nama kerennya ular naga, saya menyebutnya krupukan :) |
Saya pernah
ingin menjadi anak-anak terus, supaya tak terlibat dalam urusan orang dewasa yang
begitu rumit, pelik, butuh banyak mikir. Enakan lihat kartun tiap hati, maen
lompat tali, kejar-kejaran sama ibu karena malas mandi, ups, hingga makan apa
aja tinggal minta duit ke ortu *abaikan, keinginan bodoh ini*
Makan es krim
sambil sembunyi karena dulu urusan jajan sangat ketat, tak ada persaingan merk chiki
macam jaman sekarang, juga karena duit yang sangat terbatas.
Tak hanya itu, karena
dulu suka banget dengan kartun Donal Bebek, saya juga pernah ingin di dunia
yang serba datar dan mulus hingga enak ditempati, tanpa tantangan dan halangan
yang berarti.
Saya juga sering
merasa pusing jika memikirkan sesuatu secara berlebihan dan segera mengimbanginya
dengan mencari guyonana bersama teman atau nonton kartun lucu.
Tak perlu memikirkan
bagaimana menjalani hubungan cinta, marahan, cemburu, emosi.
Di saat hari
raya, saya siapkan tas kecil untuk galak hampil ke tetangga seraya berharap segepok
uang dari kerabat yang pasti lebih banyak. Di akhir lebaran menuju saat masuk
sekolah, saya hitung duit lalu melenggang menuju sebuah toko demi mendapatkan
barang impian dengan uang hasil “kerja” saya selama beberapa hari dalam
setahun.
Menunggu
datangnya majalah Bobo seminggu sekali, untuk berebut atau bergantian dengan kakak saya. Ada saat saya mewek mewek mendapati bahwa majalah saya diloakkan dan dijualbelikan oleh
teman-teman yang rakus itu.
Pernah main bikin "adonan" dari tanah yang dicampur dengan air, meniru ala tukang masak begitu. Berdua dengan seorang teman, kami "mengolahnya" di teras rumah tetangga. Ibu tetangga itu hanya berkomentar betapa joroknya kami, namun beliau tak menghubungi orang tua saya demi perbuatan "kotor" di teras rumahnya.
Maiiiiin terus
sampai maghrib menjelang, sampai ibu mencari sembari marah-marah, ngomel
panjang lebar, tapi saya sama sekali tak dengar tuh, ibu bicara apa, hehehe….
Lihat seorang yang
menakutkan (wajahnya), saya akan lari sekencang mungkin menghindarinya. Padahal
tak ada yang salah dengannya, hanya tampangnya saja menakutkan, namun dia tak
pernah berbuat yang merugikan orang lain. Lihat ternyata ada keluarga jauh dari
pihak ibu ada yang lebih menakutkan, saya akan berteriak menangis dan dia akan
menjauh. Mereka akan memaklumi bahwa itu semua karena saya masih anak-anak. Bahkan
ketika saya lari menjauh dari rumah karena ngambek, kakak saya akan siap mengejar,
berusaha menyelamatkan saya dari ganasnya jalanan.
Sementara di
sekolah, jika ada guru yang tak beres, tinggal pilih berurusan dengan guru yang aman. Tak perlu lah sampai repot memperkarakan hingga orang tua turun tangan.
Ada juga teman yang keluarganya berantakan,
tapi berhubung dia dekat dengan banyak anak, dia baik-baik aja (semoga hingga
hari ini), tak ada yang membatasinya.
Sekarang…
Ada godaan jaman berupa
teknologi tanpa henti.
Ada sekat patembayan yang
memicingkan mata ketika anak-anak bergerak galak gampil.
Ada banyak zat beracun
dalam makanan.
Ada banyak “muatan” dewasa dalam kartun
anak-anak.
Main lama,
berbahaya, kemana aja dan ketemu siapa aja. Main dengan pakaian minim juga
mulai mengundang pikiran yang aneh.
Jika memilih
sekolah, dengan mencuatnya kasus pedofil, bukan lagi pelajaran dan pengajarannya bagaimana, mulai ada pilihan di mana letak
toiletnya, siapa dan bagaimana guru dan para pekerja di lingkungannya,
Masih SD bisa maen komputer, udah kelihatan keren banget. Sekarang, balita aja bisa maenan tab.
Anak-anak TK sudah mulai dikenalkan pada banyak les, waktu bermain dibatasi, bahkan halaman rumah pun sempit, hanya cukup untuk mobil dan tumpukan mainan bermerk.
Jika keluar tak memakai sandal atau mainan pasir, siap-siap aja mendengar teriakan orang tuanya, "becek, kotor, cacingan, bla bla bla..."
Kita memang tak bisa memilih jaman harus menjadi seperti kita dulu. Itu semua keputusan pribadi kok, mau mengikuti perubahan yang semakin bervariasi yang berimbas menyempitnya interaksi fisik yang sosial atau mau membuat alur perubahan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar