“Allah akan memberikan
pertunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya…”
Sepertinya kok, mengikuti sindiran seorang seniman, tuhan yang maha
sekarepe dewe.
Kalau
menghubungkan dengan berbagai macam teori kekuasaan, power itu bisa melakukan
apa saja untuk kesenangannya. Tapi…
“Sesungguhnya
kamu tak akan sanggup mengukur nikmat yang kuberikan kepadamu…”
“Bersyukurlah maka nikmatmu akan kutambah, jika tidak maka azabku akan sangat pedih.”
Sebagai manusia
yang sebenarnya diprotes oleh malaikat sewaktu penciptaannya,
“Sesungguhnya Aku
tahu apa yang kulakukan…”
Juga sebagai
sasaran empuk para penantang kebaikan,
“dan aku akan
menggoda anak cucu adam, hingga mereka berpaling…”
Yang diciptakan
dari air mani yang hina, namun dijadikan sempurna sebagai khalifah di muka bumi
ini,
“Jadilah kamu khalifah
di muka bumi…”
Hingga
memunculkan pamungkas
“...dan karunia bagi
orang yang memiliki dan menggunakan akalnya untuk berpikir.”
Umroh
bolak-balik, haji bolak-balik, katanya sih panggilan. Padahal kan itu kewajiban kelima,yang dilakukan jika
mampu, dan tak harus dilakukan berkali-kali. Seharusnya sekali saja cukup, Nabi pun demikian, meski jaraknya terhitung cukup dekat.
“dan kutinggikan
sebagian darimu utuk memberikan manfaat kepada yang lain…”
Nah bukannya
sedekah itu berada di atas haji, kenapa tak disalurkan dengan menghajikan orang
lain. Sebelum marah dan banyak protes kepada kaum misionaris atau usaha konspirasi, sebaiknya kita berkaca dulu, sebanyak apa kepedulian dan empati kita pada sesama (muslim) yang kekurangan. Lebih
baik bertindak daripada main tuduh dan main emosi sewot dengn pergerakan mereka
yang kebanyakan menyasar dari berbagi pose, dari berbagai kalangan ekonomi,
mengelola emosi dengan baik, dan juga berani mengucurkan harta benda demi kemaslahatan umat yang
mereka jadikan kesatuan.
“Aku kok belum pengen umroh ya, katanya panggilan,
kok aku ga dipanggil-paggil,”
Hehehe, langut belum waktunya menggunakan TOA untuk memanggil kita ke tanah suci kan. Manusia itu berakal dan berpikir
sebagai hakekat dirinya.
“cogito ergo
sum”
Aku berpikir
maka aku ada.
Bukankah "dipanggil" itu karena memiliki criteria. Seperti halnya nama yang anda panggil karena
melekat pada anak yang bersangkutan. Jika sekedar hei, maka semua orang akan menoleh.
Supaya dipanggil
dan mendapat hidayah, kita ini sudah berbuat apa saja. Mengaku sebagai umat Islam, apakah sudah
menjalankan keempat rukunnya dengan baik, apakah sudah mengimani keenam rukun
iman dengan semestinya? Jika itu semua belum sempurna, lalu apa sih yang
memberatkan kita untuk dipanggil?
“Kamu akan
dinilai sesuai dengan yang kamu usahakan. Kamu tak akan menanggung dosa orang
lain.”
Meski dengan konsep dasar rukun Islam dan rukun iman, namun langit juga memiliki hak
prerogative untuk memilih siapakah yang memiliki usaha terbaik untuk sampai ke sana. Itu juga tak melulu
soal kaya atau miskin. Sudah dengar banyak cerita kan, soal pemulung, tukang bakso, tukang
becak, dan banyak kaum yang secara ekonomi tidak mungkin, sanggup naik haji,
dengan mengumpulkan receh demi receh hingga cukup, atau bahkan mendapat
mukjizat untuk sampai kesana.
Bagaimana dengan
para muallaf yang tiba-tiba saja menjadi muslim tanpa bekal apapun?
Setahu saya,
para muallaf selalu memiliki “intro” sebelum masuk Islam, ada yang lewat teman,
keluarga, musibah, dan sebagainya.
Ada juga yang masuk tanpa
intro apapun, dan mereka itulah orang yang terpilih. Siapakah orang terpilih?
Ya tentu saja rahasia ilahi.
Sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, mari kita coba gunakan semuanya
dengan baik dan maksimal untuk menjemput hidayah.
Hidayah tak datang tiba-tiba, perlu intro dan latar belakang untuk hadir.
Hidayah tak datang tiba-tiba, perlu intro dan latar belakang untuk hadir.
gambar dari komunitasmuhajirin.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar