tak perlu bayar |
Semalam sebelum
insiden es krim beberapa waktu lalu, suami saya berniat mengajak kami semua ke Taman Bungkul
untuk ikutan menikmati es krim gratis. Hehehe, wajar dong, kan undangan terbuka. Saya juga bersiap
membangunkan mereka pagi-pagi supaya bisa dapat tempat. Setelah berpikir agak
lama,
“Ga jadi deh,
Kang,”
“Kenapa?”
“Anak-anak kan baru sembuh, ntar
kecapean, panas, rame banget,”
“Ya terserah,”
Sebenarnya dalam
hati lebih banyak pertimbangannya. Seperti mikir berapa harga es krim termahal, sanggup ga sih membelinya. Kalaupun dapat gratisan emang kuat
berapa banyak sih. Terpenting dari itu, saya mencoba memenuhi nazar sendiri
untuk anti gratis, anti KW, anti minta oleh-oleh dan traktiran, dan anti
mainstream lainnya. Ingat ya, masih dalam taraf berusaha, kalau melenceng, peace ah ;p
“Biar aja es krimnya bisa buat orang-orang yang belum pernah merasakan enaknya es krim,” kata saya lagi.
“Biar aja es krimnya bisa buat orang-orang yang belum pernah merasakan enaknya es krim,” kata saya lagi.
Bersyukuuur
banget, saya ga ikut jadi bagian pawai perusakan taman. Kemungkinan besar,
melihat kondisi awal, saya akan lebih memilih tempat lain yang bisa
dinikmati bersama anak-anak, daripada sekedar mikir gratisan tapi mesti terlibat dalam keributan dan
kerusuhan.
Seberapa besar
sih hasrat kita akan gratis?
Lumrah, wanita
banget lah. Kadang manut aja diiming-imingi diskonan beli 2 gratis 1. Padahal
setelah dihitung-hitung, eh harganya dinaikkan dulu baru dikasi diskon. Banyak kan yang seperti itu.
Apalagi kalau
urusannya sama dunia perbakulan macam saya ini, mesti tebal telinga mendengarkan
raungan minta gratisan sana-sini, kalo ga ngasi dibilang pelit lah, ga maintain langganan lah, dan sebagainya, hehehe...
Pernah saya cerita
sama ibu kalau saya berhasil ngelakuin dagangannya seorang teman tiap bulan hingga bisa
beberapa juta, lumayan lah untuk emak-emak seperti saya yang hanya
berkeliling beberapa kali dan repot dengan anak-anak.
“Trus kamu
dikasi bonus apa?”
“Oalah mak, itu
aku cari untung sendiri, untung dia ya urusan dia. Kalo dia mau ngasi ya alhamdulillah,
kalo ga ya sudahlah. Duitnya keuntungan itu kan sama dengan gajinya orang kantoran,
bedanya kalau pedagang ya dikumpulin sedikit demi sedikit.”
“Enggak apa,
nanya aja kok,” tukas ibu saya kalem.
Kalau saya kadang masih
suka bikin kuis dan program ini gratis itu, tapi ada nih teman bakul yang
lempeng aja kalo mendapat kicauan dari pelanggannya yang minta gratisan karena sudah bikin barang dagangan dia laku banyak banget.
“Gratis gimana,
untung aja hanya lima
ribu, itupun masih dibayar beberapa kali,”
Kebetulan saya
bukan pedagang asli, alias tak semuanya dihitung dengan cermat, jadi kasi
gratis dan bonus, ya kasi aja, ga pake perhitungan njelimet. Tapi begitu jalan-jalan
ke matahari atau ke mall besar, suka mendelik sewot.
“Aiih, ini yang
segede gaban dengan omzet miliaran rupiah ngasi bonus pelit amat. Kenapa mesti
pedagang pracangan kayak saya gini yang mesti nanggung kicauan orang doyan
gratisan.”
Belum lagi kalo
ke tukang sayur, yang menawar minta ampun sengitnya. Saya sih menawar
seperlunya, ga boleh ya udah, ambil atau tinggalkan. Setidaknya, belanja itu,
lepaskan hasrat dulu untuk memiliki sesuatu. Jika berusaha nawar tak sampai juga, ya
biarin aja dia pergi, toh itu bukan rejeki kita kan.
Urusan duit
seribu dua ribu aja bisa rame kalo ketemu sama ibu rumah tangga. Saya beli kentang di tukang sayur dapat harga 4000 waktu itu. Begitu si pedagang pergi, ibu-ibu
pada ribut, "Harusnya tadi kamu tawar dulu pasti bisa kena 3000..."
Hihihi, saya bukan
ibu rumah tangga sejati kali ya, urusan tawar menawar itu seperlunya aja.
Prinsipnya gini lho, kenapa aja ga sekalian nawar di mall yang harganya
selangit, tetap aja dibeli? Ngasi kekayaan sama cukong kan, nguyahi segoro. Sementara sama pedagang,
ga berlebihan kok, pasti udah tahu bedanya pedagang A dan B, beda tipis, anggep
aja rejekinya. Bahkan kadang karena udah langganan, si tukang sayur suka lupa
saya utang berapa. Untungnya punya beberapa langganan, ambil sembarang, bayar besok atau kapan-kapan, asal sama-sama tahu. Saya agak malas nawar juga, dapet ikan busuk ya
ga bawel. Paling hanya bisa bilang aja ke bakulnya, "Ikannya busuk bos," males
nagih yang baru, males rame. Eh, kok jadi kelihatan saya malas amat ya ;p Masalah tukang sayur itu curang, udaaah, ada "dewan peradilan" sendiri dan
itu bukan saya.
Suatu hari
pernah iseng bertanya pada si tukang sayur langganan
“Sampean itu
lupa melulu, piye kalau aku gak bayar?”
“Ya gak papa
mbak, ada kok yang lebih banyak.”
“Hah?”
“Iya, bisa sampai seratus dua ratus ribu ga dibayar-bayar.”
“Trus dia tetep
belanja aja?”
“Iya.”
“Ga sampean
tagih?”
“Ga, biar aja.”
“Rugi dong?”
“Alhamdulillah
selalu saja ada rejeki, ga sampai rugi."
Hehehe, ga kenal
deh istilah menyumbat rejeki orang, karena memang benar rejeki itu sudah ada
jatahnya masing-masing, dengan cara apapun.
Ternyata bukan
urusan perbakulan saja, urusan penulisan buku pun jadi sasaran untuk cari gratisan.
Eh, saya pernah kayaknya minta gratisan, tapi honestly hanya sebagai basa basi
aja kok, ga dikasi ya cuek aja, namanya usaha, hahaha… Sekarang mikirnya,
mereka (penulis) itu usaha menulis dengan susah payah, melalui proses edit, revisi, dan
sebagainya. Bahkan kadang saya mesti beli buku yang ada nama saya, karena
penulis yang bersangkutan hanya mendapat jatah 3 buku dari penerbit.
Beginilah repotnya ketika pekerjaan mainstream adalah yang terima gaji tiap bulannya, sehingga di luar pekerjaan itu dianggap tidak bekerja, sehingga bisa diperlakukan untuk dimintai gratisan. Padahal keuntungan dari penjualan barang, adalah sebuah bentuk gaji yang diperoleh dengan cara berbeda, jemput bola, jual dan laku.
Seorang teman yang bercita-cita menjadi dokter dan alhamdulillah sekarang menjadi dokter beneran, pernah berusaha "menyadarkan" teman-temannya."Wah asik nih kalau kamu jadi dokter. Aku kan bisa berobat gratis," kata saya gembira banget, waktu itu.
Wajahnya datar, diam sesaat, lalu...
"Bukan aku ga mau ngasi gratisan, tapi kalau aku kasi gratis sama kalian teman-temanku, sama dengan aku mematikan nafkah dokter lain karena kalian semua maunya berobat ke aku, menyalahi kode etik, bla bla bla..."
"Udaaah, bilang aja kamu pelit..." serbu teman yang lain.
Begitu kita sudah sama-sama menjalani profesi masing-masing, saya malah sungkan jika masih menggunakan prinsip lama itu. Berapa sih, harga sebuah hubungan pertemanan? Jika ukurannya gratis ongkos perawatan, murah sekali ya. Semua profesi butuh cari makan juga lho, masalah yang bersangkutan memberikan keringanan, itu urusan dia. Jika memang kita butuh gratis atau keringanan, tentu butuh alasan yang kuat, antara lain dalam kondisi tidak mampu. Jika masih mampu, well, sepertinya kita juga mampu kan memberi "harga" pada diri kita sendiri kaaan...
Gratisan itu mental nina bobo
yang mesti dikikis, mental yang tak mau repot tak mau rugi merasa udah dijajah
selama ratusan tahun jadi harus minta disayang-sayang melulu. C’mon, move on,
dear.
Jadikan gratis
sebagai bonus kejutan, jangan diminta,
Jadi sekali
waktu ada yang ngasi gratis tiba-tiba, rasanya mulia banget, kadang
malah tak pecaya ya, masih ada yang bersedia ngasi gratis dengan begitu
baiknya *lebay*