Kisah si Malin |
…..
Seorang nenek
pemukul batu berusia 70 tahun lebih bekerja sebagai pemukul batu karena tak seorang pun dari anak-anaknya yang mau ditumpangi hidup.
Sepasang suami
istri bahu membahu membesarkan anak-anak mereka hingga harta bendanya habis.
Begitu usia tua menjelang, para anak dan menantunya tak ada yang berkenan
menampung mereka. Suami kembali mencari nafkah dari nol dengan cara mengamen
menggunakan tutup botol. Matanya sudah rabun dan pikirannya terguncang. Terkadang
dia tak tahu mana rumah orang mana kandang ayam. Demi kekuatannya bertahan dan mendapatkan
uang untuk mereka (dia dan istrinya) makan, ia selalu menenggak segenggam obat.
Entah berapa banyak rejeki yang masih tersisa.
Sang ibu tinggal
sendirian di sebuah rumah, semenjak anak lelaki semata wayangnya menikah dan
tinggal bersama isrinya. Jika sang ibu berkunjung sekedar untuk mengetahui
kabar anaknya, menantu itu akan berteriak dan berserapah, tak mau menerima
kunjungan sang ibu. Buncah rindu tak tertahan membuat sang ibu bak seorang
maling yang datang ke halaman rumah, sekedar melihat anaknya atau menengok
cucunya. Itu pun hanya berani dilakukan ketika si menantu tak di rumah.
Sepasang suami
istri bekerja hingga malam. Karena tak memiliki pembantu, mereka meminta bantuan
kepada ibunya. Ibu memasak, mengepel, mencuci pakaian, dan hampir semua pekerjaan
rumah tangga dibebankan kepada beliau yang renta. Masih belum cukup, kedua anak
yang mendapat limpahan harta dari orang tua kurang bisa menghormati neneknya.
…..
Cobaan itu tak
punya rumus matematis, itu rahasia ilahi.
Tak pantas
rasanya memberikan tuduhan, “Itulah balasan orang tua yang dulunya durhaka
kepada anak”. Lhah, emang kita ini hidup bersama mereka sepanjang usia, hingga
tahu dengan pasti siapa yang durhaka dan siapa yang tidak. Ada memang yang beranggapan bahwa kita akan
menerima balasan sesuai dengan apa yang kita kerjakan. Balasan itu tidak mutlak
akan diberikan di dunia lho. Bisa aja balasan diberikan di dunia karena yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosanya. Bisa juga, karena “sebiji
sawi” yang tetap disimpannya, balasan itu juga disimpan dulu sebagai deposito,
dan diberikan nantiii, entah kapan. Kita tak pernah tahu, apakah saat nantiii
itu, kita sudah punya banyak persiapan.
Banyak orang
tua, terutama ibu, yang mengalah demi kemauan menantu wanita. Hehehe, cari
cermin, ingat sejarah, saya masuk gak ya??? Memang sih, setiap rumah tangga
hanya membutuhkan satu “ratu”. Tapiii, tak ada yang salah kan,
jika menemani ibu yang sudah renta, membiarkan beliau menikmati waktu yang tak banyak tersisa bersama cucu-cucunya. Padahal kan rejeki dan kewajiban
suami masih terikat kepada ibunya meskipun dia sudah menikah. Andai kata mau, bisa saja si ibu mengulang kisah si Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu. Jika kita masih punya banyak salah kepada orang tua, terutama ibu, namun ibu tak sampai mengutuk, bersyukurlah dan segera perbaikilah.
Seorang pemuda di jaman Rasulullah, bernama Alqamah, susah menjalani sakaratul mautnya,. Dia seorang pemuda yang rajin sholat, puasa, dan sedekah, namun lalai akan perhatian kepada ibunya. Dia lebih memperhatikan istri daripada ibunya. Setelah ibunya ridho, barulah Alqamah ini mampu mengucap La ilaha illallah dengan lancar.
Perkataan seorang ibu yang disampaikan dengan sepenuh hati, seringkali menjadi kenyataan (nasib anak) yang tak disangka-sangka. Ridha orang tua, ridha Allah. Kemarahan orang tua, kemarahan Allah.
Seorang pemuda di jaman Rasulullah, bernama Alqamah, susah menjalani sakaratul mautnya,. Dia seorang pemuda yang rajin sholat, puasa, dan sedekah, namun lalai akan perhatian kepada ibunya. Dia lebih memperhatikan istri daripada ibunya. Setelah ibunya ridho, barulah Alqamah ini mampu mengucap La ilaha illallah dengan lancar.
Perkataan seorang ibu yang disampaikan dengan sepenuh hati, seringkali menjadi kenyataan (nasib anak) yang tak disangka-sangka. Ridha orang tua, ridha Allah. Kemarahan orang tua, kemarahan Allah.
Saya sendiri sering tak
sependapat dengan bapak dan ibu, tapi sudahlah, bukan untuk meyakinkan siapa
yang paling benar, tapi menghentikan debat di saat yang tepat dan menghormati
apapun pendapat mereka.
Orang tua akan semakin melemah karena aus oleh usia, pikiran, seperti halnya anak-anak lelah karena
masanya serta ingatan nilai hidup terpatri yang tak mudah berubah. Kita semua akan mengalami masa seperti mereka.
Menghormati orang tua itu wajib, apapun kesalahan mereka, karena dosa adalah pertanggungjawaban mereka dengan Allah, bukan dengan kita. Bahkan Nabi Ibrahim masih tetap menghormati orang tuanya, meskipun mereka musyrik, salah satu kejahatan utama dalam beragama. Jadi, jika orang tua kita Muslim, merawat dan mengasuh kita hingga baligh, menikahkan kita, mencintai pasangan dan anak-anak kita, adakah alasan yang lebih kuat untuk tidak menghormatinya?
Menghormati orang tua itu wajib, apapun kesalahan mereka, karena dosa adalah pertanggungjawaban mereka dengan Allah, bukan dengan kita. Bahkan Nabi Ibrahim masih tetap menghormati orang tuanya, meskipun mereka musyrik, salah satu kejahatan utama dalam beragama. Jadi, jika orang tua kita Muslim, merawat dan mengasuh kita hingga baligh, menikahkan kita, mencintai pasangan dan anak-anak kita, adakah alasan yang lebih kuat untuk tidak menghormatinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar