Kamis, 15 Mei 2014

Anak-anak dan Air-air


 
Anak dan air adalah dua hal yang tak dapat terpisahkan dalam fase tumbuh kembang mereka. Entah itu air kamar mandi, air kolam renang, hingga air comberan yang super jorok, buat mereka yang penting adalah bermain air. Dulu saya sering melarang mereka bermain air, terutama jika airnya kotor, dengan alasan tentu saja males repot, males basah, males kotor, takut gatal-gatal. Amat-mengamati, semua memang ada masanya, ada masa awal dan masa akhirnya.

Air gallon.
Hingga hari ini, jika menuang air yang banyak, masih saja tumpah, eh wajar ya. Maksudnya disengaja tumpah supaya bisa diseruput demi menirukan minum ala hewan di kartun favoritnya. Terkadang diam-diam menunggu saya lengah, kran air gallon akan terus diputar hingga membanjiri lantai. Marah waktu itu, menyesal hari ini karena memang sama-sama tak tahu, alias emak buta parenting. Akhirnya dudukan gallon disingkirkan, membuat ruangan lebih luas, minum air yang lebih tradisional, yaitu menuang ke dalam teko air.
Air gallon yang tumpah, seringkali bikin Uma jatuh terpeleset hingga terlentang di lantai. Tak sampai kenapa-kenapa sih, sejalan dengan bertambahnya usia juga dia juga mulai berhati-hati dalam ketika berjalan.

Air dingin di kulkas
Saya hanya menyediakan suami sebenarnya. Saya sendiri kurang begitu suka dengan kebiasaan minum air dingin, bikin masuk angin, kalau kebanyakan bisa bikin suara serak. Kembali lagi ini menjadi sasaran anak-anak, disebar-sebar ke lantai. Dibuat minum setiap saat karena mereka menyukai sensasi dinginnya. Tunggu beberapa hari saja, hidung mampet dan suara sentrap sentrup dari hidung mengikuti.

Air kran tetangga
Melihat kran adalah melihat mainan, bagi Ken. Pernah suatu saat dia sedang getol wudhu, jadi tiap menemukan kran, dia selalu gaya berwudhu. Dengan adanya kran inilah dia belajar untuk menyalakan dan menutup kran dengan tepat. Karena ketika menyalakan, saya mulai histeris memanggil namanya. Air di perumahan bisa menggenang halaman. Bukan tak mau anak senang, saya risih buang-buang air untuk kepentingan yang tak jelas. Bahkan lihat anak tetangga dibiarkan main air bersih untuk dibuang, saya buru-buru masuk rumah, takut terbawa emosi marah-marah lihat anak boros dan dibiarkan saja oleh orang tuanya. Bukan saya aja kok, tetangga lain sudah memperingatkan.Maklum, orang kaya gitu lho.

Air kolam renang
Meskipun di Batu yang dingin sekalipun, kegiatan nyemplung kolam renang tak boleh terlewatkan dan harus siap adu otot mengajak pulang karena mereka tak mau mentas meskipun menggigil kedinginan. Repotnya lagi, ayahnya selalu menawarkan mereka untuk makan pop mie yang sangat tidak green dan banyak bahan adiktif. Emak rempooong, hehehe...
Akhirnya ada akal, masuk kolam renang menjelang kolam tutup, hihihi, sehingga mau tak mau dia harus mentas, jika tak mau dimarahi petugas yang jaga.

Air tetesan jemuran
Pada beberapa pagi, saya harus memandikan mereka kembali, karena mereka sibuk “berenang” di bawah jemuran yang masih menetes. Gimana mau melarang, lha wong tenaga dua anak lebih kuat dan lebih usil, akhirnya saya biarkan aja. Mereka dimandikan setelah menjemur selesai. Jika tak ketahuan, Ken bahkan akan membuka mulut seolah tetesan itu adalah kran air minum yang bisa dia konsumsi sesuka hati. Biasanya mereka juga membantu menjemur dengan posisi yang sembarangan. Eh, sekarang sudah bosan sendiri. Begitu saya persilakan mereka mainan sebelum mandi, malah lebih memilih mengayuh sepeda mengitari halaman rumah. Ya sudah, memang sudah saatnya berhenti.

drama air jemuran
Air kamar mandi
Perkenalannya hanya dengan memasukkan semua mainannya ke dalam bak, bahkan jika belum puas Ken akan memasukkan panci, wajan, spatula, dan sebagainya. Begitu dia semakin tinggi dan gerakannya semakin mantap, dia mulai “berenang” di dalamnya, sampai sepuasnya. Pakai tanda kutip, karena, berapa sih luas bak mandi perumahan sederhana? Kadang bergaya menyelam sambil minum air, dalam arti sebenarnya. Jika ketahuan saya mendelik, dia akan cengingisan dan segera memuntahkan air yang ada dalam mulutnya. “Sudah silakan kungkum”. Saya biarkan sembari mengurusi yang lain, ternyata akhirnya dia bosan sendiri kok. Mentas sendiri minta dihandukin dan segera pakai baju.

Air hujan
Air hujan yang baik itu deras, dan setelah 15-30 menit turun, baru boleh dibuat mainan, begitu sih yang pernah saya baca. Ayah juga sempat melarang anak-anaknya, padahal hujan itu tak bikin sakit, karena sakit itu urusannya dengan daya tahan,. Alhamdulillah sejalan dengan hilangnya kuatir, akhirnya mereka hujan-hujan dengan bahagia, meski tetap saling ngotot kapan berakhir, atau minta tambah tiap hari.
Saya sering kali ditanya orang,
“Hujan lho, bu. Anak-anaknya?”
“Foto PP kok mesti hujan-hujan melulu ya…”
Ya kadang sambil ikut kehujanan karena mengawasi, anak-anak puas bermain hujan, segera mandi, makan, lalu tidur. Dengan catatan awal, mereka sedang tidak sakit, atau tubuh lagi fit.

tendangan tanpa bayangan saat hujan
Air genangan
Ini yang sedang in didatangi anak-anak, karena setelah main itu mereka bikin jejak kaki atau gaya tergenang di dalamnya. Tak sampai gatal-gatal sih, hanya beberapa kali terpeleset. Kalau ibu-ibu teriak-teriak, saya juga tapi ga sering selama dia belum mandi biarin aja. Kalau sudah mandi baru saya ikut ribut.  

Air teh dan kopi
Waaa, sepertinya saya harus sembunyi kalau mau bikin kopi, karena dua anak ini bergantian mengusik kesyahduan emaknya menikmati semangat ngopi. Jika air teh akan dituangkan ke seluruh penjuru lantai, maka air kopi yang biasanya hanya satu cangkir kecil akan dinikmati berebut.

Itulah para air yang menemani anak-anak bermain. Setua saya ini, yang sudah jadi emak-emak, tak mungkin main air kan, jadi biarkan saja mereka main, sampai puas, supaya tak "menagih" keinginannya di saat yang tak lagi tepat ;) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar