Anak dan air
adalah dua hal yang tak dapat terpisahkan dalam fase tumbuh kembang mereka.
Entah itu air kamar mandi, air kolam renang, hingga air comberan yang super jorok,
buat mereka yang penting adalah bermain air. Dulu saya sering melarang mereka
bermain air, terutama jika airnya kotor, dengan alasan tentu saja males repot,
males basah, males kotor, takut gatal-gatal. Amat-mengamati, semua memang ada masanya, ada
masa awal dan masa akhirnya.
Air gallon.
Hingga hari ini,
jika menuang air yang banyak, masih saja tumpah, eh wajar ya. Maksudnya disengaja
tumpah supaya bisa diseruput demi menirukan minum ala hewan di kartun
favoritnya. Terkadang diam-diam menunggu saya lengah, kran air gallon akan
terus diputar hingga membanjiri lantai. Marah waktu itu, menyesal hari ini
karena memang sama-sama tak tahu, alias emak buta parenting. Akhirnya
dudukan gallon disingkirkan, membuat ruangan lebih luas, minum air yang lebih
tradisional, yaitu menuang ke dalam teko air.
Air gallon yang tumpah, seringkali bikin Uma jatuh terpeleset hingga terlentang di lantai. Tak sampai kenapa-kenapa sih, sejalan dengan bertambahnya usia
juga dia juga mulai berhati-hati dalam ketika berjalan.
Air dingin di
kulkas
Saya hanya
menyediakan suami sebenarnya. Saya sendiri kurang begitu suka dengan kebiasaan minum
air dingin, bikin masuk angin, kalau kebanyakan bisa bikin suara serak. Kembali
lagi ini menjadi sasaran anak-anak, disebar-sebar ke lantai. Dibuat minum
setiap saat karena mereka menyukai sensasi dinginnya. Tunggu beberapa hari saja, hidung mampet dan suara sentrap sentrup dari hidung mengikuti.
Air kran tetangga
Melihat kran adalah
melihat mainan, bagi Ken. Pernah suatu saat dia sedang getol wudhu, jadi tiap
menemukan kran, dia selalu gaya berwudhu. Dengan adanya kran inilah dia belajar untuk menyalakan dan menutup
kran dengan tepat. Karena ketika menyalakan, saya mulai histeris memanggil namanya.
Air di perumahan bisa menggenang halaman. Bukan tak mau anak senang, saya risih
buang-buang air untuk kepentingan yang tak jelas. Bahkan lihat anak tetangga
dibiarkan main air bersih untuk dibuang, saya buru-buru masuk rumah, takut
terbawa emosi marah-marah lihat anak boros dan dibiarkan saja oleh orang
tuanya. Bukan saya aja kok, tetangga lain sudah memperingatkan.Maklum, orang kaya gitu lho.
Air kolam renang
Meskipun di Batu
yang dingin sekalipun, kegiatan nyemplung kolam renang tak boleh terlewatkan
dan harus siap adu otot mengajak pulang karena mereka tak mau mentas meskipun
menggigil kedinginan. Repotnya lagi, ayahnya selalu menawarkan mereka untuk makan pop mie yang sangat tidak green dan banyak bahan adiktif. Emak
rempooong, hehehe...
Akhirnya ada
akal, masuk kolam renang menjelang kolam tutup, hihihi, sehingga mau tak mau
dia harus mentas, jika tak mau dimarahi petugas yang jaga.
Air tetesan jemuran
Pada beberapa
pagi, saya harus memandikan mereka kembali, karena mereka sibuk “berenang” di bawah
jemuran yang masih menetes. Gimana mau melarang, lha wong tenaga dua anak lebih kuat dan lebih usil, akhirnya saya biarkan aja.
Mereka dimandikan setelah menjemur selesai. Jika tak ketahuan, Ken bahkan akan
membuka mulut seolah tetesan itu adalah kran air minum yang bisa dia konsumsi
sesuka hati. Biasanya mereka juga membantu menjemur dengan posisi yang sembarangan.
Eh, sekarang sudah bosan sendiri. Begitu saya persilakan mereka mainan sebelum
mandi, malah lebih memilih mengayuh sepeda mengitari halaman rumah. Ya sudah,
memang sudah saatnya berhenti.
drama air jemuran |
Air kamar mandi
Perkenalannya
hanya dengan memasukkan semua mainannya ke dalam bak, bahkan jika belum puas
Ken akan memasukkan panci, wajan, spatula, dan sebagainya. Begitu dia semakin
tinggi dan gerakannya semakin mantap, dia mulai “berenang” di dalamnya, sampai
sepuasnya. Pakai tanda kutip, karena, berapa sih luas bak mandi perumahan
sederhana? Kadang bergaya menyelam sambil minum air, dalam arti sebenarnya.
Jika ketahuan saya mendelik, dia akan cengingisan dan segera memuntahkan air
yang ada dalam mulutnya. “Sudah silakan kungkum”. Saya biarkan sembari mengurusi
yang lain, ternyata akhirnya dia bosan sendiri kok. Mentas sendiri minta
dihandukin dan segera pakai baju.
Air hujan
Air hujan yang baik
itu deras, dan setelah 15-30 menit turun, baru boleh dibuat mainan, begitu sih
yang pernah saya baca. Ayah juga sempat melarang
anak-anaknya, padahal hujan itu tak bikin sakit, karena sakit itu urusannya dengan
daya tahan,. Alhamdulillah sejalan dengan hilangnya kuatir, akhirnya mereka hujan-hujan
dengan bahagia, meski tetap saling ngotot kapan berakhir, atau minta tambah tiap
hari.
Saya sering kali
ditanya orang,
“Hujan lho, bu.
Anak-anaknya?”
“Foto PP kok
mesti hujan-hujan melulu ya…”
Ya kadang sambil
ikut kehujanan karena mengawasi, anak-anak puas bermain hujan, segera mandi, makan, lalu tidur. Dengan
catatan awal, mereka sedang tidak sakit, atau tubuh lagi fit.
tendangan tanpa bayangan saat hujan |
Air genangan
Ini yang sedang
in didatangi anak-anak, karena setelah main itu mereka bikin jejak kaki atau gaya tergenang di
dalamnya. Tak sampai gatal-gatal sih, hanya beberapa kali terpeleset. Kalau
ibu-ibu teriak-teriak, saya juga tapi ga sering selama dia belum mandi biarin
aja. Kalau sudah mandi baru saya ikut ribut.
Air teh dan kopi
Waaa, sepertinya
saya harus sembunyi kalau mau bikin kopi, karena dua anak ini bergantian
mengusik kesyahduan emaknya menikmati semangat ngopi. Jika air teh akan
dituangkan ke seluruh penjuru lantai, maka air kopi yang biasanya hanya satu
cangkir kecil akan dinikmati berebut.
Itulah para air yang menemani anak-anak bermain. Setua saya ini, yang sudah jadi emak-emak, tak mungkin main air kan, jadi biarkan saja mereka main, sampai puas, supaya tak "menagih" keinginannya di saat yang tak lagi tepat ;)
Itulah para air yang menemani anak-anak bermain. Setua saya ini, yang sudah jadi emak-emak, tak mungkin main air kan, jadi biarkan saja mereka main, sampai puas, supaya tak "menagih" keinginannya di saat yang tak lagi tepat ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar