Selasa, 08 April 2014

JOGJA: (tak) KEMBALI


jauh dari kota


Pak Deo (saya ga tau namanya, sebut saja demikian), adalah pemilik laundry kiloan dekat rumah. Melihat anak saya super umek, belum bisa bicara karena gangguan pendengaran dari kecil, beliau menyarankan kami (saya dan suami) menemui pak Wow (juga bukan nama sebenarnya). Anaknya pak Wow ini disekolahkan di daerah tengah, tanpa alat bantu, dan ketika kembali ke orang tuanya lagi, dia sudah mahir berbicara dan bersekolah di umum.   

Ngiler? Tentu saja. Apalagi intimidasi halus namun terus menerus dari terapis yang pernah saya datangi, semakin memperkuat alasan untuk menyekolahkan anak di sekolah yang mumpuni. Sekolah itu adalah asrama Katolik, meski pak Wow sudah membesarkan hati bahwa banyak juga yang berasal dari agama dan daerah lain. Namun yang lebih memberatkan adalah system asrama, artinya mau tak mau harus mandiri sejak balita. Hiks, kebayang gak sih berat hatinya ibu?

Ternyata asrama yang digagas sejak jaman Belanda ini sudah menghasilkan banyak lulusan, yang kemudian mendirikan di kota lain, tapi masih di wilayah tengah dan barat, antara lain di Jogja, tapi bukan system asrama, jadi anak masih bisa ditemani orang tuanya.

Terus terang saja, saya langsung jatuh cinta begitu dipersilakan untuk observasi anak di SLB di daerah tengah ini. Dalam sehari intensif (masuk kelas), beberapa guru sudah bisa menilai anak saya dengan tepat, sesuai dengan sebagian pendapat saya, sebagai ibu yang melihatnya setiap hari. Selama ini saya sering kecewa karena pendapat saya tak sesuai, bahkan cenderung disalah-salahkan. Hihihi, subyektifitas emak sekali yak.

Tak hanya itu, anak saya juga yang terlihat paling menikmati keberadaanya, dengan banyak mengoceh dan semua anak menyambutnya dengan sukacita. Bukan saja karena mereka memiliki gangguan yang sama, namun karena iklim yang dibangun oleh pihak manajeman sekolah adalah iklim yang bersahabat. Sekolah itu tak hanya milik pengajar dan muridnya, namun juga milik para pekerja di dalamnya, antara lain tenaga kebersihan dan tenaga logistic. Selain rajin mengoceh, Ken juga bisa duduk lebih lama daripada biasanya, sebuah rekor yang harus dibukukan, hehe...

                                                                      belajar meniup

Selama tiga hari observasi, nyaris tak ada gangguan berarti, tak ada acara mogok, karena gurunya banyak, siap turun tangan semua. Guru yang banyak hanya di kelas TK, di kelas SD hanya satu atau dua jika perlu. Gurunya aktif ngomong semua, masih ditambah dengan suasana kelas yang penuh dengan tulisan stimulant, seperti Terima Kasih, Silakan Masuk, Ayo Berdoa, dan sebagainya. Meski banyak bermainnya, anak sudah dikenalkan dengan penggunaan bahasa secara maksimal sejak dini. Bahasa ya, bukan per kata. Tentu saja, karena bahasa itu lebih kompleks, bisa dibayangkan berapa kali guru harus mengulang satu per satu dengan anak-anak yang pendengarannya terbatas.

Apakah kemudian menjamin anak bisa bicara?
Tergantung pada kemampuan masing-masing anak dan juga bagaimana peran serta orang tua. Oleh karena itu semua cara selain bahasa isyarat, dikerahkan, seperti melalui tulisan dan lips reading. Seorang anak yang cukup cerdas, kelas 4, berbicara dengan lancar tanpa alat bantu, tak menunjukkan bahwa dia seorang anak tuna rungu, kecuali bahwa saya harus menatapnya jika berbicara dengannya. Joni, sebut saja demikian, berbicara dengan gaya normal, namun begitu berkumpul dengan teman-temannya dia menyesuaikan dengan gaya bicara mereka, yang tak semuanya semampu dia. Ken sempat dikira sebagai adiknya Joni, karena wajahnya mirip. Semoga Ken juga bisa semahir itu nantinya, amin.  

Ketika saya pamit pulang untuk mendapat persetujuan suami, seorang guru penanggungjawab mengatakan,
“Jika ibu tak kembali, saya paham, karena berat berpisah dari keluarga. Kunci supaya anak mau berbicara, terus ajak komunikasi dengan berbagai cara, terus saja, ulang lagi, mereka akan menyimpan dan menggunakannya suatu hari.”

Saya pulang dari Jogja dengan mewek, kapan ya bisa kembali untuk menyekolahkan anak di sekolah yang sebagus ini. Meski sebenarnya dalam hati kecil ini teringat terus bahwa pendidikan pertama terbaik bagi anak harus dimulai dari keluarga. Juga pendapat beberapa guru yang mengatakan bahwa sebenarnya Ken sudah bisa bicara, tapi anaknya enggan. Jika memang demikian, berarti seharusnya bisa saya kejar disini (dekat rumah).

Suami keberatan jika kami semua berjauhan, meski juga ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, one stop aja, ya terapi ya sekolah.
“Kalau hidup bertiga (saya dan dua anak) dengan uang sekian, cukupkah?” tawar suami, memberikan sebuah angka untuk bertahan hidup selama di sana.
Beberapa hari tinggal di Jogja, saya sudah mulai memperkirakan bahwa biaya hidup bisa diakali, sedangkan transportasi harga pasti. Biaya hidup dan uang sekolah, ok lah. Lalu bagaimana degnan transport, kunjungan, rekreasi untuk anak-anak, dan beberapa kebutuhan mendesak lainnya, di sebuah tempat yang benar-benar baru bagi kami semua.
Dasar saya tukang nekat, hehe, “Coba aja dulu,”

Suami tetap menyarankan, “Yuk kita cari yang di sini dulu, di sana kan jauh…”
Saya menuruti kemauan beliau untuk mencari sekolah lain di wilayah kami. Sekolah pertama di tengah kota, saya hanya ditemui adminnya, tak diperkenalkan dengan guru dan sistem sekolahnya. Sekolah kedua, yang hampir mendekati sekolah di Jogja, tapi hampirnya masih jauh, alias saya memaksa daripada harus jauh. Keduanya menggunakan bahasa isyarat sebagai pengantar, dan sebenarnya saya sudah kecewa dari awal.

Ketika saya melihat seorang murid bisa berbicara dengan suara sengaunya, bu guru sudah mematahkan duluan bahwa kemampuan bicara tergantung sisa pendengaran.
“Anak tadi bisa bicara ya, bu?” tanya saya.
“Itu karena masih banyak sisa pendengarannya,” beliau menanggapi saya secepat kilat, hehe, seolah takut jika saya berharap terlalu banyak.
Padahal belum tentu. Jika anaknya cerdas, dengan gangguan pendengaran tingkat parah dia masih bisa bekerja dengan mengandalkan alat bantu, mata, atau yang lain. Ken masuk yang parah, tapi ga tau kemampuannya masuk yang mana.  

Belum lagi ketika beliau terlihat jengah dengan Ken yang banyak umek, dan mengatakannya sebagai ADHD. Hiyaaa..
“Lho saya udah beberapa kali ke psikolog dan ini bukan ADHD” protes saya.
“Ah kebanyakan teori.” katanya sinis.
Hahaha, ndagel guru ini, kuat teorinya siapa, yang observasi selama beberapa jam dalam beberapa kali pertemuan, atau beliau ini yang baru ketemu beberapa menit dan langsung memberikan diagnosa handalnya. dan langsung nuduh aja.
“Tuh lihat,” tambahnya lagi dengan bahagia merasa dia benar.
Lha kok ndilalah si Ken, seperti membenarkan tuduhan. Dia pukul-pukul meja dengan antusiasnya dan tak mau melakukan kontak mata sama sekali. Sandiwara apa lagi ini, nak? Mungkin saja dia merasa tak nyaman. Biasanya, di tempat baru dia lebih suka observasi ke sana kemari daripada pukul-pukul meja.  

Demi sebuah percobaan sekolah, terpaksa, Ken sekolah di situ. You know what, rasanya abis dari sekolah bagus lalu ke sekolah standar itu, hmmm. Belum lagi gurunya yang super acuh dan beberapa kali menggunakan unsur kekerasan yang diperhalus. Karena murid baru, ibunya diperkenankan ikut kelas dan saya tahu sendiri bagaimana kasar dan acuhnya.
“Kok muridnya dijewer, pak?” tanya saya hati-hati. Meski agak maklum untuk menarik perhatian mereka yang masih main dan susah memperhatikan. Beliau lalu menjelaskan serangkaian alasan yang berhubungan dengan akupuntur. Ooo, saya tak paham, tapi saya sudah mulai ancang-ancang angkat kaki, hihihi…   

Mewek lagi, gagal lagi. Oalah nak, susah amat ya sekolah yang aman dan nyaman bagi muridnya, di mana murid, guru, orang tua, dan semua petugas sekolah bersinergi demi kegiatan belajar mengajar yang baik. Atau kurang banyak mencari ya, demi mengingat orang tua anak autis yang mencoba hingga 26 sekolah demi anaknya...

Ada satu hal yang saya lupa, mood anak. 
Ini adalah sekolah ketiga yang saya cobakan padanya. Sekolah pertama mogok berkali-kali, sekolah kedua di sekolah impian itu yang hanya beberapa hari, sekolah ketiga dia mogok lagi. Tak mau pakai baju batik seragam hari itu, malah asik lihat kartun pagi di tv. Berkali-kali dirayu tak mempan, kali ini dia tidak tantrum seperti dulu. Dia melancarkan rayuan dengan membelai dan menciumi saya seolah mengatakan bahwa dia tak mau sekolah, lalu membuang baju batik yang harus dipakainya.
Jika saya sekolahkan di Jogja, mungkin dia akan lebih bahagia, meski masih ada kemungkinan dia tak mau sekolah atau mogok.

Bingung.
Namun begitu melihat kakak dan adiknya berebut pelukan dan gendongan ketika ayahnya pulang kerja, saya rasa saya tak bisa memisahkan mereka begitu saja. Ada saat nanti mereka besar dan tak mau lagi bersentuhan dengan ayahnya. Masa itu yang tak akan tergantikan. Toh, pendidikan di sekolah juga bukan satu-satunya jalan menuju terdidik.
Seperti pesan seorang teman, yang berkali-kali memastikan agar saya legowo dengan semua keputusan,
“Anggap saja sekolah singkat di Jogja sebagai pengalaman. Jangan disesali”
Sementara ada teman yang menunggu, menyiapkan sebuah ajakan menggiurkan tentang sebuah karir. Saya uda melambung, dan saya kembali memastikan dalam hati, yang sebenarnya butuh Jogja itu saya, atau anak saya? Begitu pentingnya kah sekolah yang dini, demi menggantikan waktu berkualitas bersama orang tua lengkap mereka dalam durasi yang tak berulang?

Jalan menuju "normal" itu tak sama. Jika memang fasenya lebih lambat atau bahkan berbeda dengan pada umumnya? Teringat nyanyian Dory dalam film Finding Nemo yang selalu think positive, "just keep swimming, just keep swimming,..." Buat saya, "just keep trying, just keep trying..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar