posisi foto konvensional, pegang pipi, say "cheese" |
‘Huaaaa, huaaa, dipukul kakak” tangis Uma, lapor kepada saya yang lagi mencuci piring.
Well,
sibling fight is a common thing. It sometimes makes you wanna go out of the
house.
Saya menghela
napas panjang, itu sudah yang kesekian kalinya, dan cerdiknya kakak yang
selalu mengambil kesempatan ketika saya lengah atau tak ada bersama mereka. Oh,
anak lelaki…
“Kakak itu
selalu ya… sudah, besok kita taruh kakak di asrama ya, biar ga nakal lagi,”
tukas saya (pura-pura) geram.
Uma menghentikan
tangisnya.
“Jangan,”
“Kenapa?”
“Kakak ga boleh
pergi, Ayah enggak, Bunda enggak, Uma enggak,” katanya memastikan semua anggota
keluarga kami tetap berada dalam satu kesatuan.
“Biar Uma ga
dipukuli terus” kata saya menantang daya tahannya.
Emak yang aneh, jangan
ditiru.
Dia tetap
bersikukuh, menggelengkan kepala, belum sanggup memberikan jawaban yang jelas.
“Semua di rumah
ini,” katanya kembali menegaskan tanpa alasan.
+++
Suatu ketika Ken
bikin ulah, minum teh, lalu menyemburkannya ke sebagian besar teras, bikin
licin, begitu sudah kering bikin lantai pliket. Saya ngomel dengan panjang kali lebar kali
tinggi, seraya membuatkan susu untuk mereka. Uma sedang syahdu menikmati
susunya di meja makan.
“Bunda bahagia?”
tanyanya tiba-tiba.
Saya merasa
aneh, menjawab pertanyaannya masih dalam nada marah,
“Ya bahagia,
tapi kalo kakak bikin marah gini bla bla bla…”
“Bunda bahagia?”
dia sepertinya tak peduli dengan penjelasan panjang saya. Ya iya lah kan emang belum bisa
menangkap jawaban panjang.
“Ya bahagia,”
terpaksa saya jawab demikinan karena saya tak mau melanjutkan amarah negatif
dan berusaha konsisten dengan ajaran saya sebelumnya bahwa saya bahagia memiliki
mereka berdua.
Uma tersenyum,”Uma
juga bahagia.”
+++
Dua lelaki dan dua
ego yang harus dibagi, entah bagaimana dan terkadang saya hanya bisa marah tak
jelas. Hahaha, kerjaan yang wanita banget, ngomel melulu. Meski kalo
kepanjangan saya juga risih. Gimana ga risi, yang diomelin cuek aja, lempeng
aja..
“Bla bla bla…” omel
saya seraya memberesi baju yang baru disetrika, sementara mereka sibuk bermain
di ruang tengah. Sedikit membanting pintu hingga Uma datang.
“Bunda marah ke Ayah?”
“Ya.”
“Bunda marah ke
kakak?”
“Ya.”
Lalu saya
melanjutkan lagi omelan ke sana
sini.
“Bunda, maafkan
ke ayah ya” katanya dengan struktur bahasa yang kacau.
“Buat apa? Bla
bla bla…” kata saya emosi.
“Bunda maafkan
ke ayah ya,” katanya lagi memohon.
Saya tak sanggup
meneruskan marah, rasanya bukan saya lagi yang harus memberinya pelajaran tapi
dia yang sedang memberi pelajaran pada saya.
+++
“Bunda kuperiksa
ya,” katanya seraya bergaya memasangkan stetoskop berupa tali yang bentuknya sama,
ke badan saya.
“Bunda sakit apa
ya?” tanya saya penasaran.
“Sakit hati,”
saya terbahak, hampir saja setrika lepas dari pegangan karena tak kuat menahan
tawa.
“Nih obatnya,
diminum ya,” katanya seraya menyerahkan botol mainannya yang berwarna merah muda.
“Cepat sembuh
ya,”
+++
Belakangan dia
sering memaksa saya untuk mendongeng, berkali-kali dalam sehari, lalu mengatakan dengan sedikit mengeluh,
“Aku lho belum
bisa cerita seperti mbak Risa.”
“Ya nanti pasti
bisa, kan
memang mbak Risa lebih besar,” hibur saya.
Risa yang lebih
tua setahun, memang memiliki kemampuan belajar lebih, sudah bisa baca dan
sedikit menulis. Saya sih lempeng aja, cuek aja, waktu si ibu membanggakannya.
Saya tak terlalu
menuntut dan memaksa anak-anak harus bisa apa. Bikin gambar aja masih kacau, bicara masih sering belepotan, emosi masih naik turun semaunya sendiri, mau dituntut apa coba. Uma sendiri yang seringkali merasa
harus lebih dewasa dengan mengatakan dia tak bisa ini dan itu.
“Aku belum bisa
kayak Bunda,” keluhnya ketika melihat saya bersiul. Padahal ya sekedar bersiul,
bukan berbentuk nada lagu.
“Bunda dulu waktu
seusia Uma juga belum bisa bersiul, uda tua baru bisa. Uma mau tua duluan?”
Dia menggeleng
sambil tersenyum.
“Nanti aku pasti bisa ya, bunda” katanya
menyemangati dirinya sendiri.
“Tentu saja”
+++
“Uma kalau besar pengen jadi apa?”
Dia belum tahu
konsep pekerjaan. Hanya tahu ayah ke kantor tapi sepertinya tak ingin seperti
ayahnya yang selalu ditanyakan kapan pulang dan sering pulang malam.
“Jadi dokter?”
Dia menggeleng.
“Kerja di kantor
kayak ayah?”
Dia menggeleng
lagi.
“Jadi penulis?”
Matanya berbinar
lalu menggangguk,”Ya kayak bunda”
Emaknya ge er,
padahal buku antologi melulu dan ceriwis ngisi blog.
Di waktu lain saya
akan mengulang pertanyaan itu, dia memiliki jawaban yang mencengangkan,
“Mau jadi Uma”
Hahaha, ternyata
dia jauh lebih pe de daripada orang tua yang sibuk memikirkan jadi siapa ya
kalo kita reinkarnasi nanti, harus lebih baik, harus begini, harus begitu...