Selasa, 03 Juni 2014

Oh Prospek


scrutinize the prospects ;)
 
Saya duduk di kursi di sebuah restoran Eat and Eat di bilangan jalan Tunjungan, memperhatikan seorang eksekutif muda memainkan layar laptopnya seraya menerangkan kepada saya tentang ini dan itu. Dia menjelaskan mengenai sebuah MLM baru, yang tentu saja dipermanis dengan bahasanya sendiri, dengan sekian metode bahwa ini merupakan peluang yang bagus dalam beberapa than mendatang, sebelum saya ketinggalan.

Awalnya biasa saja ketika dia menjelaskan soal produk dan jangkauan konsumennya, hingga kemudian dia sampai pada tahap uang yang melimpah sebagai hasil kerja keras, mendadak saya pusing. Saya terbayang uang ratusan juta milik nasabah saya dulu yang amblas di pasar bursa indeks. Sebagai manusia biasa yang tak terlalu paham dengan system resiko perputaran uang, ada sebuah guilty feeling, tapi itu tak bisa mengembalikan uang utuh. Uang bisa utuh dengan kehandalan seseorang untuk mengaturnya dengan pengetahuan mengenai saham dan sebagainya. Itupun butuh waktu dan proses panjang, mengikuti fluktuasi pasar. Saya? Boro-boro paham, masih untung dapat 7 untuk mata pelajaran  Ekonomi dan Akuntansi, hehehe

“Jadi bagaimana menurut mbak Esthy, peluang bisnis yang kita tawarkan ini?” tanya si eksekutif yang sedang memprospek.
Saya meringis dan segera sigap mengambil alasan, “Sebentar, saya butuh waktu untuk mencerna, setelah sekian lama saya sibuk dengan urusan rumah dan anak-anak, jadi agak sedikit lag menerima materi sebanyak ini.”
Dia pun tak kalah cepat menanggapi. “Ada lho ibu rumah tangga yang pendapatannya sebulan mencapai puluhan juta rupiah. Cuma kerja dua jam dari rumah…”

Begitu bicara uang, saya sudah tak lagi mendengarkan. Buat saya sih, uang itu akan datang dengan cara yang saya inginkan, saya sukai. Tak selalu harus dengan mencari orang, toh kerja kerasnya sama.
“Mau pilih yang mana, biasa atau platinum? Kerja kerasnya sama, tapi hasilnya beda lho,” katanya masih mengejar, sangat khas marketing.
Saya meringis, ini bukan semata soal uang yang harus ditanam, dengan harga terjangkau itu. Tapi saya pusing membayangkan kerja keras harus membujuk orang supaya mau duduk diam dan menyimak orang bicara, lalu harus belajar lagi tentang perputaran uang yang tak terlalu saya sukai, karena akan mengingatkan lagi tentang uang nasabah yang hilang.

Suami saya yang menunggu di mall Tunjungan Plaza, marah-marah, “Jadi kutunggu selama ini cuma untuk mendengarkan orang prospek?” tanyanya sewot.
Sebelumnya saya memang minta ijin untuk bertemu dengan beberapa teman lama, setelah dua tahun lebih berkutat dengan kesibukan rumah tangga dan anak-anak, dan dia memberi ijin untuk itu.

Bicara soal MLM dan semacamnya, saya ini termasuk sering ikut prospek, seminar, pencerahan, apapun itu namanya, yang hampir semuanya demi menghargai usaha teman yang bersusah payah mengajak. Beberapa teman memang berhasil meyakinkan saya untuk bergabung dengan tujuan dan alasan ini dan itu, bahkan saya sempat mendapatkan prospek beberapa orang. Namun, karena saya moody, semua jenis MLM itu mandheg di tengah jalan. Soal biaya, buat saya tak banyak, saya anggap biaya belajar.

Sebut aja Tianshi, High Dessert, Forever Young, Amway, UFO, Sophie Martin, Tupperware, dan saya lupa mana lagi, yang tentu saja mengandalkan para pemimpin yang berada di puncak “rantai makanan” sebagai bukti keberhasilan. Terkadang para amatir itu dengan sok hebatnya mengejar saya, mengorek apa sih yang menjadi kendala saya dan mereka akan bantu. Beberapa kali saya tersenyum manis saja. Namun jika lagi keluar isengnya, “Semua kerjaan itu butuh niat. Jika saya tak niat, terus cara kerjanya seperti apa,”
Hihihi, dia diam, wajahnya seperti lampu persimpangan, merah kuning hijau.
Kadang juga dengan halus saya kembalikan,
“Saya sudah pernah datang, sudah tahu bagaimana, dan maaf saya tidak tertarik,”
Hehehe, sama saja ya.

Bahkan hingga beberapa minggu terakhir pun, seorang teman yang bekerja secara aktif di MLM online yang booming dengan sebuah nama upline Dini Shanti, mulai cari celah untk memprospek saya. Tuh kan, betapa hebatnya kerja keras para prospector ini.
“Harusnya calon prosprek dibuat nyaman sehingga tertarik. Sini biar eike prospek,” katanya sembari bercanda.
Saya ketawa saja. Aduuuh mbak, saya ini uda keluar masuk MLM dengan berbagai nama, berbagai seminarnya, bahkan sampai keluar duit juga, meski tak sampai hitungan jutaan (sedikit banget kan). Pada intinya sama saja, semua pekerjaan butuh kerja keras jika ingin mencapai hasil yang diinginkan.

Doktrin marketing seringkali mengatakan bahwa semua orang itu bisa bicara, lalu memaparkan bukti banyaknya orang yang sebelumnya pendiam menjadi cas cis cus banyak bicara setelah belajar ilmu arketing. Kebetulan dia juga berbakat. Bukankah ada orang yang terlahir introvert, yang memang susah berhubungan dengan orang baru. Masa harus dipaksa juga?

Bekerja itu dengan hati, biar uangnya banyak atau sedikit, karena kenyamanan itu mahal harganya. Saya sih, lebih nyaman menjadi guru dan penulis, lebih kaya pengalaman yang kemudian bisa menginspirasi banyak orang.

Saya juga berdagang kok, meski dengan hukum yang tak tega. Lha mesti bagaimana, jika menawar pasang muka memelas, memohon supaya bisa mencicil atau membayar sewaktu gajian. Belum lagi, jika mereka belum punya uang untuk membayar, mereka memilih menghindar jika ditagih. Akhirnya, seperti halnya biaya MLM, saya ikhlaskan sudah, duit ratusan ribu itu melayang lagi. Biaya belajar lagi. Jika saya terus-terusan menganggap semuanya sebagai biaya belajar, lalu kapan ujian dan lulusnya? Hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar