Jumat, 13 Juni 2014

Gratis


 
tak perlu bayar

Semalam sebelum insiden es krim beberapa waktu lalu, suami saya berniat mengajak kami semua ke Taman Bungkul untuk ikutan menikmati es krim gratis. Hehehe, wajar dong, kan undangan terbuka. Saya juga bersiap membangunkan mereka pagi-pagi supaya bisa dapat tempat. Setelah berpikir agak lama,
“Ga jadi deh, Kang,”
“Kenapa?”
“Anak-anak kan baru sembuh, ntar kecapean, panas, rame banget,”
“Ya terserah,”
Sebenarnya dalam hati lebih banyak pertimbangannya. Seperti mikir berapa harga es krim termahal, sanggup ga sih membelinya. Kalaupun dapat gratisan emang kuat berapa banyak sih. Terpenting dari itu, saya mencoba memenuhi nazar sendiri untuk anti gratis, anti KW, anti minta oleh-oleh dan traktiran, dan anti mainstream lainnya. Ingat ya, masih dalam taraf berusaha, kalau melenceng, peace ah ;p
“Biar aja es krimnya bisa buat orang-orang yang belum pernah merasakan enaknya es krim,” kata saya lagi.
Bersyukuuur banget, saya ga ikut jadi bagian pawai perusakan taman. Kemungkinan besar, melihat kondisi awal, saya akan lebih memilih tempat lain yang bisa dinikmati bersama anak-anak, daripada sekedar mikir gratisan tapi mesti terlibat dalam keributan dan kerusuhan.

Seberapa besar sih hasrat kita akan gratis?

Lumrah, wanita banget lah. Kadang manut aja diiming-imingi diskonan beli 2 gratis 1. Padahal setelah dihitung-hitung, eh harganya dinaikkan dulu baru dikasi diskon. Banyak kan yang seperti itu.
Apalagi kalau urusannya sama dunia perbakulan macam saya ini, mesti tebal telinga mendengarkan raungan minta gratisan sana-sini, kalo ga ngasi dibilang pelit lah, ga maintain langganan lah, dan sebagainya, hehehe...

Pernah saya cerita sama ibu kalau saya berhasil ngelakuin dagangannya seorang teman tiap bulan hingga bisa beberapa juta, lumayan lah untuk emak-emak seperti saya yang hanya berkeliling beberapa kali dan repot dengan anak-anak.
“Trus kamu dikasi bonus apa?”
“Oalah mak, itu aku cari untung sendiri, untung dia ya urusan dia. Kalo dia mau ngasi ya alhamdulillah, kalo ga ya sudahlah. Duitnya keuntungan itu kan sama dengan gajinya orang kantoran, bedanya kalau pedagang ya dikumpulin sedikit demi sedikit.”
“Enggak apa, nanya aja kok,” tukas ibu saya kalem.
Kalau saya kadang masih suka bikin kuis dan program ini gratis itu, tapi ada nih teman bakul yang lempeng aja kalo mendapat kicauan dari pelanggannya yang minta gratisan karena sudah bikin barang dagangan dia laku banyak banget.
“Gratis gimana, untung aja hanya lima ribu, itupun masih dibayar beberapa kali,”

Kebetulan saya bukan pedagang asli, alias tak semuanya dihitung dengan cermat, jadi kasi gratis dan bonus, ya kasi aja, ga pake perhitungan njelimet. Tapi begitu jalan-jalan ke matahari atau ke mall besar, suka mendelik sewot.
“Aiih, ini yang segede gaban dengan omzet miliaran rupiah ngasi bonus pelit amat. Kenapa mesti pedagang pracangan kayak saya gini yang mesti nanggung kicauan orang doyan gratisan.”

Belum lagi kalo ke tukang sayur, yang menawar minta ampun sengitnya. Saya sih menawar seperlunya, ga boleh ya udah, ambil atau tinggalkan. Setidaknya, belanja itu, lepaskan hasrat dulu untuk memiliki sesuatu. Jika berusaha nawar tak sampai juga, ya biarin aja dia pergi, toh itu bukan rejeki kita kan.
Urusan duit seribu dua ribu aja bisa rame kalo ketemu sama ibu rumah tangga. Saya beli kentang di tukang sayur dapat harga 4000 waktu itu. Begitu si pedagang pergi, ibu-ibu pada ribut, "Harusnya tadi kamu tawar dulu pasti bisa kena 3000..."
Hihihi, saya bukan ibu rumah tangga sejati kali ya, urusan tawar menawar itu seperlunya aja. Prinsipnya gini lho, kenapa aja ga sekalian nawar di mall yang harganya selangit, tetap aja dibeli? Ngasi kekayaan sama cukong kan, nguyahi segoro. Sementara sama pedagang, ga berlebihan kok, pasti udah tahu bedanya pedagang A dan B, beda tipis, anggep aja rejekinya. Bahkan kadang karena udah langganan, si tukang sayur suka lupa saya utang berapa. Untungnya punya beberapa langganan, ambil sembarang, bayar besok atau kapan-kapan, asal sama-sama tahu. Saya agak malas nawar juga, dapet ikan busuk ya ga bawel. Paling hanya bisa bilang aja ke bakulnya, "Ikannya busuk bos," males nagih yang baru, males rame. Eh, kok jadi kelihatan saya malas amat ya ;p Masalah tukang sayur itu curang, udaaah, ada "dewan peradilan" sendiri dan itu bukan saya.

Suatu hari pernah iseng bertanya pada si tukang sayur langganan
“Sampean itu lupa melulu, piye kalau aku gak bayar?”
“Ya gak papa mbak, ada kok yang lebih banyak.”
“Hah?”
“Iya, bisa sampai seratus dua ratus ribu ga dibayar-bayar.”
“Trus dia tetep belanja aja?”
“Iya.”
“Ga sampean tagih?”
“Ga, biar aja.”
“Rugi dong?”
“Alhamdulillah selalu saja ada rejeki, ga sampai rugi."
Hehehe, ga kenal deh istilah menyumbat rejeki orang, karena memang benar rejeki itu sudah ada jatahnya masing-masing, dengan cara apapun. 

Ternyata bukan urusan perbakulan saja, urusan penulisan buku pun jadi sasaran untuk cari gratisan. Eh, saya pernah kayaknya minta gratisan, tapi honestly hanya sebagai basa basi aja kok, ga dikasi ya cuek aja, namanya usaha, hahaha… Sekarang mikirnya, mereka (penulis) itu usaha menulis dengan susah payah, melalui proses edit, revisi, dan sebagainya. Bahkan kadang saya mesti beli buku yang ada nama saya, karena penulis yang bersangkutan hanya mendapat jatah 3 buku dari penerbit.

Beginilah repotnya ketika pekerjaan mainstream adalah yang terima gaji tiap bulannya, sehingga di luar pekerjaan itu dianggap tidak bekerja, sehingga bisa diperlakukan untuk dimintai gratisan. Padahal keuntungan dari penjualan barang, adalah sebuah bentuk gaji yang diperoleh dengan cara berbeda, jemput bola, jual dan laku.     
 
Seorang teman yang bercita-cita menjadi dokter dan alhamdulillah sekarang menjadi dokter beneran, pernah berusaha "menyadarkan" teman-temannya."Wah asik nih kalau kamu jadi dokter. Aku kan bisa berobat gratis," kata saya gembira banget, waktu itu.
Wajahnya datar, diam sesaat, lalu...
"Bukan aku ga mau ngasi gratisan, tapi kalau aku kasi gratis sama kalian teman-temanku, sama dengan aku mematikan nafkah dokter lain karena kalian semua maunya berobat ke aku, menyalahi kode etik, bla bla bla..."
"Udaaah, bilang aja kamu pelit..." serbu teman yang lain.
Begitu kita sudah sama-sama menjalani profesi masing-masing, saya malah sungkan jika masih menggunakan prinsip lama itu. Berapa sih, harga sebuah hubungan pertemanan? Jika ukurannya gratis ongkos perawatan, murah sekali ya. Semua profesi butuh cari makan juga lho, masalah yang bersangkutan memberikan keringanan, itu urusan dia. Jika memang kita butuh gratis atau keringanan, tentu butuh alasan yang kuat, antara lain dalam kondisi tidak mampu. Jika masih mampu, well, sepertinya kita juga mampu kan memberi "harga" pada diri kita sendiri kaaan...

Gratisan itu mental nina bobo yang mesti dikikis, mental yang tak mau repot tak mau rugi merasa udah dijajah selama ratusan tahun jadi harus minta disayang-sayang melulu. C’mon, move on, dear.

Jadikan gratis sebagai bonus kejutan, jangan diminta,
Jadi sekali waktu ada yang ngasi gratis tiba-tiba, rasanya mulia banget, kadang malah tak pecaya ya, masih ada yang bersedia ngasi gratis dengan begitu baiknya *lebay*

Minggu, 08 Juni 2014

Easy When You're Not



sesuatu yang belum sempat dijalani ;)

Beberapa waktu lalu, sebuah perusahaan implant untuk telinga menelpon saya dan menawarkan apakah saya berniat menanam plat dengar (implant) untuk anak saya, yang gangguan dengarnya tergolong parah. Dengan lugas saya menjawab tak ada uang. Jangankan implant, alat bantu dengar saja kami baru sanggup membeli yang semi digital, lebih murah dan juga berhubungan dengan kondisi anak. Awalnya memang sempat sedih, tapi setelah mendapat pencerahan dan pengalaman di sana sini, Insha Allah tak apa. Kecerdasan tak melulu ditentukan oleh alat bantu yang baik, alat hanyalah salah satu penunjang. Alasan gayanya sih, ga tega anak jadi robot karena harus dipasang plat di dalam rumah siputnya supaya telinganya bisa bekerja dengan proses hampir mendekati telinga normal. Padahal dengan harga satu plat kurang lebih seharga rumah di suatu tahun, rasanya mustahil untuk bisa menyediakan angka sejumlah itu dalam waktu singkat.

Intervensi implant yang dini memang bisa membuat anak berbicara senormal yang lain, dengan tingkat kegagalan 25-30%. Kemungkinan gagal antara lain tak adanya stimulant. Lagipula implant bukan satu-satunya solusi kok, toh tak tak semua anak tuna rungu terlahir dan keluarga yang mampu kan. Sebagai penyemangat, bahwa keterbatasan bukanlah halangan, saya selalu mematrikan dalam benak, kisah Heller Keller dan Thomas Alva Edison.

Tapi kemudian, bagaimana jika saya memiliki uang cukup banyak yang memungkinkan saya untuk implant berapa kali pun? Masihkah ada kemungkinan idealis, anak saya tak akan implant? Terkadang, kekuatiran berbanding lurus dengan jumlah harta benda yang kita punyai. Karena punya uang, gampang aja pergi ke dokter. Betul, demikian?
Nyaman itu racun, saudara.

Macaulay Culkin kecil, keren dan larisnya minta ampun. Begitu besar, eh terkena pengaruh obat bius, nikah usia muda dan tak bisa lagi mengulang kejayaan masa kecilnya. Kabarnya, orang tua si Mac imut ini dulu memforsir sehingga dia kehilangan masa kanak-kanaknya demi pekerjaan. Misalnya saya ada di posisi orang tuanya, bisa nggak ya saya tidak mempekerjakannya. Seperti si Mulan Jameelah yang mempekerjakan Safeea yang usainya baru tiga tahun. Banyak yang menuduh pasangan ini (Mulan-Dhani) kemaruk, hehehe.. 

Bobo Ho, yang bernama asli Hao Shaowen, tak berkenan mengulang kejayaan masa kecilnya. Si gundul yang jahilnya minta ampun, yang selalu jadi appetizer yang unik pada semua film yang dibintanginya. Begitu beranjak remaja, dia tak lagi menlanjutkan karirnya yang pernah begitu cemerlang di dunia seni. Dia memilih bekerja di toko es krim demi membiayai kuliahnya.  Itu semua atas permintaan orang tuanya dan dia menuruti sebagai bentuk baktinya kepada mereka.

Gampang sekali untuk mengatakan, hai orang-orang berdermalah. Padahal sewaktu kita punya uang, bisa tidak sih tercapai cita-cita itu. Salut banget yang masih konsisten berhubungan dengan uang, karena seperti yang banyak dibilang, uang itu banyak “penunggunya”. Maksudnya, jika anda sudah punya banyak, belum tentu anda ingat akan apa yang ingin dilakukan, apalagi yang tak berhubungan langsung dengan kesejahteraan kita.

Seperti juga kampanye dan demo, gampang banget utuk menebar janji ketika kita belum benar-benar berada di dalamnya, belum mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi pemimpin dengan gelimangan lembaran kemewahan dan berbagai fasilitas yang melenakan diri. Hehehe, nyambung lagi deh ke capres.

Mensyukuri itu penting.
Berusaha juga tak kalah penting.
Berangan-angan juga tak dilarang, asal jangan berlebihan, dan masih ingat daratan. Jadi?

Jumat, 06 Juni 2014

Durhaka



Kisah si Malin

 …..
Seorang nenek pemukul batu berusia 70 tahun lebih bekerja sebagai pemukul batu karena tak seorang pun dari anak-anaknya yang mau ditumpangi hidup. 

Sepasang suami istri bahu membahu membesarkan anak-anak mereka hingga harta bendanya habis. Begitu usia tua menjelang, para anak dan menantunya tak ada yang berkenan menampung mereka. Suami kembali mencari nafkah dari nol dengan cara mengamen menggunakan tutup botol. Matanya sudah rabun dan pikirannya terguncang. Terkadang dia tak tahu mana rumah orang mana kandang ayam. Demi kekuatannya bertahan dan mendapatkan uang untuk mereka (dia dan istrinya) makan, ia selalu menenggak segenggam obat. Entah berapa banyak rejeki yang masih tersisa.

Sang ibu tinggal sendirian di sebuah rumah, semenjak anak lelaki semata wayangnya menikah dan tinggal bersama isrinya. Jika sang ibu berkunjung sekedar untuk mengetahui kabar anaknya, menantu itu akan berteriak dan berserapah, tak mau menerima kunjungan sang ibu. Buncah rindu tak tertahan membuat sang ibu bak seorang maling yang datang ke halaman rumah, sekedar melihat anaknya atau menengok cucunya. Itu pun hanya berani dilakukan ketika si menantu tak di rumah.

Sepasang suami istri bekerja hingga malam. Karena tak memiliki pembantu, mereka meminta bantuan kepada ibunya. Ibu memasak, mengepel, mencuci pakaian, dan hampir semua pekerjaan rumah tangga dibebankan kepada beliau yang renta. Masih belum cukup, kedua anak yang mendapat limpahan harta dari orang tua kurang bisa menghormati neneknya.
…..

Cobaan itu tak punya rumus matematis, itu rahasia ilahi.
Tak pantas rasanya memberikan tuduhan, “Itulah balasan orang tua yang dulunya durhaka kepada anak”. Lhah, emang kita ini hidup bersama mereka sepanjang usia, hingga tahu dengan pasti siapa yang durhaka dan siapa yang tidak. Ada memang yang beranggapan bahwa kita akan menerima balasan sesuai dengan apa yang kita kerjakan. Balasan itu tidak mutlak akan diberikan di dunia lho. Bisa aja balasan diberikan di dunia karena yang bersangkutan diberi kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosanya. Bisa juga, karena “sebiji sawi” yang tetap disimpannya, balasan itu juga disimpan dulu sebagai deposito, dan diberikan nantiii, entah kapan. Kita tak pernah tahu, apakah saat nantiii itu, kita sudah punya banyak persiapan.     

Banyak orang tua, terutama ibu, yang mengalah demi kemauan menantu wanita. Hehehe, cari cermin, ingat sejarah, saya masuk gak ya??? Memang sih, setiap rumah tangga hanya membutuhkan satu “ratu”. Tapiii, tak ada yang salah kan, jika menemani ibu yang sudah renta, membiarkan beliau menikmati waktu yang tak banyak tersisa bersama cucu-cucunya. Padahal kan rejeki dan kewajiban suami masih terikat kepada ibunya meskipun dia sudah menikah.  Andai kata mau, bisa saja si ibu mengulang kisah si Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu. Jika kita masih punya banyak salah kepada orang tua, terutama ibu, namun ibu tak sampai mengutuk, bersyukurlah dan segera perbaikilah.

Seorang pemuda di jaman Rasulullah, bernama Alqamah, susah menjalani sakaratul mautnya,. Dia seorang pemuda yang rajin sholat, puasa, dan sedekah, namun lalai akan perhatian kepada ibunya. Dia lebih memperhatikan istri daripada ibunya. Setelah ibunya ridho, barulah Alqamah ini mampu mengucap La ilaha illallah dengan lancar.

Perkataan seorang ibu yang disampaikan dengan sepenuh hati, seringkali menjadi kenyataan (nasib anak) yang tak disangka-sangka. Ridha orang tua, ridha Allah. Kemarahan orang tua, kemarahan Allah.
Saya sendiri sering tak sependapat dengan bapak dan ibu, tapi sudahlah, bukan untuk meyakinkan siapa yang paling benar, tapi menghentikan debat di saat yang tepat dan menghormati apapun pendapat mereka.
Orang tua akan semakin melemah karena aus oleh usia, pikiran, seperti halnya anak-anak lelah karena masanya serta ingatan nilai hidup terpatri yang tak mudah berubah. Kita semua akan mengalami masa seperti mereka.

Menghormati orang tua itu wajib, apapun kesalahan mereka, karena dosa adalah pertanggungjawaban mereka dengan Allah, bukan dengan kita. Bahkan Nabi Ibrahim masih tetap menghormati orang tuanya, meskipun mereka musyrik, salah satu kejahatan utama dalam beragama. Jadi, jika orang tua kita Muslim, merawat dan mengasuh kita hingga baligh, menikahkan kita, mencintai pasangan dan anak-anak kita, adakah alasan yang lebih kuat untuk tidak menghormatinya? 

Rabu, 04 Juni 2014

Antara Mendengar dan Menyeduh Teh

menyeduh teh

Setahun ini, mungkin lebih, saya banyak mendengarkan tentang banyak hal. Sebagian besar di antaranya memang tentang saya sendiri, karena saya yang membuka obrolan, lalu kemudian ada beberapa “sok cenayang”, dewa lebay, serta para kepo yang turut serta :)

Awalnya sih, saya berniat menghormati hak orang lain, untuk menggunakan kecakapan berbicara tentang isi dalam benaknya, terhadap saya berikut nasib yg sedang saya lakoni. Dan ternyata, mendengar itu tak sekedar butuh telinga, tapi juga butuh hati untuk memaklumi dan otak untuk mencerna.

Ada banyak sekali orang yang lebih suka untuk didengar, tanpa berperilaku sebaliknya. Dan bila bertemu dengan mereka yg cuma mau didengar, saya merasa lagi liat lenong gratis, hehe…
Repotnya, saya yg memilih untuk menjadi pendengar, ditarik ke sana, ditarik ke sini. Begitu mau sedikit ngomong ikut nanggepi, langsung dipotong, suruh dengerin lagi.

Marah?
Nggak lah, pengen cekikikan malah, tapi kok ya gak sopan banget. Kayak majikan aja, maunya di… ga mau me…

Yang lucu lagi, dengan orang-orang yg merasa dia paling benar, trus kalo saya ngajukan pendapat lain, mereka bilang saya ngeyelan. Lho, piye to?
Padahal mengeluarkan argumen kan harusnya didasarkan data dan fakta yg sesuai. Kalo ada data baru yang lebih akurat, harusnya mau dong, menerima kenyataan dengan lapang dada. Juga perlu mengingat bahwa, kondisi setiap orang tak ada yang sama persis, tak bisa disamakan satu sama lain. Perbedaan itulah, yang kadang, tak bisa diterima begitu saja oleh sebagian orang.
Lebih lucu lagi, ketika terbukti salah, mereka malah marah, bahkan menyerang saya dengan argumen yg sama sekali tak ada hubungannya dengan diskusi sebelumnya.
Walahhh…

Setahun lalu, anak saya mendapat sebuah vonis dari sebuah rumah sakit.
Shock, jelas lah.
Nangis, ya hampir tiap hari.
Marah, teriak, dsb, dan syukurlah ga sampe bunuh diri, hehe..

Dalam setahun itu, saya bertemu banyak sekali orang yang “nunut” kasi nasib, dengan segala keterbatasan dan ketidaktahuan mereka tentang sebuah proses.

Saya, seperti biasa, berlagak bodoh, “ooo…begitu ya,”

Dianggap bodoh itu lebih menyenangkan, karena tak ada pertanggungjawaban moral untuk omongan kita *ngeles*
“omongane wong bodo kok digape..”
Hehe, ga seekstrem itu sih, just an example.

Dan ternyata, saya makan buah simalakama dari perilaku mendengar dan sikap sok bodoh itu tadi.
Nah lho..

Terlalu banyak yang diserap, sampe saringane jebol.

Tapi ok lah, tak perlu mendendam untuk para pengobral omongan tanpa kajian mendasar. Memaafkan itu mungkin berat, tapi pada jangka panjangnya, jauh lebih meringankan pikiran.

Jika dendam itu disamakan sebagai jeruk busuk, opo ya mau, anda bawa jeruk busuk itu kemana-mana?

Setahun berlalu itu telah memberi saya pelajaran yg sangat bermakna, bahwa mendengar itu seperti menyeduh teh.

Ada yg suka teh, ada yg tidak.
Ada yg mau mendengar, ada yg tidak.

Teh harus diseduh dengan air panas untuk mengeluarkan aroma dan khasiatnya.
Setiap perkataan orang tentang kita, harus dicerna dengan baik, untuk memperoleh makna sebenarnya.

Saya suka teh dengan sesendok kecil gula.
Ada yg suka teh dengan gula beberapa sendok besar.
Saya (berusaha) untuk beranggapan bahwa maksud orang menanyakan, memberitahu, menilai, adalah baik. Tanda mereka perhatian kan.. Hanya saja, cara mereka yang  kadang tidak klop dengan harapan kita. So, mau dilakoni, minum aja teh pahitnya. Mau disesuaikan, ya tambahkan rasa sesuai selera.

Butiran daun teh kering yg diseduh dan disaring, maupun teh celup dalam kantong kertas, selalu meninggalkan butiran halus di dasar cangkir. Kalo anda meminumnya sampe tandas, pasti tersedak kan..
Semua pilihan (untuk mendengar dan mengikuti), ada konsekuensi dan resiko benar salah. Jika terlalu mengamini perkataan orang, beberapa dari kita akan menyalahkan yang memberi saran. Padahal hak bertindak sebab-akibat itu ada di tangan kita. Kalo semua muanya ditelan, ya tersedak itu tadi. Ga enak.

Saya teringat dengan Professor Trelawney di serial Harry Potter yg suka meramalkan nasib melalui sisa daun teh di cangkir.
Percaya pada ramalan? Pernah sih, tapi syukurlah lupa, karena tak baik percaya ramalan itu. Hanya akan membatasi perilaku dan mematok nasib kita sendiri yang belum tentu benar.
Saya lebih melihatnya sebagai residu biasa. Melihat kelihaian seseorang meminum teh sampai tandas, hingga menyisakan beberapa tetes air dan riak daun teh atau butiran halus saringan.
Seberapa pandai seseorang menikmati hidup dengan segala aromanya, membiarkan yang buruk (tak bisa dicerna) sebagai bumbu yg memperkaya rasanya.

Dengan begitu saya berterima kasih pada dokter yang pernah sinis pada kesedihan saya. Waktu dia muncul di tv, saya kok dejavu kemarahan. Mengoyak-oyak memori, sampai kemudian ingat, “oooh, ini dulu yang tidak total dalam melayani pasien,”
Ya sudahlah, semoga dia bisa lebih baik hari ini. Semoga dia bisa baik dengan para pasien yang tidak mampu. Saya sih, ga kaya, tapi masih mampu memberikan terapi dan pengobatan yang baik untuk anak, itu sudah lebih dari cukup.

Juga kepada para terapis yang menggunakan segala kelihaiannya untuk memanfaatkan ketidaktahuan kami, memberikan informasi yang terlalu menakut-nakuti, memberikan vonis tambahan yang sebenarnya di luar wewenangnya, bahkan mengintimidasi dengan halus untuk mengikuti pola yang dia sarankan, yang UUD (ujung-ujungnya duit). Lho, memang semua pengobatan butuh biaya, tapi seperti apa, setransparan apa, dan tindak lanjutnya bagaimana.
Saya paham, bahwa semua orang membutuhkan uang, dengan caranya masing-masing. Sebenarnya kasihan juga, ketika seorang oknum akhirnya konangan “bermain di belakang”. Itu kan berarti mengurangi pemasukan bulanannya. But, hei, siapa suruh dia cari tambahan dengan cara yang tak halal (sesuai aturan dari kantornya)?

Herannya lagi, dengan dokter yang mengatakan bahwa anak saya tak apa, tapi tetap meresepkan obat seharga ratusan ribu untuk ditebus. Demi percepatan fungsi otak sih, katanya, tapi… Ya memang saya termasuk pasien yang ngeyelan mungkin, tapi saya kan saya berhak tahu apa saja yang masuk dalam tubuh anak saya. Apalagi, pemberian obat berlebihan sejak dini, bisa mengarah pada ketergantungan obat di masa dewasanya.

Ah sudahlah, panjang banget jadinya :)
Yang penting saya sudah mulai menemukan titik cerah.
Biarlah uang dan kebodohan yang pernah ada itu, sebagai sebuah mata kuliah tanpa kampus.

-February 2013-

Selasa, 03 Juni 2014

Oh Prospek


scrutinize the prospects ;)
 
Saya duduk di kursi di sebuah restoran Eat and Eat di bilangan jalan Tunjungan, memperhatikan seorang eksekutif muda memainkan layar laptopnya seraya menerangkan kepada saya tentang ini dan itu. Dia menjelaskan mengenai sebuah MLM baru, yang tentu saja dipermanis dengan bahasanya sendiri, dengan sekian metode bahwa ini merupakan peluang yang bagus dalam beberapa than mendatang, sebelum saya ketinggalan.

Awalnya biasa saja ketika dia menjelaskan soal produk dan jangkauan konsumennya, hingga kemudian dia sampai pada tahap uang yang melimpah sebagai hasil kerja keras, mendadak saya pusing. Saya terbayang uang ratusan juta milik nasabah saya dulu yang amblas di pasar bursa indeks. Sebagai manusia biasa yang tak terlalu paham dengan system resiko perputaran uang, ada sebuah guilty feeling, tapi itu tak bisa mengembalikan uang utuh. Uang bisa utuh dengan kehandalan seseorang untuk mengaturnya dengan pengetahuan mengenai saham dan sebagainya. Itupun butuh waktu dan proses panjang, mengikuti fluktuasi pasar. Saya? Boro-boro paham, masih untung dapat 7 untuk mata pelajaran  Ekonomi dan Akuntansi, hehehe

“Jadi bagaimana menurut mbak Esthy, peluang bisnis yang kita tawarkan ini?” tanya si eksekutif yang sedang memprospek.
Saya meringis dan segera sigap mengambil alasan, “Sebentar, saya butuh waktu untuk mencerna, setelah sekian lama saya sibuk dengan urusan rumah dan anak-anak, jadi agak sedikit lag menerima materi sebanyak ini.”
Dia pun tak kalah cepat menanggapi. “Ada lho ibu rumah tangga yang pendapatannya sebulan mencapai puluhan juta rupiah. Cuma kerja dua jam dari rumah…”

Begitu bicara uang, saya sudah tak lagi mendengarkan. Buat saya sih, uang itu akan datang dengan cara yang saya inginkan, saya sukai. Tak selalu harus dengan mencari orang, toh kerja kerasnya sama.
“Mau pilih yang mana, biasa atau platinum? Kerja kerasnya sama, tapi hasilnya beda lho,” katanya masih mengejar, sangat khas marketing.
Saya meringis, ini bukan semata soal uang yang harus ditanam, dengan harga terjangkau itu. Tapi saya pusing membayangkan kerja keras harus membujuk orang supaya mau duduk diam dan menyimak orang bicara, lalu harus belajar lagi tentang perputaran uang yang tak terlalu saya sukai, karena akan mengingatkan lagi tentang uang nasabah yang hilang.

Suami saya yang menunggu di mall Tunjungan Plaza, marah-marah, “Jadi kutunggu selama ini cuma untuk mendengarkan orang prospek?” tanyanya sewot.
Sebelumnya saya memang minta ijin untuk bertemu dengan beberapa teman lama, setelah dua tahun lebih berkutat dengan kesibukan rumah tangga dan anak-anak, dan dia memberi ijin untuk itu.

Bicara soal MLM dan semacamnya, saya ini termasuk sering ikut prospek, seminar, pencerahan, apapun itu namanya, yang hampir semuanya demi menghargai usaha teman yang bersusah payah mengajak. Beberapa teman memang berhasil meyakinkan saya untuk bergabung dengan tujuan dan alasan ini dan itu, bahkan saya sempat mendapatkan prospek beberapa orang. Namun, karena saya moody, semua jenis MLM itu mandheg di tengah jalan. Soal biaya, buat saya tak banyak, saya anggap biaya belajar.

Sebut aja Tianshi, High Dessert, Forever Young, Amway, UFO, Sophie Martin, Tupperware, dan saya lupa mana lagi, yang tentu saja mengandalkan para pemimpin yang berada di puncak “rantai makanan” sebagai bukti keberhasilan. Terkadang para amatir itu dengan sok hebatnya mengejar saya, mengorek apa sih yang menjadi kendala saya dan mereka akan bantu. Beberapa kali saya tersenyum manis saja. Namun jika lagi keluar isengnya, “Semua kerjaan itu butuh niat. Jika saya tak niat, terus cara kerjanya seperti apa,”
Hihihi, dia diam, wajahnya seperti lampu persimpangan, merah kuning hijau.
Kadang juga dengan halus saya kembalikan,
“Saya sudah pernah datang, sudah tahu bagaimana, dan maaf saya tidak tertarik,”
Hehehe, sama saja ya.

Bahkan hingga beberapa minggu terakhir pun, seorang teman yang bekerja secara aktif di MLM online yang booming dengan sebuah nama upline Dini Shanti, mulai cari celah untk memprospek saya. Tuh kan, betapa hebatnya kerja keras para prospector ini.
“Harusnya calon prosprek dibuat nyaman sehingga tertarik. Sini biar eike prospek,” katanya sembari bercanda.
Saya ketawa saja. Aduuuh mbak, saya ini uda keluar masuk MLM dengan berbagai nama, berbagai seminarnya, bahkan sampai keluar duit juga, meski tak sampai hitungan jutaan (sedikit banget kan). Pada intinya sama saja, semua pekerjaan butuh kerja keras jika ingin mencapai hasil yang diinginkan.

Doktrin marketing seringkali mengatakan bahwa semua orang itu bisa bicara, lalu memaparkan bukti banyaknya orang yang sebelumnya pendiam menjadi cas cis cus banyak bicara setelah belajar ilmu arketing. Kebetulan dia juga berbakat. Bukankah ada orang yang terlahir introvert, yang memang susah berhubungan dengan orang baru. Masa harus dipaksa juga?

Bekerja itu dengan hati, biar uangnya banyak atau sedikit, karena kenyamanan itu mahal harganya. Saya sih, lebih nyaman menjadi guru dan penulis, lebih kaya pengalaman yang kemudian bisa menginspirasi banyak orang.

Saya juga berdagang kok, meski dengan hukum yang tak tega. Lha mesti bagaimana, jika menawar pasang muka memelas, memohon supaya bisa mencicil atau membayar sewaktu gajian. Belum lagi, jika mereka belum punya uang untuk membayar, mereka memilih menghindar jika ditagih. Akhirnya, seperti halnya biaya MLM, saya ikhlaskan sudah, duit ratusan ribu itu melayang lagi. Biaya belajar lagi. Jika saya terus-terusan menganggap semuanya sebagai biaya belajar, lalu kapan ujian dan lulusnya? Hehehe…