Sabtu, 19 April 2014

Hamil itu .....


 
“Pa, mama hamil lagi ya?” pinta seorang ibu pada suaminya.
“Kenapa ma, kan anak kita belum segenap setahun,”
“Ya biar papa sayang terus sama mama. Kan kalo lagi hamil, mama disayang terus.”
Hehehe, bukan tentang saya, tapi nyomot cerita teman. Di dalam keluarga, ibu hamil itu dijaga bener dan disayang-sayang. Di lingkungan umum, ibu hamil memiliki banyak pemaafan dan pemakluman. Ga suka mandi, males-malesan, ga suka makan karena mual terus, tiba-tiba suka makan di warung, suka makan pedas tapi ga habis, suka bau ketek suami, minta makan sambil ngelus kepala gundul, dan banyak lagi keanehan ibu hamil, yang sering dialihkan kepada “bawaan jabang bayi”. Kasihan ya bayinya, belum lahir udah dituduh macam-macam.

Dua kali hamil saya merasa bahwa bawaan bayi itu memang beda, meski alhamdulillah ga ada yang aneh-aneh banget. Bayi pertama udah pasti manjanya minta ampun karena ditunggu-tunggu. Sedangkan hamil kedua, karena jaraknya lumayan dekat, jadi ya agak ditutup-tutupi karena malu, hehe… Padahal sudah dan masih sah lho, sebagai suami istri. Sempat kucing-kucingan sama teman sekantor, baru ngaku setelah hampir lima bulan, karena mulai mecungul kelihatan.

Ketika mengunjungi bapak teman yang sedang sakit, tiba-tiba saya merasa mual dan meninggalkan ruangan. Ibunya bertanya pada teman saya yang lain,
“Lagi isi ya, kok mual terus?”
An ordinary question actually.
Teman-teman saya yang tahu langsung aja, rebutan bicara demi menutupinya. Saya meminta mereka menjaga rahasia sampai saya siap bikin konferensi pers, halah…
“Oh enggak bu, masuk angin aja kok,”
“Oh iya tadi belum makan siang,”
“Ada maag,”
Hihihi, saya berterimakasih sekali pada mereka yang bersedia bersusah payah menutupinya. Wanita hamil kan harus berusaha berperilaku baik juga, demi si jabang bayi, pada akhirnya saya tetap mengatakan yang sebenarnya, dengan kunci yang sama, “Jangan bilang yang laen dulu ya…”
Lagipula, mana bisa menutupi sebuah rahasia kehamilan dari ibu (manapun), yang nalurinya sudah tergembleng sekian belas atau puluh tahun.  Coba deh, tes aja beberapa wanita yang hamil dan tidah hamil dengan penampakan fisik yang belum berubah. Ibu-ibu kita pasti akan dengan mudah mengetahui siapa yang hamil dan siapa yang tidak. Bahkan di usia yang belum matang benar, seorang ibu sudah curiga.
“Kok wajahnya pucat ya, jangan-jangan lagi isi ya.”

Hamil anak kedua yang berdekatan, situasi keluarga yang belum stabil antara lain gonta-ganti pembantu, dan banyak lagi, membuat saya bersusah payah menjaga mood sendiri. Mood yang stabil dan selalu bahagia adalah sekian kondisi mental yang harus lebih banyak dipersiapkan. Kadang bisa, kadang datang ke kantor dengan mata sembab, hehehe. Yaaah, namanya usaha, mempertahankan diri itu banyak tantangannya. Syukurlah, secara keseluruhan, lumayan berhasil sampai kelahiran si jabang bayi.

Masih nekat wara wiri naek motor kemana-mana, karena demi mobilitas dan juga ngirit biaya. Waktu itu si kakak masih dititipkan disana sini, sehingga naek motor adalah transportasi termudah dan termurah untuk mencapai tujuan. Masih dengan kecepatan kura-kura, menembus jalanan Surabaya yang kadang  demikian padat dan rumit. Lagi-lagi, memang tergantung calon jabang bayi juga, sesuatu yang ga terduga.

Suatu hari saya mesti mengunjungi si kakak yang dititipkan ke Malang. Saya dianjurkan naek kereta api di Sabtu sore seusai pulang kantor. Sebenarnya pengen ikut boncengan motor aja, tapi ga boleh. Bisa dibayangin dong, ramainya stasiun sore itu bersama pemudik lain, apalagi saat itu karcisnya masih bebas, alias bisa duduk atau berdiri tergantung usaha dan kesempatan.

Hamil saya belum terlalu kelihatan, jadi saya hanya bisa berdoa semoga dapat tempat duduk. Jika ga dapat, semoga aja ga semaput di jalan, semoga dikuatkan. Itu aja, udah bertekad ga boleh manja meski hamil. Kebetulan juga hamilnya ga rewel kayak hamil pertama, jadinya memberanikan diri naek kendaraan umum sendiri. Jangan salahkan suami saya yang mengijinkan saya ya, tapi salahin saya aja yang bandel naek sendirian. Maklum hanya bisa ketemu anak sulung seminggu sekali, itupun jika badan sedang fit. Jika tidak, terpaksa nitip salam aja *eh*.

Ketika duduk di bangku menunggu kereta datang, seorang bapak tiba-tiba sering melihat ke arah saya, sampai saya salah tingkah. Saat kereta datang, saya mengantri dengan pasrah, biar ajalah jadi yang terakhir yang penting selamat dan ga perlu berdesakan. Ternyata si bapak itu buru-buru naek lalu ngasi jalan buat saya.
“Ayo mbak, sini naek,” katanya seraya mengangsurkan tangannya menarik saya naek, mendahului beberapa penumpang yang sebelumnya di depan saya.
Agak malu juga sih, karena dalam hati berprasangka macam-macam. Sampai di atas kereta, bapak itu juga yang sibuk memintakan tempat duduk buat saya dan yang dimintai tempat duduk juga langsung ngasi tanpa babibu. Pengen mewek lebay karena sama sekali saya ga berharap dapat perlakuan seperti ini. Saya pikir si bapak akan bertanya macam-macam, seperti kenapa tak diantar suami, ini, itu, dan sebagainya. Ternyata tidak, si bapak tetap santun ngobrol seperlunya dan hanya berpesan hati-hati ketika saya mau turun.

Lain hari, ketika pergi ke rumah sakit, dan mesti menyeberang jalan, seorang bapak tiba-tiba pasang badan di sebelah saya membantu menyeberang. Lagi-lagi, saya nunggu sepi aja deh, biar lama, biarin asal saya ga terbirit-birit dengan perut melendung ini. Padahal mana mungkin lalu lintas sepi di siang bolong.
Masih belum selesai, naek angkot (bison) yang pas sepi penumpang. Seorang ibu naek dengan membawa belanjaan dan sekeranjang rambutan.
“Blonjo opo ae, mak?” tanya si kenek yang ternyata udah kenal dengan si ibu.
“Rambutan, arep ta?” tawar si ibu seraya memetik sebiji rambutan untuk si kenek.
“Lhah, siji tok, meneh,” pinta si kenek dan si ibu kembali memberikan sebiji lagi.
“Nih mbak, buat sampean” kata si kenek seraya mengangsurkan rambutan itu pada saya yang duduk di dekat si kenek. Eh, saya ga sedang tampang meminta lho.
“Lho?” saya kaget.
“Udah mbak, makan aja, sampean kan lagi hamil,” seloroh si kenek. Saya terima aja demi menghargainya, meski hanya sebiji buah rambutan. Sementara si ibu menawarkan apakah saya mau lagi. Saya tersenyum, menggeleng. Maunya sih semua, tapi kan harus beli sendiri, hehehe… Entah kebetulan atau apa, anak saya sekarang suka banget sama rambutan.
Alhamdulillah, ketemu para bapak yang baik, semoga anak istri mereka juga mendapatkan kebaikan serupa atau lebih.

Saya juga enggak mengecam penumpang yang sebel sama ibu hamil, yang akhirnya minta maaf. Lucu juga sih kalau baca beritanya, dari dua sisi yang berbeda. Sisi pembela ibu hamil dan sisi penentang ibu hamil, tapi ga ada yang hamil sendiri yang angkat bicara. Si penentang ga terima dimintain tempat duduk antara lain karena dia anggap itu si ibu hamil yang pemalas, ga mau berangkat pagi kayak ibu hamil yang lain. Dia juga mesti berangkat pagi, ganti transport sampe tiga kali sebelum naek kereta, dan kakinya lagi sakit (maaf, pincang).

Memang sih, seharusnya ibu hamil itu ga perlu masuk ke angkutan umum. Kalaupun nekat, tetap harus punya pandangan jangan minta dikasihani, berusaha kuat. Kalaupun ga kuat, pilihannya jangan pergi naik angkutan umum atau pergi bersama suami atau kerabat. Di hamil anak pertama, saya ga berani naek kendaraan umum, kecuali dibarengin suami. Itu juga demi kebaikan saya dan bayi juga, supaya tak repot sendirian di jalan dan tak merepotkan orang yang tak dikenal.

Hamil itu boleh aja manja (entah emaknya cari kesempatan atau bawaan si bayi), tapi jangan sama sembarang orang manja. Sama orang rumah wajar lah. Tapi kalau di tempat umum, mau tak mau harus bersiap juga kalau banyak hal ga bisa pro dengan kondisi ibu hamil.
Menggerutu sama orang hamil juga salah, karena bisa kualat. Hehehe, kok jadi kayak ngasi nasib ke orang gini ya. Siapapun, pasti akan berhubungan dengan orang hamil kan, entah itu dirinya sendiri, ibu, anak, saudara, pasien, teman, dan banyak lagi.

Berhubung bawel di depan umum bisa bikin kericuhan dan keburu waktu untuk kerja, akhirnya media social yang jadi tempat penumpahan. Teknologi itu kan ibarat mata pisau, bisa sangat berguna, tapi sekali teledor bisa melukai diri sendiri Yang sebelumnya bisa nahan amarah, jadi merasa perlu meluapkan dan punya ruang yang luas di media social. Memang sih, ga berharap semua orang akan bisa menyukai hal yang sama, seperti juga bahwa tak ada ukuran yang sama antara rahasia dan tidak, penting ga penting, inspiratif, sepele, dan sebagainya. Tapi kalau kasusnya sensitive seperti ini ya memicu pertikaian juga. Jika memang bully-wannabe, sekalian aja bahas politik dan artis, dan bersiaplah dapat serangan fajar hingga rembulan datang, hehehe… Padahal lagi kalo dilihat duduk perkaranya baik-baik, ya akhirnya kita tahu siapa yang sebenarnya ga pas.  

Jadi ibu hamil mesti mandiri juga, atau di rumah aja supaya banyak yang menolong kalau ada apa-apa. Jikapun terpaksa bepergian sendirian, banyaklah berdoa, saya yakin masih banyak orang baik. Jika belum hamil, selalu berbuat baik tak pernah salah, ntar balik lagi ke kita juga kok, di saat yang tepat.

gambar dari artikelmuslimah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar