gambar dari sini |
Imagination is more important than knowledge.Education is what remains after one has forgotten what one has learned in school.(Albert Einstein)
“….. duluuu,
jaman kita masih pada kecil, tanaman hanya dipanen sekali dalam setahun.
Sekarang, tanaman bisa dipanen hingga tiga kali dalam setahun. Kok bisa? Ya
pakai obat-obatan yang bisa mempercepat pertumbuhannya…..” cerita seorang ibu,
seorang agen produk organic yang sedang promosi bakulannya.
Sambil
kejar-kejaran dengan anak-anak, saya hanya bisa sedikit menyimak. Lalu
memikirkan kenapa itu bisa terjadi ya. Padahal jika dipikirkan lebih mendalam, kurang
apa sih Indonesia ini, dijajah sampai sekian ratus tahun hingga nekat
proklamasi kemerdekaan meski hanya beberapa Negara yang mengakuinya, tambangnya
dikeruk habis-habisan hingga bisa menghidupi sebagian rakyat negara lain,
kebakaran hutan berkali-kali, illegal logging, pencurian kebudayaan, dan masih
banyak lagi; yang anehnya belum membuat kita “terlihat” melarat. Masih bisa
anteng ayem nonton acara gossip di tv hingga bikin acara debat professional,
dengan dalih menemukan solusi masalah bangsa.
Simak obrolan
lugu dua anak TK berikut ini,
“Aku mau jadi
Ultraman kalau gede nanti,”
“Eh, tak boleh
punya cita-cita kayak gitu. Cita-cita itu ya jadi dokter, pilot, insinyur,…”
“Biarin, pokoknya
aku mau jadi Ultraman,” katanya bersikukuh, dan mereka kembali melanjutkan permainan
perang-perangan.
Begitulah,
gambaran cita-cita dalam benak anak-anak. Ga nyalahin, saya sendiri juga gitu
kok. Rasanya waktu sekolah dulu, kerja ya jadi dokter, perawat, pilot, dan
semacamnya yang termasuk ngawulo. Tak ada kok yang bercita-cita jadi tukang bakso
atau tukang bubur, meskipun dalam segi pendapatan bisa jadi mereka lebih besar.
Memang, pendidikan formal kita tidak mencetak penemu, inisiator, pionir, namun
mencetak kawulo, pengikut, pekerja.
“Semua anak
harus bisa menggambar. Bangsa yang terbiasa menggambar, akan menjadi bangsa
pencetus, jika tak bisa, maka hanya akan menjadi bangsa penyontek,” kata Dik
Doank, yang aktif dengan Kandank Jurangk Doanknya.
Mendadak saya
mikir, saya tak bisa menggambar tuh. Tiap kali disuruh menggambar, selalu saja
menggambar sawah dengan centang, gunung, lalu jalan yang berkelok. Pokoknya
pelajaran seni itu momok buat saya. Juga pelajaran olahraga yang selalu bikin
trauma dan deg-degan, karena saya tak mahir urusan olah tubuh. Memang sih, berguna
untuk kesehatan, tapi kalau demi mengejar nilai sampe adem panas, huaah. Begitu
lulus sekolah, satu hal yang membuat saya bahagia adalah tak ada lagi pelajaran
olahraga dan menggambar.
Ingin rasanya
melihat seorang guru berdiri di depan kelas dan bertanya,
“Siapa ingin
jadi seperti Bob Sadino?”
“Siapa ingin
jadi seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg?”
“Siapa ingin
jadi petani?”
“Siapa ingin
hidup di Kalimantan dan tinggal di hutan
bersama banyak hewan dan melestarikannya?”
“Siapa mau jadi
penambang?”
“Siapa mau jadi
kontraktor bangunan?”
Begitu terjun ke
dunia kerja, buanyak sekali profesi yang tak dikenalkan di masa sekolah, halal,
dan bahkan bisa menghasilkan pundi-pundi hingga puluhan juta rupiah setiap
bulannya. Kenyataan lagi, tak semua dokter berhasil untuk mendapat kerja
praktek dan langsung kaya, dan sebagainya. Bahkan ada yang bilang profesi guru
itu tidak menjanjikan gaji besar. Belum lagi sebuah doktrin dari para sesepuh
yang mendambakan anaknya menjadi pegawai negeri, dengan alasan mendapatkan
pension dan ayem di hari tuanya.
Apabila engkau bekerja dengan sungguh-sungguh, berarti engkau memenuhi sebagian cita-cita itu yang pada hakikatnya engkau mencintai kehidupan -Kahlil Gibran-
Working is not
only about price, it is also about value.
Lihat bagaimana
tentara Inggris menunaikan kewajibannya dengan berdiri tegak selama sekian jam,
atau polisi Jepang yang rela berjibaku dengan salju demi kenyamanan warga dan
tidak bersedia menerima tips. “Pembentukan hati” itu bukan sekali jadi, itu
butuh proses dalam bertahun-tahun, melalui penanaman berulang dan konsisten,
melalui komunitas legal yang diakui dan lingkungan yang bersinergi.
Sebuah
perusahaan media ternama di Indonesia
yang bisa bertahan hingga puluhan tahun dengan gaya sama yang sangat khas dan evergreen,
mengungkapkan bahwa nilai utama yang mereka utamakan pada pencarian karyawan
adalah integritas kejujuran. “Ilmu bisa dipelajari dan dicari, namun akhlak itu
membentuknya butuh waktu bertahun-tahun,”.
Jadi seberapa besar
cinta kita dengan pekerjaan yang kita jalani ini, sehingga kita bisa memancarkan
sebuah citra regenerasi yang baik. Semua memang harus dimulai dari keluarga,
tentang bagaimana masing-masing orang tua menanamkan berbagai jenis nilai
kehidupan kepada anak-anaknya. Bisa saja petani mencintai pekerjaanya dan meminta
anaknya menjadi petani, demi meneruskan usaha keluarga misalnya. Namun mereka
harus terhambat dengan (lagi-lagi) kebijakan impor yang membunuh swadaya dalam
negeri. Tak hanya itu, pengkotakan profesi, atau pengenalan profesi yang tak
beragam kepada anak-anak usia sekolah dasar, membuat mereka memiliki batas
dalam bermimpi.
Anak-anak itu
harapan kesinambungan bangsa. Saya pikir, anak-anak memang harus dikenalkan
dengan berbagai jenis profesi, sejak dini, daripada harus berkutat dengan
pelajaran teoretis yang pada akhirnya tak dipakai, hanya buang uang dan waktu
saja. Pengenalan itu sebagai bentuk usaha regenerasi, bahwa masih banyak
lapangan pekerjaan yang membutuhkan boss maupun tenaga kerja. Masih banyak
tanah di pelosok negeri yang belum terjamah kemajuan dan peradaban. Bahkan,
menurut Trinity, ada banyak pulau perawan, yang entah bagaimana ceritanya,
sudah dimiliki orang asing sebagai tempat menyepi dari bingar.
Jangan melulu
menyalahkan pemerintah deh, mereka terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Saatnya
kita juga ikut bergerak demi masa depan anak-anak kita sendiri. Mari siapkan mereka untuk memahami dengan melihat langung, mengalami, hingga memampukan mereka untuk menjalaninya sendiri.
If money is your hope for independence you will never have it. The only real security that a man can have in this world is a reserve of knowledge, experience, and ability.
- Henry Ford
Tidak ada komentar:
Posting Komentar