Rabu, 04 Juni 2014

Antara Mendengar dan Menyeduh Teh

menyeduh teh

Setahun ini, mungkin lebih, saya banyak mendengarkan tentang banyak hal. Sebagian besar di antaranya memang tentang saya sendiri, karena saya yang membuka obrolan, lalu kemudian ada beberapa “sok cenayang”, dewa lebay, serta para kepo yang turut serta :)

Awalnya sih, saya berniat menghormati hak orang lain, untuk menggunakan kecakapan berbicara tentang isi dalam benaknya, terhadap saya berikut nasib yg sedang saya lakoni. Dan ternyata, mendengar itu tak sekedar butuh telinga, tapi juga butuh hati untuk memaklumi dan otak untuk mencerna.

Ada banyak sekali orang yang lebih suka untuk didengar, tanpa berperilaku sebaliknya. Dan bila bertemu dengan mereka yg cuma mau didengar, saya merasa lagi liat lenong gratis, hehe…
Repotnya, saya yg memilih untuk menjadi pendengar, ditarik ke sana, ditarik ke sini. Begitu mau sedikit ngomong ikut nanggepi, langsung dipotong, suruh dengerin lagi.

Marah?
Nggak lah, pengen cekikikan malah, tapi kok ya gak sopan banget. Kayak majikan aja, maunya di… ga mau me…

Yang lucu lagi, dengan orang-orang yg merasa dia paling benar, trus kalo saya ngajukan pendapat lain, mereka bilang saya ngeyelan. Lho, piye to?
Padahal mengeluarkan argumen kan harusnya didasarkan data dan fakta yg sesuai. Kalo ada data baru yang lebih akurat, harusnya mau dong, menerima kenyataan dengan lapang dada. Juga perlu mengingat bahwa, kondisi setiap orang tak ada yang sama persis, tak bisa disamakan satu sama lain. Perbedaan itulah, yang kadang, tak bisa diterima begitu saja oleh sebagian orang.
Lebih lucu lagi, ketika terbukti salah, mereka malah marah, bahkan menyerang saya dengan argumen yg sama sekali tak ada hubungannya dengan diskusi sebelumnya.
Walahhh…

Setahun lalu, anak saya mendapat sebuah vonis dari sebuah rumah sakit.
Shock, jelas lah.
Nangis, ya hampir tiap hari.
Marah, teriak, dsb, dan syukurlah ga sampe bunuh diri, hehe..

Dalam setahun itu, saya bertemu banyak sekali orang yang “nunut” kasi nasib, dengan segala keterbatasan dan ketidaktahuan mereka tentang sebuah proses.

Saya, seperti biasa, berlagak bodoh, “ooo…begitu ya,”

Dianggap bodoh itu lebih menyenangkan, karena tak ada pertanggungjawaban moral untuk omongan kita *ngeles*
“omongane wong bodo kok digape..”
Hehe, ga seekstrem itu sih, just an example.

Dan ternyata, saya makan buah simalakama dari perilaku mendengar dan sikap sok bodoh itu tadi.
Nah lho..

Terlalu banyak yang diserap, sampe saringane jebol.

Tapi ok lah, tak perlu mendendam untuk para pengobral omongan tanpa kajian mendasar. Memaafkan itu mungkin berat, tapi pada jangka panjangnya, jauh lebih meringankan pikiran.

Jika dendam itu disamakan sebagai jeruk busuk, opo ya mau, anda bawa jeruk busuk itu kemana-mana?

Setahun berlalu itu telah memberi saya pelajaran yg sangat bermakna, bahwa mendengar itu seperti menyeduh teh.

Ada yg suka teh, ada yg tidak.
Ada yg mau mendengar, ada yg tidak.

Teh harus diseduh dengan air panas untuk mengeluarkan aroma dan khasiatnya.
Setiap perkataan orang tentang kita, harus dicerna dengan baik, untuk memperoleh makna sebenarnya.

Saya suka teh dengan sesendok kecil gula.
Ada yg suka teh dengan gula beberapa sendok besar.
Saya (berusaha) untuk beranggapan bahwa maksud orang menanyakan, memberitahu, menilai, adalah baik. Tanda mereka perhatian kan.. Hanya saja, cara mereka yang  kadang tidak klop dengan harapan kita. So, mau dilakoni, minum aja teh pahitnya. Mau disesuaikan, ya tambahkan rasa sesuai selera.

Butiran daun teh kering yg diseduh dan disaring, maupun teh celup dalam kantong kertas, selalu meninggalkan butiran halus di dasar cangkir. Kalo anda meminumnya sampe tandas, pasti tersedak kan..
Semua pilihan (untuk mendengar dan mengikuti), ada konsekuensi dan resiko benar salah. Jika terlalu mengamini perkataan orang, beberapa dari kita akan menyalahkan yang memberi saran. Padahal hak bertindak sebab-akibat itu ada di tangan kita. Kalo semua muanya ditelan, ya tersedak itu tadi. Ga enak.

Saya teringat dengan Professor Trelawney di serial Harry Potter yg suka meramalkan nasib melalui sisa daun teh di cangkir.
Percaya pada ramalan? Pernah sih, tapi syukurlah lupa, karena tak baik percaya ramalan itu. Hanya akan membatasi perilaku dan mematok nasib kita sendiri yang belum tentu benar.
Saya lebih melihatnya sebagai residu biasa. Melihat kelihaian seseorang meminum teh sampai tandas, hingga menyisakan beberapa tetes air dan riak daun teh atau butiran halus saringan.
Seberapa pandai seseorang menikmati hidup dengan segala aromanya, membiarkan yang buruk (tak bisa dicerna) sebagai bumbu yg memperkaya rasanya.

Dengan begitu saya berterima kasih pada dokter yang pernah sinis pada kesedihan saya. Waktu dia muncul di tv, saya kok dejavu kemarahan. Mengoyak-oyak memori, sampai kemudian ingat, “oooh, ini dulu yang tidak total dalam melayani pasien,”
Ya sudahlah, semoga dia bisa lebih baik hari ini. Semoga dia bisa baik dengan para pasien yang tidak mampu. Saya sih, ga kaya, tapi masih mampu memberikan terapi dan pengobatan yang baik untuk anak, itu sudah lebih dari cukup.

Juga kepada para terapis yang menggunakan segala kelihaiannya untuk memanfaatkan ketidaktahuan kami, memberikan informasi yang terlalu menakut-nakuti, memberikan vonis tambahan yang sebenarnya di luar wewenangnya, bahkan mengintimidasi dengan halus untuk mengikuti pola yang dia sarankan, yang UUD (ujung-ujungnya duit). Lho, memang semua pengobatan butuh biaya, tapi seperti apa, setransparan apa, dan tindak lanjutnya bagaimana.
Saya paham, bahwa semua orang membutuhkan uang, dengan caranya masing-masing. Sebenarnya kasihan juga, ketika seorang oknum akhirnya konangan “bermain di belakang”. Itu kan berarti mengurangi pemasukan bulanannya. But, hei, siapa suruh dia cari tambahan dengan cara yang tak halal (sesuai aturan dari kantornya)?

Herannya lagi, dengan dokter yang mengatakan bahwa anak saya tak apa, tapi tetap meresepkan obat seharga ratusan ribu untuk ditebus. Demi percepatan fungsi otak sih, katanya, tapi… Ya memang saya termasuk pasien yang ngeyelan mungkin, tapi saya kan saya berhak tahu apa saja yang masuk dalam tubuh anak saya. Apalagi, pemberian obat berlebihan sejak dini, bisa mengarah pada ketergantungan obat di masa dewasanya.

Ah sudahlah, panjang banget jadinya :)
Yang penting saya sudah mulai menemukan titik cerah.
Biarlah uang dan kebodohan yang pernah ada itu, sebagai sebuah mata kuliah tanpa kampus.

-February 2013-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar