang
kok, meski dengan hukum yang tak
tega. Lha mesti bagaimana, jika
menawar pasang muka memelas, memohon supaya bisa mencicil atau membayar sewaktu
gajian. Belum lagi, jika mereka belum punya uang untuk membayar, mereka memilih
menghindar jika ditagih. Akhirnya, seperti halnya biaya MLM, saya ikhlaskan sudah,
duit ratusan ribu itu melayang lagi. Biaya belajar lagi. Jika saya
terus-terusan menganggap semuanya sebagai biaya belajar, lalu kapan ujian dan
lulusnya? Hehehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar