Kamis, 24 April 2014

Celoteh Uma

posisi foto konvensional, pegang pipi, say "cheese"

‘Huaaaa, huaaa, dipukul kakak” tangis Uma, lapor kepada saya yang lagi mencuci piring.
Well, sibling fight is a common thing. It sometimes makes you wanna go out of the house.
Saya menghela napas panjang, itu sudah yang kesekian kalinya, dan cerdiknya kakak yang selalu mengambil kesempatan ketika saya lengah atau tak ada bersama mereka. Oh, anak lelaki…
“Kakak itu selalu ya… sudah, besok kita taruh kakak di asrama ya, biar ga nakal lagi,” tukas saya (pura-pura) geram.
Uma menghentikan tangisnya.
“Jangan,”
“Kenapa?”
“Kakak ga boleh pergi, Ayah enggak, Bunda enggak, Uma enggak,” katanya memastikan semua anggota keluarga kami tetap berada dalam satu kesatuan.
“Biar Uma ga dipukuli terus” kata saya menantang daya tahannya.
Emak yang aneh, jangan ditiru.
Dia tetap bersikukuh, menggelengkan kepala, belum sanggup memberikan jawaban yang jelas.
“Semua di rumah ini,” katanya kembali menegaskan tanpa alasan.

+++

Suatu ketika Ken bikin ulah, minum teh, lalu menyemburkannya ke sebagian besar teras, bikin licin, begitu sudah kering bikin lantai pliket. Saya ngomel dengan panjang kali lebar kali tinggi, seraya membuatkan susu untuk mereka. Uma sedang syahdu menikmati susunya di meja makan.
“Bunda bahagia?” tanyanya tiba-tiba.
Saya merasa aneh, menjawab pertanyaannya masih dalam nada marah,
“Ya bahagia, tapi kalo kakak bikin marah gini bla bla bla…”
“Bunda bahagia?” dia sepertinya tak peduli dengan penjelasan panjang saya. Ya iya lah kan emang belum bisa menangkap jawaban panjang.
“Ya bahagia,” terpaksa saya jawab demikinan karena saya tak mau melanjutkan amarah negatif dan berusaha konsisten dengan ajaran saya sebelumnya bahwa saya bahagia memiliki mereka berdua.
Uma tersenyum,”Uma juga bahagia.”

+++

Dua lelaki dan dua ego yang harus dibagi, entah bagaimana dan terkadang saya hanya bisa marah tak jelas. Hahaha, kerjaan yang wanita banget, ngomel melulu. Meski kalo kepanjangan saya juga risih. Gimana ga risi, yang diomelin cuek aja, lempeng aja..
“Bla bla bla…” omel saya seraya memberesi baju yang baru disetrika, sementara mereka sibuk bermain di ruang tengah. Sedikit membanting pintu hingga Uma datang.
“Bunda marah ke Ayah?”
“Ya.”
“Bunda marah ke kakak?”
“Ya.”
Lalu saya melanjutkan lagi omelan ke sana sini.
“Bunda, maafkan ke ayah ya” katanya dengan struktur bahasa yang kacau.
“Buat apa? Bla bla bla…” kata saya emosi.
“Bunda maafkan ke ayah ya,” katanya lagi memohon.
Saya tak sanggup meneruskan marah, rasanya bukan saya lagi yang harus memberinya pelajaran tapi dia yang sedang memberi pelajaran pada saya.

+++

“Bunda kuperiksa ya,” katanya seraya bergaya memasangkan stetoskop berupa tali yang bentuknya sama, ke badan saya.
“Bunda sakit apa ya?” tanya saya penasaran.
“Sakit hati,” saya terbahak, hampir saja setrika lepas dari pegangan karena tak kuat menahan tawa.
“Nih obatnya, diminum ya,” katanya seraya menyerahkan botol mainannya yang berwarna merah muda.
“Cepat sembuh ya,”   

+++
tuh kan, di mana pun, kamera siap, cheese...

Belakangan dia sering memaksa saya untuk mendongeng, berkali-kali dalam sehari, lalu mengatakan dengan sedikit mengeluh,
“Aku lho belum bisa cerita seperti mbak Risa.”
“Ya nanti pasti bisa, kan memang mbak Risa lebih besar,” hibur saya.
Risa yang lebih tua setahun, memang memiliki kemampuan belajar lebih, sudah bisa baca dan sedikit menulis. Saya sih lempeng aja, cuek aja, waktu si ibu membanggakannya.  
Saya tak terlalu menuntut dan memaksa anak-anak harus bisa apa. Bikin gambar aja masih kacau, bicara masih sering belepotan, emosi masih naik turun semaunya sendiri, mau dituntut apa coba. Uma sendiri yang seringkali merasa harus lebih dewasa dengan mengatakan dia tak bisa ini dan itu.
“Aku belum bisa kayak Bunda,” keluhnya ketika melihat saya bersiul. Padahal ya sekedar bersiul, bukan berbentuk nada lagu.
“Bunda dulu waktu seusia Uma juga belum bisa bersiul, uda tua baru bisa. Uma mau tua duluan?”
Dia menggeleng sambil tersenyum.
 “Nanti aku pasti bisa ya, bunda” katanya menyemangati dirinya sendiri.
“Tentu saja”

+++

“Uma kalau besar pengen jadi apa?”
Dia belum tahu konsep pekerjaan. Hanya tahu ayah ke kantor tapi sepertinya tak ingin seperti ayahnya yang selalu ditanyakan kapan pulang dan sering pulang malam.
“Jadi dokter?”
Dia menggeleng.
“Kerja di kantor kayak ayah?”
Dia menggeleng lagi.
“Jadi penulis?”
Matanya berbinar lalu menggangguk,”Ya kayak bunda”
Emaknya ge er, padahal buku antologi melulu dan ceriwis ngisi blog.
Di waktu lain saya akan mengulang pertanyaan itu, dia memiliki jawaban yang mencengangkan,
“Mau jadi Uma”
Hahaha, ternyata dia jauh lebih pe de daripada orang tua yang sibuk memikirkan jadi siapa ya kalo kita reinkarnasi nanti, harus lebih baik, harus begini, harus begitu...

Rabu, 23 April 2014

Well informed, mmm, well conformed?




Jaman biyen (eh, kapan itu ya...), kalau habis dapat informasi yang dibaca di sebuah laman, yang menarik, inspiratif, dan sebagainya, hasrat untuk share selalu menggebu-gebu. “Orang-orang harus tahu nih”. Jaman sekarang, masih mesti mikir dulu, bikin kontroversi ga, sumber bener ga, penting ga, ya udahlah, dinikmati aja sendiri, kalau ada yang udah share duluan, monggo aja, nunut baca lebih enak.  

Media kan punya ”agama”, jadi ritual yang harus diikuti ya berbeda-beda satu sama lain. Yang lebih berbahaya lagi jika kita memiliki sebuah curiosity yang berlebihan yang bisa menuntun kita kemanapun, yang tiba-tiba tak terduga, hehehe… Lhadalah begitu baca dari sumber lain, ternyata apa yang anda ketahui itu adalah (mungkin) salah dan tak sesuai dengan kenyataan. So, what should you do then?

Dalam sinkronisasi informasi itu, pada akhirnya kita memang membutuhkan penguatan dari sumber lain secara fisik, seperti ahli yang kita temui atau bahkan buku usang yang ternyata menyimpan berjuta informasi penting. Namun seringkali penyibukan diri oleh aktivitas beragam, membuat kita sering melakukan jalan pintas, dengan cara mencari informasi lain, cukup dengan satu jari ;). Kiblatnya memang bisa berbeda dan itu tergantung dari “kelihaian” kita untuk mencerna mana yang harus diikuti dan mana yang tidak.

Baca dan endapkan, cari info lagi, baru nilai. Ada banyak istilah antara lain seperti media darling, yang bahkan tak akan ditemui di media cetak sekalipun. Bahkan ketika banyak aliran baru membesar, ada banyak media yang sebenarnya berperan merawatnya ketika aliran itu masih menjadi anak-anak.
 
Saat ini, ga jelas mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan dalih memberikan fakta, kehadiran media dengan “agama”nya yang beragam malah membuat semakin ketakutan, kebingungan, kekuatiran. Huaa, kena juga deh, kelekatan sifat gender wanita, yang seringkali jadi target pertama dan utama.

Saking sibuknya dengan arahan yang ujung-ujungnya ke freemason atau illuminati (hehehe, I was there too), ada banyak kemungkinan.

Bisa aja memang konspirasi, yang dilakukan pelan-pelan, agar semua terbiasa dan menganggapnya wajar atau bahkan guyonan, hingga datanglah gongnya, entah apalah itu.

Bisa juga sesuatu yang menunggangi nama atau penokohan konspirasi utama, but a completely different one. Numpang beken aja gitu. Seperti halnya dalam film superhero, selaluuu aja ada musuh yang harus dibasmi (eh, namanya juga film ya). Bisa aja kan musuhnya ini numpang beken dengan menantang si superhero. Coba lihat The Incredibles, superhero baru bernama Syndrome muncul, dengan cara menghabisi semua superhero yang pernah ada. Begitu Syndrome sudah dihabisi, muncul lagi yang baru, ga tahu siapa yang kemudian berhasil menjadi everyone's darling.   

Bisa juga memang begitu adanya, tapi karena kebanyakan wacana dari berbagai sumber, akhirnya yang beneran jadi terkaburkan. Nah lho…

Saking luasnya, saking banyaknya orang, saking kayanya, saking beragamnya, jadinya kok kita (Indonesia) ini kayak diadu domba. Jangankan urusan yahudi, urusan pemilu aja bisa saling sikut-menyikut. Kalo jaman biyen lagi, lihat tipi sambil ngemil. Kalo jaman sekarang, mantengin hape, sambil ngemil, siapa lagi nih yang rame, rame apaan lagi nih.

Tak ada tulisan yang murni bebas misi dan bebas nilai, atau bahkan netral. Sebenarnya dari dulu saya juga males berurusan dengan politik, tapi mau tak mau wajib juga sebagai warga negara, sebagai bentuk ikhtiar karena semua orang sudah bawa golok, badik, rencong, samurai, keris, pedang, maksudnya semua tak memiliki senjata yang sama. Ini bahaya, karena kita tak memiliki superhero, entah itu berupa Google V atau Pandawa Lima.  

Baca pada akhirnya untuk tertawa karena banyak informasi yang simpang siur, dilebih-lebihkan dan dikurangi sesuai dengan kebutuhan. Bukan lagi tentang baik dan buruk, benar dan salah, tapi tentang siapa sih yang berkuasa, paham apa yang ingin diberikannya, ditanamkannya.

Hati-hati dengan share ya, lebih baik telaah dulu, kita juga butuh analisa pribadi.
Setuju dengan seorang teman, "Udaaah, share yang lucu-lucu aja". 

gambar dari firstlightonline.co.uk

Sabtu, 19 April 2014

Hamil itu .....


 
“Pa, mama hamil lagi ya?” pinta seorang ibu pada suaminya.
“Kenapa ma, kan anak kita belum segenap setahun,”
“Ya biar papa sayang terus sama mama. Kan kalo lagi hamil, mama disayang terus.”
Hehehe, bukan tentang saya, tapi nyomot cerita teman. Di dalam keluarga, ibu hamil itu dijaga bener dan disayang-sayang. Di lingkungan umum, ibu hamil memiliki banyak pemaafan dan pemakluman. Ga suka mandi, males-malesan, ga suka makan karena mual terus, tiba-tiba suka makan di warung, suka makan pedas tapi ga habis, suka bau ketek suami, minta makan sambil ngelus kepala gundul, dan banyak lagi keanehan ibu hamil, yang sering dialihkan kepada “bawaan jabang bayi”. Kasihan ya bayinya, belum lahir udah dituduh macam-macam.

Dua kali hamil saya merasa bahwa bawaan bayi itu memang beda, meski alhamdulillah ga ada yang aneh-aneh banget. Bayi pertama udah pasti manjanya minta ampun karena ditunggu-tunggu. Sedangkan hamil kedua, karena jaraknya lumayan dekat, jadi ya agak ditutup-tutupi karena malu, hehe… Padahal sudah dan masih sah lho, sebagai suami istri. Sempat kucing-kucingan sama teman sekantor, baru ngaku setelah hampir lima bulan, karena mulai mecungul kelihatan.

Ketika mengunjungi bapak teman yang sedang sakit, tiba-tiba saya merasa mual dan meninggalkan ruangan. Ibunya bertanya pada teman saya yang lain,
“Lagi isi ya, kok mual terus?”
An ordinary question actually.
Teman-teman saya yang tahu langsung aja, rebutan bicara demi menutupinya. Saya meminta mereka menjaga rahasia sampai saya siap bikin konferensi pers, halah…
“Oh enggak bu, masuk angin aja kok,”
“Oh iya tadi belum makan siang,”
“Ada maag,”
Hihihi, saya berterimakasih sekali pada mereka yang bersedia bersusah payah menutupinya. Wanita hamil kan harus berusaha berperilaku baik juga, demi si jabang bayi, pada akhirnya saya tetap mengatakan yang sebenarnya, dengan kunci yang sama, “Jangan bilang yang laen dulu ya…”
Lagipula, mana bisa menutupi sebuah rahasia kehamilan dari ibu (manapun), yang nalurinya sudah tergembleng sekian belas atau puluh tahun.  Coba deh, tes aja beberapa wanita yang hamil dan tidah hamil dengan penampakan fisik yang belum berubah. Ibu-ibu kita pasti akan dengan mudah mengetahui siapa yang hamil dan siapa yang tidak. Bahkan di usia yang belum matang benar, seorang ibu sudah curiga.
“Kok wajahnya pucat ya, jangan-jangan lagi isi ya.”

Hamil anak kedua yang berdekatan, situasi keluarga yang belum stabil antara lain gonta-ganti pembantu, dan banyak lagi, membuat saya bersusah payah menjaga mood sendiri. Mood yang stabil dan selalu bahagia adalah sekian kondisi mental yang harus lebih banyak dipersiapkan. Kadang bisa, kadang datang ke kantor dengan mata sembab, hehehe. Yaaah, namanya usaha, mempertahankan diri itu banyak tantangannya. Syukurlah, secara keseluruhan, lumayan berhasil sampai kelahiran si jabang bayi.

Masih nekat wara wiri naek motor kemana-mana, karena demi mobilitas dan juga ngirit biaya. Waktu itu si kakak masih dititipkan disana sini, sehingga naek motor adalah transportasi termudah dan termurah untuk mencapai tujuan. Masih dengan kecepatan kura-kura, menembus jalanan Surabaya yang kadang  demikian padat dan rumit. Lagi-lagi, memang tergantung calon jabang bayi juga, sesuatu yang ga terduga.

Suatu hari saya mesti mengunjungi si kakak yang dititipkan ke Malang. Saya dianjurkan naek kereta api di Sabtu sore seusai pulang kantor. Sebenarnya pengen ikut boncengan motor aja, tapi ga boleh. Bisa dibayangin dong, ramainya stasiun sore itu bersama pemudik lain, apalagi saat itu karcisnya masih bebas, alias bisa duduk atau berdiri tergantung usaha dan kesempatan.

Hamil saya belum terlalu kelihatan, jadi saya hanya bisa berdoa semoga dapat tempat duduk. Jika ga dapat, semoga aja ga semaput di jalan, semoga dikuatkan. Itu aja, udah bertekad ga boleh manja meski hamil. Kebetulan juga hamilnya ga rewel kayak hamil pertama, jadinya memberanikan diri naek kendaraan umum sendiri. Jangan salahkan suami saya yang mengijinkan saya ya, tapi salahin saya aja yang bandel naek sendirian. Maklum hanya bisa ketemu anak sulung seminggu sekali, itupun jika badan sedang fit. Jika tidak, terpaksa nitip salam aja *eh*.

Ketika duduk di bangku menunggu kereta datang, seorang bapak tiba-tiba sering melihat ke arah saya, sampai saya salah tingkah. Saat kereta datang, saya mengantri dengan pasrah, biar ajalah jadi yang terakhir yang penting selamat dan ga perlu berdesakan. Ternyata si bapak itu buru-buru naek lalu ngasi jalan buat saya.
“Ayo mbak, sini naek,” katanya seraya mengangsurkan tangannya menarik saya naek, mendahului beberapa penumpang yang sebelumnya di depan saya.
Agak malu juga sih, karena dalam hati berprasangka macam-macam. Sampai di atas kereta, bapak itu juga yang sibuk memintakan tempat duduk buat saya dan yang dimintai tempat duduk juga langsung ngasi tanpa babibu. Pengen mewek lebay karena sama sekali saya ga berharap dapat perlakuan seperti ini. Saya pikir si bapak akan bertanya macam-macam, seperti kenapa tak diantar suami, ini, itu, dan sebagainya. Ternyata tidak, si bapak tetap santun ngobrol seperlunya dan hanya berpesan hati-hati ketika saya mau turun.

Lain hari, ketika pergi ke rumah sakit, dan mesti menyeberang jalan, seorang bapak tiba-tiba pasang badan di sebelah saya membantu menyeberang. Lagi-lagi, saya nunggu sepi aja deh, biar lama, biarin asal saya ga terbirit-birit dengan perut melendung ini. Padahal mana mungkin lalu lintas sepi di siang bolong.
Masih belum selesai, naek angkot (bison) yang pas sepi penumpang. Seorang ibu naek dengan membawa belanjaan dan sekeranjang rambutan.
“Blonjo opo ae, mak?” tanya si kenek yang ternyata udah kenal dengan si ibu.
“Rambutan, arep ta?” tawar si ibu seraya memetik sebiji rambutan untuk si kenek.
“Lhah, siji tok, meneh,” pinta si kenek dan si ibu kembali memberikan sebiji lagi.
“Nih mbak, buat sampean” kata si kenek seraya mengangsurkan rambutan itu pada saya yang duduk di dekat si kenek. Eh, saya ga sedang tampang meminta lho.
“Lho?” saya kaget.
“Udah mbak, makan aja, sampean kan lagi hamil,” seloroh si kenek. Saya terima aja demi menghargainya, meski hanya sebiji buah rambutan. Sementara si ibu menawarkan apakah saya mau lagi. Saya tersenyum, menggeleng. Maunya sih semua, tapi kan harus beli sendiri, hehehe… Entah kebetulan atau apa, anak saya sekarang suka banget sama rambutan.
Alhamdulillah, ketemu para bapak yang baik, semoga anak istri mereka juga mendapatkan kebaikan serupa atau lebih.

Saya juga enggak mengecam penumpang yang sebel sama ibu hamil, yang akhirnya minta maaf. Lucu juga sih kalau baca beritanya, dari dua sisi yang berbeda. Sisi pembela ibu hamil dan sisi penentang ibu hamil, tapi ga ada yang hamil sendiri yang angkat bicara. Si penentang ga terima dimintain tempat duduk antara lain karena dia anggap itu si ibu hamil yang pemalas, ga mau berangkat pagi kayak ibu hamil yang lain. Dia juga mesti berangkat pagi, ganti transport sampe tiga kali sebelum naek kereta, dan kakinya lagi sakit (maaf, pincang).

Memang sih, seharusnya ibu hamil itu ga perlu masuk ke angkutan umum. Kalaupun nekat, tetap harus punya pandangan jangan minta dikasihani, berusaha kuat. Kalaupun ga kuat, pilihannya jangan pergi naik angkutan umum atau pergi bersama suami atau kerabat. Di hamil anak pertama, saya ga berani naek kendaraan umum, kecuali dibarengin suami. Itu juga demi kebaikan saya dan bayi juga, supaya tak repot sendirian di jalan dan tak merepotkan orang yang tak dikenal.

Hamil itu boleh aja manja (entah emaknya cari kesempatan atau bawaan si bayi), tapi jangan sama sembarang orang manja. Sama orang rumah wajar lah. Tapi kalau di tempat umum, mau tak mau harus bersiap juga kalau banyak hal ga bisa pro dengan kondisi ibu hamil.
Menggerutu sama orang hamil juga salah, karena bisa kualat. Hehehe, kok jadi kayak ngasi nasib ke orang gini ya. Siapapun, pasti akan berhubungan dengan orang hamil kan, entah itu dirinya sendiri, ibu, anak, saudara, pasien, teman, dan banyak lagi.

Berhubung bawel di depan umum bisa bikin kericuhan dan keburu waktu untuk kerja, akhirnya media social yang jadi tempat penumpahan. Teknologi itu kan ibarat mata pisau, bisa sangat berguna, tapi sekali teledor bisa melukai diri sendiri Yang sebelumnya bisa nahan amarah, jadi merasa perlu meluapkan dan punya ruang yang luas di media social. Memang sih, ga berharap semua orang akan bisa menyukai hal yang sama, seperti juga bahwa tak ada ukuran yang sama antara rahasia dan tidak, penting ga penting, inspiratif, sepele, dan sebagainya. Tapi kalau kasusnya sensitive seperti ini ya memicu pertikaian juga. Jika memang bully-wannabe, sekalian aja bahas politik dan artis, dan bersiaplah dapat serangan fajar hingga rembulan datang, hehehe… Padahal lagi kalo dilihat duduk perkaranya baik-baik, ya akhirnya kita tahu siapa yang sebenarnya ga pas.  

Jadi ibu hamil mesti mandiri juga, atau di rumah aja supaya banyak yang menolong kalau ada apa-apa. Jikapun terpaksa bepergian sendirian, banyaklah berdoa, saya yakin masih banyak orang baik. Jika belum hamil, selalu berbuat baik tak pernah salah, ntar balik lagi ke kita juga kok, di saat yang tepat.

gambar dari artikelmuslimah.wordpress.com

Selasa, 08 April 2014

JOGJA: (tak) KEMBALI


jauh dari kota


Pak Deo (saya ga tau namanya, sebut saja demikian), adalah pemilik laundry kiloan dekat rumah. Melihat anak saya super umek, belum bisa bicara karena gangguan pendengaran dari kecil, beliau menyarankan kami (saya dan suami) menemui pak Wow (juga bukan nama sebenarnya). Anaknya pak Wow ini disekolahkan di daerah tengah, tanpa alat bantu, dan ketika kembali ke orang tuanya lagi, dia sudah mahir berbicara dan bersekolah di umum.   

Ngiler? Tentu saja. Apalagi intimidasi halus namun terus menerus dari terapis yang pernah saya datangi, semakin memperkuat alasan untuk menyekolahkan anak di sekolah yang mumpuni. Sekolah itu adalah asrama Katolik, meski pak Wow sudah membesarkan hati bahwa banyak juga yang berasal dari agama dan daerah lain. Namun yang lebih memberatkan adalah system asrama, artinya mau tak mau harus mandiri sejak balita. Hiks, kebayang gak sih berat hatinya ibu?

Ternyata asrama yang digagas sejak jaman Belanda ini sudah menghasilkan banyak lulusan, yang kemudian mendirikan di kota lain, tapi masih di wilayah tengah dan barat, antara lain di Jogja, tapi bukan system asrama, jadi anak masih bisa ditemani orang tuanya.

Terus terang saja, saya langsung jatuh cinta begitu dipersilakan untuk observasi anak di SLB di daerah tengah ini. Dalam sehari intensif (masuk kelas), beberapa guru sudah bisa menilai anak saya dengan tepat, sesuai dengan sebagian pendapat saya, sebagai ibu yang melihatnya setiap hari. Selama ini saya sering kecewa karena pendapat saya tak sesuai, bahkan cenderung disalah-salahkan. Hihihi, subyektifitas emak sekali yak.

Tak hanya itu, anak saya juga yang terlihat paling menikmati keberadaanya, dengan banyak mengoceh dan semua anak menyambutnya dengan sukacita. Bukan saja karena mereka memiliki gangguan yang sama, namun karena iklim yang dibangun oleh pihak manajeman sekolah adalah iklim yang bersahabat. Sekolah itu tak hanya milik pengajar dan muridnya, namun juga milik para pekerja di dalamnya, antara lain tenaga kebersihan dan tenaga logistic. Selain rajin mengoceh, Ken juga bisa duduk lebih lama daripada biasanya, sebuah rekor yang harus dibukukan, hehe...

                                                                      belajar meniup

Selama tiga hari observasi, nyaris tak ada gangguan berarti, tak ada acara mogok, karena gurunya banyak, siap turun tangan semua. Guru yang banyak hanya di kelas TK, di kelas SD hanya satu atau dua jika perlu. Gurunya aktif ngomong semua, masih ditambah dengan suasana kelas yang penuh dengan tulisan stimulant, seperti Terima Kasih, Silakan Masuk, Ayo Berdoa, dan sebagainya. Meski banyak bermainnya, anak sudah dikenalkan dengan penggunaan bahasa secara maksimal sejak dini. Bahasa ya, bukan per kata. Tentu saja, karena bahasa itu lebih kompleks, bisa dibayangkan berapa kali guru harus mengulang satu per satu dengan anak-anak yang pendengarannya terbatas.

Apakah kemudian menjamin anak bisa bicara?
Tergantung pada kemampuan masing-masing anak dan juga bagaimana peran serta orang tua. Oleh karena itu semua cara selain bahasa isyarat, dikerahkan, seperti melalui tulisan dan lips reading. Seorang anak yang cukup cerdas, kelas 4, berbicara dengan lancar tanpa alat bantu, tak menunjukkan bahwa dia seorang anak tuna rungu, kecuali bahwa saya harus menatapnya jika berbicara dengannya. Joni, sebut saja demikian, berbicara dengan gaya normal, namun begitu berkumpul dengan teman-temannya dia menyesuaikan dengan gaya bicara mereka, yang tak semuanya semampu dia. Ken sempat dikira sebagai adiknya Joni, karena wajahnya mirip. Semoga Ken juga bisa semahir itu nantinya, amin.  

Ketika saya pamit pulang untuk mendapat persetujuan suami, seorang guru penanggungjawab mengatakan,
“Jika ibu tak kembali, saya paham, karena berat berpisah dari keluarga. Kunci supaya anak mau berbicara, terus ajak komunikasi dengan berbagai cara, terus saja, ulang lagi, mereka akan menyimpan dan menggunakannya suatu hari.”

Saya pulang dari Jogja dengan mewek, kapan ya bisa kembali untuk menyekolahkan anak di sekolah yang sebagus ini. Meski sebenarnya dalam hati kecil ini teringat terus bahwa pendidikan pertama terbaik bagi anak harus dimulai dari keluarga. Juga pendapat beberapa guru yang mengatakan bahwa sebenarnya Ken sudah bisa bicara, tapi anaknya enggan. Jika memang demikian, berarti seharusnya bisa saya kejar disini (dekat rumah).

Suami keberatan jika kami semua berjauhan, meski juga ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, one stop aja, ya terapi ya sekolah.
“Kalau hidup bertiga (saya dan dua anak) dengan uang sekian, cukupkah?” tawar suami, memberikan sebuah angka untuk bertahan hidup selama di sana.
Beberapa hari tinggal di Jogja, saya sudah mulai memperkirakan bahwa biaya hidup bisa diakali, sedangkan transportasi harga pasti. Biaya hidup dan uang sekolah, ok lah. Lalu bagaimana degnan transport, kunjungan, rekreasi untuk anak-anak, dan beberapa kebutuhan mendesak lainnya, di sebuah tempat yang benar-benar baru bagi kami semua.
Dasar saya tukang nekat, hehe, “Coba aja dulu,”

Suami tetap menyarankan, “Yuk kita cari yang di sini dulu, di sana kan jauh…”
Saya menuruti kemauan beliau untuk mencari sekolah lain di wilayah kami. Sekolah pertama di tengah kota, saya hanya ditemui adminnya, tak diperkenalkan dengan guru dan sistem sekolahnya. Sekolah kedua, yang hampir mendekati sekolah di Jogja, tapi hampirnya masih jauh, alias saya memaksa daripada harus jauh. Keduanya menggunakan bahasa isyarat sebagai pengantar, dan sebenarnya saya sudah kecewa dari awal.

Ketika saya melihat seorang murid bisa berbicara dengan suara sengaunya, bu guru sudah mematahkan duluan bahwa kemampuan bicara tergantung sisa pendengaran.
“Anak tadi bisa bicara ya, bu?” tanya saya.
“Itu karena masih banyak sisa pendengarannya,” beliau menanggapi saya secepat kilat, hehe, seolah takut jika saya berharap terlalu banyak.
Padahal belum tentu. Jika anaknya cerdas, dengan gangguan pendengaran tingkat parah dia masih bisa bekerja dengan mengandalkan alat bantu, mata, atau yang lain. Ken masuk yang parah, tapi ga tau kemampuannya masuk yang mana.  

Belum lagi ketika beliau terlihat jengah dengan Ken yang banyak umek, dan mengatakannya sebagai ADHD. Hiyaaa..
“Lho saya udah beberapa kali ke psikolog dan ini bukan ADHD” protes saya.
“Ah kebanyakan teori.” katanya sinis.
Hahaha, ndagel guru ini, kuat teorinya siapa, yang observasi selama beberapa jam dalam beberapa kali pertemuan, atau beliau ini yang baru ketemu beberapa menit dan langsung memberikan diagnosa handalnya. dan langsung nuduh aja.
“Tuh lihat,” tambahnya lagi dengan bahagia merasa dia benar.
Lha kok ndilalah si Ken, seperti membenarkan tuduhan. Dia pukul-pukul meja dengan antusiasnya dan tak mau melakukan kontak mata sama sekali. Sandiwara apa lagi ini, nak? Mungkin saja dia merasa tak nyaman. Biasanya, di tempat baru dia lebih suka observasi ke sana kemari daripada pukul-pukul meja.  

Demi sebuah percobaan sekolah, terpaksa, Ken sekolah di situ. You know what, rasanya abis dari sekolah bagus lalu ke sekolah standar itu, hmmm. Belum lagi gurunya yang super acuh dan beberapa kali menggunakan unsur kekerasan yang diperhalus. Karena murid baru, ibunya diperkenankan ikut kelas dan saya tahu sendiri bagaimana kasar dan acuhnya.
“Kok muridnya dijewer, pak?” tanya saya hati-hati. Meski agak maklum untuk menarik perhatian mereka yang masih main dan susah memperhatikan. Beliau lalu menjelaskan serangkaian alasan yang berhubungan dengan akupuntur. Ooo, saya tak paham, tapi saya sudah mulai ancang-ancang angkat kaki, hihihi…   

Mewek lagi, gagal lagi. Oalah nak, susah amat ya sekolah yang aman dan nyaman bagi muridnya, di mana murid, guru, orang tua, dan semua petugas sekolah bersinergi demi kegiatan belajar mengajar yang baik. Atau kurang banyak mencari ya, demi mengingat orang tua anak autis yang mencoba hingga 26 sekolah demi anaknya...

Ada satu hal yang saya lupa, mood anak. 
Ini adalah sekolah ketiga yang saya cobakan padanya. Sekolah pertama mogok berkali-kali, sekolah kedua di sekolah impian itu yang hanya beberapa hari, sekolah ketiga dia mogok lagi. Tak mau pakai baju batik seragam hari itu, malah asik lihat kartun pagi di tv. Berkali-kali dirayu tak mempan, kali ini dia tidak tantrum seperti dulu. Dia melancarkan rayuan dengan membelai dan menciumi saya seolah mengatakan bahwa dia tak mau sekolah, lalu membuang baju batik yang harus dipakainya.
Jika saya sekolahkan di Jogja, mungkin dia akan lebih bahagia, meski masih ada kemungkinan dia tak mau sekolah atau mogok.

Bingung.
Namun begitu melihat kakak dan adiknya berebut pelukan dan gendongan ketika ayahnya pulang kerja, saya rasa saya tak bisa memisahkan mereka begitu saja. Ada saat nanti mereka besar dan tak mau lagi bersentuhan dengan ayahnya. Masa itu yang tak akan tergantikan. Toh, pendidikan di sekolah juga bukan satu-satunya jalan menuju terdidik.
Seperti pesan seorang teman, yang berkali-kali memastikan agar saya legowo dengan semua keputusan,
“Anggap saja sekolah singkat di Jogja sebagai pengalaman. Jangan disesali”
Sementara ada teman yang menunggu, menyiapkan sebuah ajakan menggiurkan tentang sebuah karir. Saya uda melambung, dan saya kembali memastikan dalam hati, yang sebenarnya butuh Jogja itu saya, atau anak saya? Begitu pentingnya kah sekolah yang dini, demi menggantikan waktu berkualitas bersama orang tua lengkap mereka dalam durasi yang tak berulang?

Jalan menuju "normal" itu tak sama. Jika memang fasenya lebih lambat atau bahkan berbeda dengan pada umumnya? Teringat nyanyian Dory dalam film Finding Nemo yang selalu think positive, "just keep swimming, just keep swimming,..." Buat saya, "just keep trying, just keep trying..."

Senin, 07 April 2014

HIDAYAH, come to me




“Allah akan memberikan pertunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya…”

Sepertinya kok, mengikuti sindiran seorang seniman, tuhan yang maha sekarepe dewe.
Kalau menghubungkan dengan berbagai macam teori kekuasaan, power itu bisa melakukan apa saja untuk kesenangannya. Tapi…

“Sesungguhnya kamu tak akan sanggup mengukur nikmat yang kuberikan kepadamu…”

“Bersyukurlah maka nikmatmu akan kutambah, jika tidak maka azabku akan sangat pedih.”

Sebagai manusia yang sebenarnya diprotes oleh malaikat sewaktu penciptaannya,
 “Sesungguhnya Aku tahu apa yang kulakukan…”

Juga sebagai sasaran empuk para penantang kebaikan,
“dan aku akan menggoda anak cucu adam, hingga mereka berpaling…”

Yang diciptakan dari air mani yang hina, namun dijadikan sempurna sebagai khalifah di muka bumi ini,
“Jadilah kamu khalifah di muka bumi…”

Hingga memunculkan pamungkas
“...dan karunia bagi orang yang memiliki dan menggunakan akalnya untuk berpikir.”

Umroh bolak-balik, haji bolak-balik, katanya sih panggilan. Padahal kan itu kewajiban kelima,yang dilakukan jika mampu, dan tak harus dilakukan berkali-kali. Seharusnya sekali saja cukup, Nabi pun demikian, meski jaraknya terhitung cukup dekat.

“dan kutinggikan sebagian darimu utuk memberikan manfaat kepada yang lain…”
Nah bukannya sedekah itu berada di atas haji, kenapa tak disalurkan dengan menghajikan orang lain. Sebelum marah dan banyak protes kepada kaum misionaris atau usaha konspirasi, sebaiknya kita berkaca dulu, sebanyak apa kepedulian dan empati kita pada sesama (muslim) yang kekurangan. Lebih baik bertindak daripada main tuduh dan main emosi sewot dengn pergerakan mereka yang kebanyakan menyasar dari berbagi pose, dari berbagai kalangan ekonomi, mengelola emosi dengan baik, dan juga berani mengucurkan harta benda demi kemaslahatan umat yang mereka jadikan kesatuan.

 “Aku kok belum pengen umroh ya, katanya panggilan, kok aku ga dipanggil-paggil,”
Hehehe, langut belum waktunya menggunakan TOA untuk memanggil kita ke tanah suci kan. Manusia itu berakal dan berpikir sebagai hakekat dirinya.
“cogito ergo sum”
Aku berpikir maka aku ada.

Bukankah "dipanggil" itu karena memiliki criteria. Seperti halnya nama yang anda panggil karena melekat pada anak yang bersangkutan. Jika sekedar hei, maka semua orang akan menoleh.
Supaya dipanggil dan mendapat hidayah, kita ini sudah berbuat apa saja. Mengaku sebagai umat Islam, apakah sudah menjalankan keempat rukunnya dengan baik, apakah sudah mengimani keenam rukun iman dengan semestinya? Jika itu semua belum sempurna, lalu apa sih yang memberatkan kita untuk dipanggil?

“Kamu akan dinilai sesuai dengan yang kamu usahakan. Kamu tak akan menanggung dosa orang lain.”
Meski dengan konsep dasar rukun Islam dan rukun iman, namun langit juga memiliki hak prerogative untuk memilih siapakah yang memiliki usaha terbaik untuk sampai ke sana. Itu juga tak melulu soal kaya atau miskin. Sudah dengar banyak cerita kan, soal pemulung, tukang bakso, tukang becak, dan banyak kaum yang secara ekonomi tidak mungkin, sanggup naik haji, dengan mengumpulkan receh demi receh hingga cukup, atau bahkan mendapat mukjizat untuk sampai kesana.

Bagaimana dengan para muallaf yang tiba-tiba saja menjadi muslim tanpa bekal apapun?

Setahu saya, para muallaf selalu memiliki “intro” sebelum masuk Islam, ada yang lewat teman, keluarga, musibah, dan sebagainya.
Ada juga yang masuk tanpa intro apapun, dan mereka itulah orang yang terpilih. Siapakah orang terpilih? Ya tentu saja rahasia ilahi.

Sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, mari kita coba gunakan semuanya dengan baik dan maksimal untuk menjemput hidayah.
Hidayah tak datang tiba-tiba, perlu intro dan latar belakang untuk hadir. 

gambar dari komunitasmuhajirin.wordpress.com