Selasa, 27 Mei 2014

Hijrah Diri




reflection of hijrah
“Kenapa kamu gak mau pake odol? Konspirasi lagi ya?” todong seorang teman.
“Hehe, iya, tapi aku masih harus cari sumber lain lagi, beneran tidaknya,” jawab saya pendek, tak mau menerangkan lebih lanjut.
“Aku tetep pakai odol aja ah, isis. Lagian kamu ini, apa-apa selalu dihubungkan dengan konspirasi,”
“Gak lah, gak semua,” kata saya membela diri. Padahal saat itu saya sedang berjuang mati-matian melawan buncah kegalauan tentang “sempitnya” dunia maya, karena bisa menemukan apapun yang menggalaukan iman dan hati. Sampai sempat terpikir, jangan-jangan dunia ini sudah dikuasasi oleh Yahudi, yang lain ngontrak, hehehe..
“Aku cerita ke suamiku kalau kamu tuh suka menghubungkan apa-apa dengan  konspirasi. Lalu aku tanya apakah suamiku percaya konspirasi dan jawabannya tidak,” tambahnya.
Saya hanya tersenyum dan tidak berusaha menunjukkan sekian bukti dari berbagai sumber maya. Enggak ah, ntar dikira gila beneran, repot saya ini, hehehe… Meskipun, dari sekian halaman maya yang pernah mampir dalam benak, ada juga yang berkorelasi dengan Al Qur’an, menggelitik analisa pribadi yang mencoba menghubungkan banyak hal berkesinambungan, hingga kemudian berusaha berdiskusi dengan beberapa orang yang cukup tahu, syukurlah, ada yang mengamini.
I wasn’t the one crazy, lunatic, insane, out of my mind, or whatsoever. We’re about to get crazy about the world. No, no, no we’re going to be as crazy as the world inside, hahaha….

Don’t blame the web, blame your curious thumb.

Saya pribadi tak bisa sepenuhnya menyalahkan internet, teknologi tetap dibutuhkan, namun harus dalam pengendalian yang ketat, mengingat mudharatnya bukan urusan main-main. Sometimes, clash of opinions may distract your way. Salah saya juga, kenapaaa juga mesti berkelana ke berbagai halaman ajaib, tanpa menyadari bahwa kapasitas otak saya juga punya batas, hehehe… Sisi positifnya adalah, saya mulai membangun sebuah “benteng”, demi kesehatan mental dan spiritual.
Hingga suatu kali saya sudah cukup bisa menahan bercerita tentang konspirasi serta sekian jenis perang pemikiran atau bahasa kerennya ghawzul fikri, memandangnya lebih santai karena sudah mulai menemukan benang merahnya. Sedangkan teman saya tadi mulai merasa serius soal konspirasi, eh, saya belum konfirmasi ulang. *tolong jangan jitak saya, ya*

Your good friend may not always agree with you, but you both can take the good side of every clash. You may argue in some part, but you don’t mix them up with another thing.

She’s getting better.
“Aku sebenarnya pengen ajak kamu ke pengajian, tapi jauh,” katanya suatu hari.
“Andaikan anakku masih kecil banget atau malah sudah gede, jadi bisa kubawa atau kutinggal sekalian,” tukas saya menolak, tanpa berpikir panjang lagi.
Actually I don’t like to think of another reason. Any kind of reason is just a way to escape from something you don’t wanna strive hard. Saya lebih memilih bukan karena keadaan, tapi saya belum cukup berusaha. Semisal, para pejuang Palestina yang berada di bawah ancaman ranjau dan granat setiap saat, masih bisa kok menghasilkan ribuan hafidz dan hafidzah. Sedangkan kita yang aman nyaman sentosa di negeri yang kaya raya, mesti didukung dengan langkah ODOJ, setoran hafalan surat, dan sebagainya. See, comfort pests you gradually.

Jauuuuh hari sebelumnya, saya menyampaikan keinginan saya untuk berhijab panjang yang maju mundur. Well, we do know that they are stated in the holy book, but talking about it may make us too intelligent, jannah-addicted, and universally-restricted *or am I the only one, hehehe*
“Ya tetap beragama, tapi sudahlah jangan terlalu fanatic. Tetap pakai hijab tapi yang biasa aja,” katanya “mengingatkan”.
Tak perlu berusaha berargumen panjang lebar mengapa, biarkan dia mencarinya sendiri, I just said the bait, hehehe… Busana memang hanyalah lambang, namun busana adalah bagian dari resonansi beragama di jalan yang lebih tepat. Soal busana kemudian dijadikan tabarruj, itu cerita lain.
 
Ketika anda sudah mencapai satu langkah kemajuan, seharusnya yang baik adalah mengajak dan mendorong teman dekat untuk bisa melangkah bersama. Saya sempat sungkan juga menunjukkan perubahan bahwa saya sedang berusaha memakai penutup di manapun saya berada, kecuali mandi dan tidur. In fact, she took it positively. I didn’t even try to influence her to copy what I did. 
“Aku kan mau juga sepertimu, yang pakai hijab setiap saat,” katanya.
Glek, saya bahagia lagi, karena saya ikut jadi bagian hijrah ke arah yang lebih baik. sementara saya masih jalan di tempat. Memang sih sudah hijaban terus, bahkan para “satpam” kecil saya selalu mengingatkan kalau saya meleng sedikit saja. Tapiiii pas menyapu halaman atau menjemur cucian, masih suka risih dengan cara menaikkan rok atau celana supaya tak menutupi mata kaki, hehehe…
Teman saya ini, yang sempat tak berkenan dengan hijab panjang, berjalan jauh lebih cepat dan progresif. Rajin ikut pengajian, beberapa kali obrolan saya mulai akrab dengan kata murojah, liqo, tartil, yang saya sama sekali tak tahu artinya, it’s my origin forgetfulness. Dia juga memakai busana syar’i, yang serba panjang dan tak melekuk tubuh itu, dan mulai membersihkan lemari dari banyak busana yang tak lagi “layak pakai”.

“I was so liberal,” akunya suatu saat, seraya bercerita sekian pengalaman beragama yang benar-benar standard. Saya jadi sangat berhati-hati ketika misalnya, ingin menyampaikan keajaiban sedekah, sebagai solusi alternative pada beberapa masalah yang dia hadapi. I failed actually, she needed reason for something I couldn’t explain and I did believe that any miracle is individual. Keajaiban adalah pemenuhan kebutuhan setiap orang, dalam posisi superior. Sedekah adalah salah satu bagian untuk menjemput keajaiban, tapi itu bukan berarti sedekah dalam jumlah sama dari orang yang berbeda akan memberikan imbas yang sama pada mereka.

 “Since I decided to quit (the previous job), I have more time to do anything. Lebih nyaman, karena lebih banyak waktu untuk menunaikan ibadah, meski tetap bisa bekerja mencari uang.”

Saya menunggu, menunggu, menunggu, ijin untuk menuliskan sekelumit tentang hijrahnya.
“Pasti karena postinganku soal syiah tadi siang ya,” todongnya, ketika saya minta ijin untuk menuliskannya.
“Lho kan masih banyak yang menganggapnya sebagai sebuah aliran saja. Tidak berbahaya,” kata saya.
“Kata siapa tidak berbahaya?” tukasnya meradang.
Hehehe, alhamdulillah. 
Sebenarnya saya juga ikut menunggu saat sampai mana dia berjalan, supaya saya bisa ikut mengetahui jawaban beberapa ghawzul fikri yang tak bisa didiskusikan dengan semua orang. Lumayaaan, belajar agama dengan lebih santai, ga perlu keluar rumah, kadang lewat chatting atau pas tukar menukar barang dagangan.

Untuk menjalani sebuah pilihan, sebenarnya kita selalu membutuhkan alasan kuat mengapa, supaya lebih mantap menjalaninya. Ketika nantinya menemui tantangan akan keberadaannya, kita masih sanggup untuk berdiri tegak di atas tanah yang kita pijak. Ikut-ikutan atau menurut tanpa sebab yang jelas, bukanlah alasan yang kuat untuk bertahan. 
Menyadari dunia yang semakin tua, adalah menyadari bahwa kita akan ikut lapuk di dalamnya, kecuali hal mutlak yang tak kasat mata yang tercatat dalam amalan.

“Menurut penelitian, usia kita ini, antara 30-40an adalah usia menuju kematangan spiritual, mulai menuntut diri untuk belajar lebih banyak tentang agama,” jelasnya.
Saya tercenung, waah, lama banget ya proses pemahaman saya yang sudah mengenal agama sejak usia sekolah dasar. Tak heran jika salah satu amalan keren adalah menghabiskan masa muda (remaja) untuk beribadah. Lalu jika usia ini adalah puncak kematangan spiritual, lalu apa sesudahnya, membentuk kurva yang seperti apa. Bisakah membayar carut marut dan kebodohan hari kemarin dengan kekhusyuan hari ini? Bisakah menebus semua dosa yang pernah sengaja dilakukan dengan ketaatan hari ini?

Namun kekuatiran itu (diusahakan) senyap perlahan begitu mengingat bahwa iman itu seperti mandi dan makan. Kita mandi dan makan setiap hari, beberapa kali dalam sehari, dengan kemungkinan sakit, tertular virus, terkena bakteri, dan penyakit lainnya. Kemungkinan juga mengalami bau badan ketika terjadi perubahan hormonal, juga ketika membersihkan ikan yang amis atau sering lewat penampungan sampah, juga ketika makan yang berbau tajam seperti bawang bersaudara. Kemungkinan juga sakit perut jika yang dimakan barang yang tak benar, haram, atau logisnya, tak sinkron dengan metabolisme tubuh. Tapi tetap kita harus mandi dan makan dengan dengan cara yang lebih baik, supaya bertahan hidup. Jika perlu, disambung dengan lulur dan facial sekali waktu dalam sebulan. Begitulah iman. Bukan berarti beragama itu cukup aman dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, namun juga tekun menjalani hingga mencari resonansi "milieu" yang tepat.


"Hijrah will not cease until repentance becomes useless; and repentance will not become useless until the sun rises from the West."
 
(Abu Dawud)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar