Rabu, 07 Mei 2014

"Wisata" ke Dokter Gigi




Entah karena ada keturunan gigi-gampang-keropos, atau karena saya pernah doyan coklat, atau karena saya wanita, atau karena yang lain, gigi saya mengalami pembolongan dan intimidasi para kuman dalam bentuk lain, sehingga saya berganti hingga lebih dari 10 dokter gigi di berbagai kota yang berbeda. Sebut saja mulai dari gigi berlubang, gusi bernanah, tambalan copot, gigi palsu, dan yang termahal dalam sejarah pergigian yaitu implant, hmmm, tidak pernah, hehehe… Mahal amit-amit, satu gigi aja paling murah 7.5 juta. Tambah sedikit lagi, sudah dapat motor kan.

Bolak balik berhadapan alat jagal dan juga berbagai macam karakter dokter dan menghabiskan sekian juta rupiah kalo ditotal, saya mau berbagi sedikit tips untuk yang mau ke dokter gigi. Dokter gigi memang menakutkan, tapi harus tetap ditemui bagaimanapun caranya, entah itu pakai tutup mata atau pakai obat penenang, bius local dan sebagainya. Karena sekali saja fatal, bisa berimbas pada gigi lain yang masih bagus. Semua mengandung resiko, memang. At least, minimalkan resiko itu.

Persiapan Pribadi
Rajin membersihkan gigi dengan benar. Kalau mau tahu caranya, silakan google ya. Saya sudah coba banyak cara, dengan yang benar sekalipun, namun tak juga menemukan alasan kenapa lubang gigi tetap banyak :(

Jika takut bertemu dengan dokter gigi, minta bantuan orang terdekat, atau bikin perjanjian dengan dokter yang bersangkutan untuk bekerjasama. Bolak balik berurusan dengan bor, saya tak pernah curious seperti apa itu bor dan bagaimana kerjanya. Itu cukup menolong untuk memberanikan diri kembali ke dokter gigi.


Tempat Praktek
Carilah tempat praktek yang sebisa mungkin tidak bersatu dengan rumah sakit atau poli, jika memerlukan penanganan gigi yang serius seperti tambal, bernanah, gigi palsu, dan sebagainya. Pertimbangannya, penanganan jadi kurang maksimal. Jika harus kembali untuk penanganan lanjutan, bisa saja dirujukkan pada seadanya dokter, yang belum tentu sama dengan dokter yang menangani awal. Some say, doctor’s (any kind) work is an art.

Cari tempat praktek dokter di kota besar. Mereka punya banyak pesaing, sehingga pasti pelayanannya lebih bagus supaya dapat terus bertahan. Selain pelayanan bagus, ilmunya juga jauh lebih update. Saya pernah punya gigi yang nampak bagus tapi terasa sakit. Saya bawa ke dokter cantik, “Giginya bagus kok, tak apa, disikat aja yang rajin ya.” Pulang dari sana, masih pengen marah-marah karena sakitnya minta ampun. Cari dokter yang lain, tanpa babibu, langsung dibor dan ditemukan bahwa bakterinya berkembang di dalam badan gigi dan gigi tak bisa dipertahankan. Soal penanganan ini juga tergantung dokternya ya, ada yang menyarankan dipertahankan dengan resiko duit akan lebih banyak, ada yang menyarankan langsung dihabisi.

Jika sudah di depan praktek, lihat apakah dokternya memiliki asisten yang mengurusi administrasi pasien. Jika tak ada, masih bisa dimaafkan asalkan beliau memiliki asisten yang membantunya bekerja dalam tempat praktek. Mengapa? Karena tetek bengeknya dokter gigi itu banyak banget dan serba mungil, seperti mata bor, jarum suntik, salep penambal, kaca, sinar untuk menambal, alat penyedot iler, dan apapun itu saya tak tahu nama kerennya. Jika tak ada yang membantunya, bisa dibayangkan bagaimana repotnya si dokter, berapa banyak waktu anda terbuang untuk mulut menganga percuma, hingga tidak maksimalnya penanganan. Hal paling menyebalkan yang pernah saya alami adalah satu kursi beda perawatan. Jadi ketika saya memerlukan sekian jenis perawatan, saya mesti berkali-kali pindah kursi “spesifikasi” dengan memegangi kapas di mulut. Eh, hasil kerjanya bikin emosi pulak, grrrr, tambalan lepas dalam waktu beberapa hari saja.

Jangan terkecoh dengan pasien yang banyak. Dokter dan pasien itu berjodoh ya, jodoh saya belum tentu jodoh anda. Dokter itu bukan warung makan yang sudah pasti enak jika banyak pelanggannya. Saya pernah beberapa kali ke dokter yang pasiennya banyak dan sedikit dan itu bukan ukuran kualitasnya sebagai dokter yang baik. 

Pastikan dokternya memakai sarung tangan dan masker, sebagai bentuk penghargaan terhadap kebersihan.   

Siapa Dokternya?
Dokter pria atau wanita tak masalah sebenarnya. Secara keseluruhan, saya lebih suka ditangani dokter pria. Kebanyakan dari mereka menangani dengan total, ada yang total baik dan ada yang total biayanya tinggi sekali saking totalnya. Hahaha.

Teslah si dokter dengan kondisi anda yang paling bobrok. Misalnya “Aduh gigi saya beranak banyak, aduh tambalan saya kok warnanya jadi ijo ya.” Jangan hanya sekali aja, tiap kali datang tes aja dengan masalah anda. Hehehe, tapi masalah beneran ya, bukan bohongan seperti contoh saya tadi. Jika beliaunya tak tahan, bisa saja muncul komentar yang menyatakan betapa malangnya anda, betapa malasnya dia menangani bagian yang bukan dari kerjanya, dan sebagainya. Biasanya sih, kali pertama sudah langsung kelihatan bagaimana dedikasi dokter terhadap pekerjaannya. Dokter akan diam saja dan segera bekerja memeriksa bagian mana yang perlu ditangani. Seandainya perlu mengatakan sesuatu, beliau akan mengatakan yang benar-benar harus dikatakan. Urusan gigi itu sensitive lho. Benar juga nasehat seorang psikolog, bahwa dokter dalam bidang apapun juga perlu mempelajari ilmu psikologi.  

Seperti halnya kelahiran, ada pilihan untuk normal dan operasi. Dalam pencabutan gigi juga hampir sama, ada cabut normal, cabut kompleks, hingga operasi. Ada akar gigi yang menancap kuat sehingga memerlukan beberapa kali usaha pencabutan. Tak mau repot, bisa aja sobek dan jahit. Dokter inilah yang berusaha untuk mencabut sekuat tenaga atau malah main iris saja.


Biaya
Biaya itu memang hal yang tak bisa di hindari dalam urusan gigi, alias udah pasti banyak. Jika giginya banyak bermaslaah seperti saya, sebaiknya mulai memutuskan untuk memiliki dokter langganan, yang bisa diajak untuk membuat perencanaan bersama. Tapi ini ya gampang-gampang susah ya. Pernah dapat dokter bagus dan lumayan terjangkau, lha kok cepat meninggal. Pernah dapat bagus lagi, tapi mahalnya amit-amit.

Sebaiknya sih, tak hanya dokter yang bekerja tapi kita juga. Cari referensi yang banyak, supaya bisa mempertahankan gigi dengan perawatan sendiri, yang minim resiko. Almarhum dokter langganan saya itu selalu menyarankan rajin kumur dengan air rebusan daun sirih. Contoh nyata, nenek-nenek di kampong yang suka mengunyah sirih, meski merah kan giginya kuat, tinggal dua tetap aja tinggal dua sampai akhir hayat.

Penting juga untuk menyerahkan keputusan pada dokter gigi yang lebih tahu mana yang paling urgen untuk ditangani. Jika dokternya tak berkenan diajak kerjasama, ya sudah sebaiknya jangan balik lagi. Seorang dokter, tiap kali datang selalu mengeluh, yang gigi saya jelek lah, yang dia tak mau memperbaiki kerjaan dokter dulu lah, dan sebagainya. Well, dokter juga manusia, tapi ada juga dong saatnya benar-benar profesional, karena sebagai pasien kita kan bayar, tidak minta gratisan. 

Begitulah sebagian kecil yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat. Silakan ubek-ubek judul lain tentang dokter gigi, untuk mengetahui serba-serbinya. Jangan lupa enam bulan sekali, jadwalkan kunjungan ya. Demi kesehatan anda :)

gambar dari id.gofreedownload.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar