Senin, 07 April 2014

HIDAYAH, come to me




“Allah akan memberikan pertunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya…”

Sepertinya kok, mengikuti sindiran seorang seniman, tuhan yang maha sekarepe dewe.
Kalau menghubungkan dengan berbagai macam teori kekuasaan, power itu bisa melakukan apa saja untuk kesenangannya. Tapi…

“Sesungguhnya kamu tak akan sanggup mengukur nikmat yang kuberikan kepadamu…”

“Bersyukurlah maka nikmatmu akan kutambah, jika tidak maka azabku akan sangat pedih.”

Sebagai manusia yang sebenarnya diprotes oleh malaikat sewaktu penciptaannya,
 “Sesungguhnya Aku tahu apa yang kulakukan…”

Juga sebagai sasaran empuk para penantang kebaikan,
“dan aku akan menggoda anak cucu adam, hingga mereka berpaling…”

Yang diciptakan dari air mani yang hina, namun dijadikan sempurna sebagai khalifah di muka bumi ini,
“Jadilah kamu khalifah di muka bumi…”

Hingga memunculkan pamungkas
“...dan karunia bagi orang yang memiliki dan menggunakan akalnya untuk berpikir.”

Umroh bolak-balik, haji bolak-balik, katanya sih panggilan. Padahal kan itu kewajiban kelima,yang dilakukan jika mampu, dan tak harus dilakukan berkali-kali. Seharusnya sekali saja cukup, Nabi pun demikian, meski jaraknya terhitung cukup dekat.

“dan kutinggikan sebagian darimu utuk memberikan manfaat kepada yang lain…”
Nah bukannya sedekah itu berada di atas haji, kenapa tak disalurkan dengan menghajikan orang lain. Sebelum marah dan banyak protes kepada kaum misionaris atau usaha konspirasi, sebaiknya kita berkaca dulu, sebanyak apa kepedulian dan empati kita pada sesama (muslim) yang kekurangan. Lebih baik bertindak daripada main tuduh dan main emosi sewot dengn pergerakan mereka yang kebanyakan menyasar dari berbagi pose, dari berbagai kalangan ekonomi, mengelola emosi dengan baik, dan juga berani mengucurkan harta benda demi kemaslahatan umat yang mereka jadikan kesatuan.

 “Aku kok belum pengen umroh ya, katanya panggilan, kok aku ga dipanggil-paggil,”
Hehehe, langut belum waktunya menggunakan TOA untuk memanggil kita ke tanah suci kan. Manusia itu berakal dan berpikir sebagai hakekat dirinya.
“cogito ergo sum”
Aku berpikir maka aku ada.

Bukankah "dipanggil" itu karena memiliki criteria. Seperti halnya nama yang anda panggil karena melekat pada anak yang bersangkutan. Jika sekedar hei, maka semua orang akan menoleh.
Supaya dipanggil dan mendapat hidayah, kita ini sudah berbuat apa saja. Mengaku sebagai umat Islam, apakah sudah menjalankan keempat rukunnya dengan baik, apakah sudah mengimani keenam rukun iman dengan semestinya? Jika itu semua belum sempurna, lalu apa sih yang memberatkan kita untuk dipanggil?

“Kamu akan dinilai sesuai dengan yang kamu usahakan. Kamu tak akan menanggung dosa orang lain.”
Meski dengan konsep dasar rukun Islam dan rukun iman, namun langit juga memiliki hak prerogative untuk memilih siapakah yang memiliki usaha terbaik untuk sampai ke sana. Itu juga tak melulu soal kaya atau miskin. Sudah dengar banyak cerita kan, soal pemulung, tukang bakso, tukang becak, dan banyak kaum yang secara ekonomi tidak mungkin, sanggup naik haji, dengan mengumpulkan receh demi receh hingga cukup, atau bahkan mendapat mukjizat untuk sampai kesana.

Bagaimana dengan para muallaf yang tiba-tiba saja menjadi muslim tanpa bekal apapun?

Setahu saya, para muallaf selalu memiliki “intro” sebelum masuk Islam, ada yang lewat teman, keluarga, musibah, dan sebagainya.
Ada juga yang masuk tanpa intro apapun, dan mereka itulah orang yang terpilih. Siapakah orang terpilih? Ya tentu saja rahasia ilahi.

Sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, mari kita coba gunakan semuanya dengan baik dan maksimal untuk menjemput hidayah.
Hidayah tak datang tiba-tiba, perlu intro dan latar belakang untuk hadir. 

gambar dari komunitasmuhajirin.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar