Sabtu, 25 Oktober 2014

Ibu-ibu, Bekerjalah




Akhir bulan lalu, genap lima tahun perjalanan saya menjadi seorang ibu, sekaligus lima tahun usia anak sulung saya. Ah, masih sama-sama unyu dalam hal pengalaman, masih banyak belajar memahami satu sama lain.

Waktu “usia” saya masih setahun pertama, saya oon banget sebagai ibu. Berangkat kerja, mewek di hari-hari pertama lalu biasa aja. Tak pengen perlakuan yang terlalu istimewa untuk Ken, toh dia belum paham (menurut saya waktu itu). Waktu dia dititipin ke nenek-neneknya atau bersama asisten, saya juga lempeng aja, tak terlalu pusing mau pakai parenting style manapun. Bahkan, naluri suami saya tumbuh lebih awal daripada saya. Dia yang sering bangun malam hari, karena saya pulas minta ampun. Kecapean sih, kerja pulang malam terus *alasan*. Dia juga yang marah-marah, kalau saya tinggalin anak mainan sendiri, lalu saya nonton kartun. Hihihi.. 

Nangis juga, waktu diberitahu tetangga bahwa si asisten yang masih usia belasan itu, menggulingkan (tanpa sengaja) sepeda yang dinaiki Ken di tanah bebatuan, membuat hidungnya berdarah. Saya tanya anak saya kenapa, dia tak mau mengaku, hanya bilang kalau Ken gatal dan selalu usil menggosok hidungnya hingga berdarah. Supaya tak ketahuan, pas mandi, dia kruweki sendiri itu lukanya Ken sampe berdarah yang kedua kalinya. Aih, masih muda kok udah sadis. Untung hanya ikut saya selama beberapa bulan saja.
 
Drama selanjutnya, saya pernah “kalah” sama seorang asisten yang judesnya minta ampun, mau gendong anak saya aja nggak boleh. Ndilalah, si Ken ini udah usil sejak bayi, jadi dia juga tak mau sama saya, tapi mau sama ayahnya dan orang lain. Hukuman buat ibunya yang cuek ini kali ya. Hiyaaa, bayangin betapa terlukanya perasaan seorang ibu. Buat sebagian orang, itu aib, ibu macam apa yang tak dimaui anaknya. Buat ibu-ibu muda lain, “Biasaaaa bu, ntar juga mau sendiri kok. Namanya juga anak-anak, masih semaunya sendiri.”
Buat nenek yang baik hati, ”Udaaah, ga usah dipikir, lihat di tivi, anak hilang yang terpisah dari orang tuanya selama bertahun-tahun, masih mau kan nyari orang tuanya supaya bisa kumpul bareng. Ikatan batin antara ibu dan anak itu tak akan tergantikan.”

Tak dinyana, tak direncana, saya dikaruniai anak lagi, sewaktu Ken baru berusia 15 bulan, baru aja bisa jalan. Bisa jadi, saya punya anak dengan jarak usia berdekatan itu, sebagai peringatan dari Allah, biar tumbuh lebih cepat nalurinya. Pernah lho, saya lupa kalau udah punya anak dua. Ceritanya, waktu si Ken sedang super aktif dan saya sedang hobi mengejarnya ke sana kemari. Adiknya lagi tidur pulas, lalu menangis keras menyadari si pabrik susu tak ada di sisinya. Saya sempat nyeletuk, "Anak siapa sih, kenceng banget nangisnya."
Beberapa saat kemudian baru sadar, "Ya Allah, aku kan baru lairan beberapa minggu kemarin."
Saya lari terbirit-birit ke rumah. "Awas mbak, jahitannya (operasi). Ngapain lari-lari?" 
"Aku lupa anakku sudah dua."

Awal-awal punya anak dua, saya masih pakai asisten. Ngos-ngosan juga mengatur keuangan dari satu penghasilan, dengan mental ibu bekerja yang sebelumnya mau apa aja langsung beli. Meski bukan itu sih masalah utamanya, tapi soal asisten yang masyaallah, ringan tangan sama Ken yang super aktif dan dia juga panjang tangan alias suka mengambil ini dan itu. Akhirnya memberanikan diri tanpa asisten di usia Uma belum genap lima bulan. Cape banget, tapi fun juga, hingga idealisme itu menggelegar *waaa*. Saya pernah pasang biodata di sebuah blog berjamaah, "Ibu rumah tangga yang bangga bla bla bla..." Pokoknya, macam rookies yang sok banget menjalani hari-hari barunya.   

Idealis amat, sampai saya berpandangan, betapa teganya para ibu yang meninggalkan bayinya demi bekerja. Jadi waktu keemasan bayimu itu setara dengan gaji bulananmu, begitu?
Jadi tak mau menyusui biar tak rusak buah dadamu, begitu?
Jadi tak mau menyusui, karena kandungan susu formula itu lebih bagus, lebih nyaman dan tak ribet, begitu?
Jadi kerja itu sebagai aktualisasi dirimu, biar tak monoton dalam rumah dan tak kuper, begitu?   
Lupa saya, kalau saya sudah melakukan hampir semuanya itu kepada Ken, dan dia langsung "menghukum" saya. 
 
Saya masih saja berpandangan seperti itu sampai kemudian tiba masa anak-anak saya bermain dengan teman sebayanya. Saya menemukan fakta bahwa menjadi ibu rumah tangga bukan harga mati untuk tumbuh kembang anak yang sempurna dan berakhlak mulia. Ada anak yang minta dipithes saking ndablegnya, karena ibunya (ibu rumah tangga) galak minta ampun. Ada anak yang begitu manis dan menyayangi ibu serta saudara-saudaranya, padahal ibunya bekerja.

Ibu dari seorang teman, pernah memberikan 'fatwa' kepada anak-anaknya, bahwa semua wanita harus bekerja, tapi setelah anaknya berusia dua tahun. Iya, waktu itu cari kerja masih gampang, tak perlu rebutan kursi seperti hari-hari ini. Ketika anak-anak mulai main sendiri, meski belum sekolah, saya merasakan juga betapa manjurnya 'fatwa' itu. Tiba juga rasa ingin kembali bekerja rutin, meski tak sanggup juga membayangkan bagaimana mengatur hati dan tenaga. 

Mindset bekerja udah terlanjur sebagai kerja kantoran. Padahal kerja itu luas, bahkan tukang bubur pun naik haji kan. Dalam artian kerja di sector informal pun, jika tekun menghasilkan duit lebih pahala lebih, fleksibel waktu, dan banyak lagi. Semua itu pilihan masing-masing dan tiap orang yang memahami bagaimana kemampuannya sendiri. Semua rumah tangga punya kebutuhannya masing-masing. Masa anda menyuruh orang di rumah jika dia seorang ibu tunggal dengan anak-anak yang butuh makan dan sekolah. 

Kalau suami masih mampu, ya kita juga mesti mampu menabung yang banyak untuk hari depan kita bersama untuk liburan dan kebutuhan tersier lain. Kalau suami belum sepenuhnya mampu, ya kita emang harus turun tangan, karena pasangan itu harus saling mendukung.

Sebagai makhluk multitasking, semua wanita, wajib bekerja. Apapun itu bentuk dan caranya, selama halal, dengan prioritas pribadi masing-masing. Jika memang untuk menambah kas rumah tangga, teguhkan hati. Jika untuk aktualisasi diri, jangan lupakan kewajiban utama sebagai ibu dan istri.