sesuatu yang belum sempat dijalani ;) |
Beberapa waktu
lalu, sebuah perusahaan implant untuk telinga menelpon saya dan menawarkan
apakah saya berniat menanam plat dengar (implant) untuk anak saya, yang
gangguan dengarnya tergolong parah. Dengan lugas saya menjawab tak ada uang. Jangankan
implant, alat bantu dengar saja kami baru sanggup membeli yang semi digital, lebih murah dan juga berhubungan dengan kondisi anak. Awalnya memang sempat sedih, tapi setelah
mendapat pencerahan dan pengalaman di sana
sini, Insha Allah tak apa. Kecerdasan tak melulu ditentukan oleh alat bantu yang baik, alat hanyalah salah satu penunjang. Alasan gayanya sih, ga tega anak jadi robot karena
harus dipasang plat di dalam rumah siputnya supaya telinganya bisa bekerja
dengan proses hampir mendekati telinga normal. Padahal dengan harga satu plat
kurang lebih seharga rumah di suatu tahun, rasanya mustahil untuk bisa
menyediakan angka sejumlah itu dalam waktu singkat.
Intervensi
implant yang dini memang bisa membuat anak berbicara senormal yang lain, dengan
tingkat kegagalan 25-30%. Kemungkinan gagal antara lain tak adanya stimulant.
Lagipula implant bukan satu-satunya solusi kok, toh tak tak semua anak tuna rungu terlahir dan keluarga yang mampu kan. Sebagai penyemangat, bahwa keterbatasan bukanlah halangan, saya selalu mematrikan dalam benak, kisah Heller Keller dan Thomas Alva Edison.
Tapi kemudian,
bagaimana jika saya memiliki uang cukup banyak yang memungkinkan saya untuk
implant berapa kali pun? Masihkah ada kemungkinan idealis, anak saya tak akan
implant? Terkadang, kekuatiran berbanding lurus dengan jumlah harta benda yang
kita punyai. Karena punya uang, gampang aja pergi ke dokter. Betul, demikian?
Nyaman itu
racun, saudara.
Macaulay
Culkin kecil, keren dan larisnya minta ampun. Begitu besar, eh terkena
pengaruh obat bius, nikah usia muda dan tak bisa lagi mengulang kejayaan masa
kecilnya. Kabarnya, orang tua si Mac imut ini dulu memforsir sehingga dia
kehilangan masa kanak-kanaknya demi pekerjaan. Misalnya saya ada di posisi orang tuanya, bisa nggak ya saya tidak mempekerjakannya. Seperti si Mulan Jameelah yang
mempekerjakan Safeea yang usainya baru tiga tahun. Banyak yang menuduh pasangan ini (Mulan-Dhani) kemaruk, hehehe..
Bobo Ho, yang bernama asli Hao Shaowen, tak berkenan mengulang kejayaan masa kecilnya. Si gundul yang jahilnya minta ampun, yang selalu jadi appetizer yang unik pada semua film yang dibintanginya. Begitu beranjak remaja, dia tak lagi menlanjutkan karirnya yang pernah begitu cemerlang di dunia seni. Dia memilih bekerja di toko es krim demi membiayai kuliahnya. Itu semua atas permintaan orang tuanya dan dia menuruti sebagai bentuk baktinya kepada mereka.
Gampang sekali
untuk mengatakan, hai orang-orang berdermalah. Padahal sewaktu kita punya uang, bisa tidak sih tercapai cita-cita itu. Salut banget yang masih konsisten berhubungan
dengan uang, karena seperti yang banyak dibilang, uang itu banyak “penunggunya”.
Maksudnya, jika anda sudah punya banyak, belum tentu anda ingat akan apa yang
ingin dilakukan, apalagi yang tak berhubungan langsung dengan kesejahteraan kita.
Seperti juga kampanye dan demo, gampang banget utuk menebar janji ketika kita belum benar-benar
berada di dalamnya, belum mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi pemimpin
dengan gelimangan lembaran kemewahan dan berbagai fasilitas yang melenakan
diri. Hehehe, nyambung lagi deh ke capres.
Mensyukuri itu penting.
Berusaha juga tak kalah penting.
Berangan-angan juga tak dilarang, asal jangan berlebihan, dan masih ingat daratan. Jadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar