Jumat, 30 Mei 2014

Cita-cita


gambar dari sini
 
Imagination is more important than knowledge.
Education is what remains after one has forgotten what one has learned in school.
(Albert Einstein)


“….. duluuu, jaman kita masih pada kecil, tanaman hanya dipanen sekali dalam setahun. Sekarang, tanaman bisa dipanen hingga tiga kali dalam setahun. Kok bisa? Ya pakai obat-obatan yang bisa mempercepat pertumbuhannya…..” cerita seorang ibu, seorang agen produk organic yang sedang promosi bakulannya.
Sambil kejar-kejaran dengan anak-anak, saya hanya bisa sedikit menyimak. Lalu memikirkan kenapa itu bisa terjadi ya. Padahal jika dipikirkan lebih mendalam, kurang apa sih Indonesia ini, dijajah sampai sekian ratus tahun hingga nekat proklamasi kemerdekaan meski hanya beberapa Negara yang mengakuinya, tambangnya dikeruk habis-habisan hingga bisa menghidupi sebagian rakyat negara lain, kebakaran hutan berkali-kali, illegal logging, pencurian kebudayaan, dan masih banyak lagi; yang anehnya belum membuat kita “terlihat” melarat. Masih bisa anteng ayem nonton acara gossip di tv hingga bikin acara debat professional, dengan dalih menemukan solusi masalah bangsa.

Simak obrolan lugu dua anak TK berikut ini,
“Aku mau jadi Ultraman kalau gede nanti,”
“Eh, tak boleh punya cita-cita kayak gitu. Cita-cita itu ya jadi dokter, pilot, insinyur,…”
“Biarin, pokoknya aku mau jadi Ultraman,” katanya bersikukuh, dan mereka kembali melanjutkan permainan perang-perangan.
Begitulah, gambaran cita-cita dalam benak anak-anak. Ga nyalahin, saya sendiri juga gitu kok. Rasanya waktu sekolah dulu, kerja ya jadi dokter, perawat, pilot, dan semacamnya yang termasuk ngawulo. Tak ada kok yang bercita-cita jadi tukang bakso atau tukang bubur, meskipun dalam segi pendapatan bisa jadi mereka lebih besar. Memang, pendidikan formal kita tidak mencetak penemu, inisiator, pionir, namun mencetak kawulo, pengikut, pekerja.

“Semua anak harus bisa menggambar. Bangsa yang terbiasa menggambar, akan menjadi bangsa pencetus, jika tak bisa, maka hanya akan menjadi bangsa penyontek,” kata Dik Doank, yang aktif dengan Kandank Jurangk Doanknya.
Mendadak saya mikir, saya tak bisa menggambar tuh. Tiap kali disuruh menggambar, selalu saja menggambar sawah dengan centang, gunung, lalu jalan yang berkelok. Pokoknya pelajaran seni itu momok buat saya. Juga pelajaran olahraga yang selalu bikin trauma dan deg-degan, karena saya tak mahir urusan olah tubuh. Memang sih, berguna untuk kesehatan, tapi kalau demi mengejar nilai sampe adem panas, huaah. Begitu lulus sekolah, satu hal yang membuat saya bahagia adalah tak ada lagi pelajaran olahraga dan menggambar.

Ingin rasanya melihat seorang guru berdiri di depan kelas dan bertanya,
“Siapa ingin jadi seperti Bob Sadino?”
“Siapa ingin jadi seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg?”
“Siapa ingin jadi petani?”
“Siapa ingin hidup di Kalimantan dan tinggal di hutan bersama banyak hewan dan melestarikannya?”
“Siapa mau jadi penambang?”
“Siapa mau jadi kontraktor bangunan?”

Begitu terjun ke dunia kerja, buanyak sekali profesi yang tak dikenalkan di masa sekolah, halal, dan bahkan bisa menghasilkan pundi-pundi hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya. Kenyataan lagi, tak semua dokter berhasil untuk mendapat kerja praktek dan langsung kaya, dan sebagainya. Bahkan ada yang bilang profesi guru itu tidak menjanjikan gaji besar. Belum lagi sebuah doktrin dari para sesepuh yang mendambakan anaknya menjadi pegawai negeri, dengan alasan mendapatkan pension dan ayem di hari tuanya.


Apabila engkau bekerja dengan sungguh-sungguh, berarti engkau memenuhi sebagian cita-cita itu yang pada hakikatnya engkau mencintai kehidupan -Kahlil Gibran-

Working is not only about price, it is also about value.
Lihat bagaimana tentara Inggris menunaikan kewajibannya dengan berdiri tegak selama sekian jam, atau polisi Jepang yang rela berjibaku dengan salju demi kenyamanan warga dan tidak bersedia menerima tips. “Pembentukan hati” itu bukan sekali jadi, itu butuh proses dalam bertahun-tahun, melalui penanaman berulang dan konsisten, melalui komunitas legal yang diakui dan lingkungan yang bersinergi.

Sebuah perusahaan media ternama di Indonesia yang bisa bertahan hingga puluhan tahun dengan gaya sama yang sangat khas dan evergreen, mengungkapkan bahwa nilai utama yang mereka utamakan pada pencarian karyawan adalah integritas kejujuran. “Ilmu bisa dipelajari dan dicari, namun akhlak itu membentuknya butuh waktu bertahun-tahun,”.

Jadi seberapa besar cinta kita dengan pekerjaan yang kita jalani ini, sehingga kita bisa memancarkan sebuah citra regenerasi yang baik. Semua memang harus dimulai dari keluarga, tentang bagaimana masing-masing orang tua menanamkan berbagai jenis nilai kehidupan kepada anak-anaknya. Bisa saja petani mencintai pekerjaanya dan meminta anaknya menjadi petani, demi meneruskan usaha keluarga misalnya. Namun mereka harus terhambat dengan (lagi-lagi) kebijakan impor yang membunuh swadaya dalam negeri. Tak hanya itu, pengkotakan profesi, atau pengenalan profesi yang tak beragam kepada anak-anak usia sekolah dasar, membuat mereka memiliki batas dalam bermimpi.

Anak-anak itu harapan kesinambungan bangsa. Saya pikir, anak-anak memang harus dikenalkan dengan berbagai jenis profesi, sejak dini, daripada harus berkutat dengan pelajaran teoretis yang pada akhirnya tak dipakai, hanya buang uang dan waktu saja. Pengenalan itu sebagai bentuk usaha regenerasi, bahwa masih banyak lapangan pekerjaan yang membutuhkan boss maupun tenaga kerja. Masih banyak tanah di pelosok negeri yang belum terjamah kemajuan dan peradaban. Bahkan, menurut Trinity, ada banyak pulau perawan, yang entah bagaimana ceritanya, sudah dimiliki orang asing sebagai tempat menyepi dari bingar.

Jangan melulu menyalahkan pemerintah deh, mereka terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Saatnya kita juga ikut bergerak demi masa depan anak-anak kita sendiri. Mari siapkan mereka untuk memahami dengan melihat langung, mengalami, hingga memampukan mereka untuk menjalaninya sendiri.


If money is your hope for independence you will never have it. The only real security that a man can have in this world is a reserve of knowledge, experience, and ability.
- Henry Ford

Tidak ada komentar:

Posting Komentar