jauh dari kota
Pak Deo (saya ga
tau namanya, sebut saja demikian), adalah pemilik laundry kiloan dekat rumah. Melihat
anak saya super umek, belum bisa bicara karena gangguan pendengaran dari kecil,
beliau menyarankan kami (saya dan suami) menemui pak Wow (juga bukan nama
sebenarnya). Anaknya pak Wow ini disekolahkan di daerah tengah, tanpa
alat bantu, dan ketika kembali ke orang tuanya lagi, dia sudah mahir berbicara
dan bersekolah di umum.
Ngiler? Tentu saja.
Apalagi intimidasi halus namun terus menerus dari terapis yang pernah saya
datangi, semakin memperkuat alasan untuk menyekolahkan anak di sekolah yang mumpuni. Sekolah itu adalah asrama Katolik, meski
pak Wow sudah membesarkan hati bahwa banyak juga yang berasal dari agama dan
daerah lain. Namun yang lebih memberatkan adalah system asrama, artinya mau tak
mau harus mandiri sejak balita. Hiks, kebayang gak sih berat hatinya ibu?
Ternyata asrama
yang digagas sejak jaman Belanda ini sudah menghasilkan banyak lulusan, yang
kemudian mendirikan di kota
lain, tapi masih di wilayah tengah dan barat, antara lain di Jogja, tapi bukan system
asrama, jadi anak masih bisa ditemani orang tuanya.
Terus terang saja,
saya langsung jatuh cinta begitu dipersilakan untuk observasi anak di SLB di
daerah tengah ini. Dalam sehari intensif (masuk kelas), beberapa guru sudah bisa
menilai anak saya dengan tepat, sesuai dengan sebagian pendapat saya, sebagai
ibu yang melihatnya setiap hari. Selama ini saya sering kecewa karena pendapat
saya tak sesuai, bahkan cenderung disalah-salahkan. Hihihi, subyektifitas emak sekali yak.
Tak hanya itu,
anak saya juga yang terlihat paling menikmati keberadaanya, dengan banyak mengoceh
dan semua anak menyambutnya dengan sukacita. Bukan saja karena mereka memiliki
gangguan yang sama, namun karena iklim yang dibangun oleh pihak manajeman
sekolah adalah iklim yang bersahabat. Sekolah itu tak hanya milik pengajar dan
muridnya, namun juga milik para pekerja di dalamnya, antara lain tenaga
kebersihan dan tenaga logistic. Selain rajin mengoceh, Ken juga bisa duduk lebih
lama daripada biasanya, sebuah rekor yang harus dibukukan, hehe...
Selama tiga hari
observasi, nyaris tak ada gangguan berarti, tak ada acara mogok, karena gurunya
banyak, siap turun tangan semua. Guru yang banyak hanya di kelas TK, di kelas
SD hanya satu atau dua jika perlu. Gurunya aktif ngomong semua, masih ditambah
dengan suasana kelas yang penuh dengan tulisan stimulant, seperti Terima Kasih,
Silakan Masuk, Ayo Berdoa, dan sebagainya. Meski banyak bermainnya, anak sudah
dikenalkan dengan penggunaan bahasa secara maksimal sejak dini. Bahasa ya,
bukan per kata. Tentu saja, karena bahasa itu lebih kompleks, bisa dibayangkan
berapa kali guru harus mengulang satu per satu dengan anak-anak yang pendengarannya
terbatas.
Apakah kemudian
menjamin anak bisa bicara?
Tergantung pada
kemampuan masing-masing anak dan juga bagaimana peran serta orang tua. Oleh karena
itu semua cara selain bahasa isyarat, dikerahkan, seperti melalui tulisan dan
lips reading. Seorang anak yang cukup cerdas, kelas 4, berbicara dengan lancar
tanpa alat bantu, tak menunjukkan bahwa dia seorang anak tuna rungu, kecuali
bahwa saya harus menatapnya jika berbicara dengannya. Joni, sebut saja
demikian, berbicara dengan gaya normal, namun
begitu berkumpul dengan teman-temannya dia menyesuaikan dengan gaya bicara mereka, yang tak semuanya semampu
dia. Ken sempat dikira sebagai adiknya Joni, karena wajahnya mirip. Semoga Ken juga
bisa semahir itu nantinya, amin.
Ketika saya
pamit pulang untuk mendapat persetujuan suami, seorang guru penanggungjawab
mengatakan,
“Jika ibu tak
kembali, saya paham, karena berat berpisah dari keluarga. Kunci supaya anak mau
berbicara, terus ajak komunikasi dengan berbagai cara, terus saja, ulang lagi,
mereka akan menyimpan dan menggunakannya suatu hari.”
Saya pulang dari
Jogja dengan mewek, kapan ya bisa kembali untuk menyekolahkan anak di sekolah
yang sebagus ini. Meski sebenarnya dalam hati kecil ini teringat terus bahwa pendidikan
pertama terbaik bagi anak harus dimulai dari keluarga. Juga pendapat
beberapa guru yang mengatakan bahwa sebenarnya Ken sudah bisa bicara, tapi
anaknya enggan. Jika memang demikian, berarti seharusnya bisa saya kejar disini
(dekat rumah).
Suami keberatan
jika kami semua berjauhan, meski juga ingin anaknya mendapatkan yang terbaik,
one stop aja, ya terapi ya sekolah.
“Kalau hidup
bertiga (saya dan dua anak) dengan uang sekian, cukupkah?” tawar suami, memberikan
sebuah angka untuk bertahan hidup selama di sana.
Beberapa hari
tinggal di Jogja, saya sudah mulai memperkirakan bahwa biaya hidup bisa
diakali, sedangkan transportasi harga pasti. Biaya hidup dan uang sekolah, ok
lah. Lalu bagaimana degnan transport, kunjungan, rekreasi untuk anak-anak, dan
beberapa kebutuhan mendesak lainnya, di sebuah tempat yang benar-benar baru
bagi kami semua.
Dasar saya
tukang nekat, hehe, “Coba aja dulu,”
Suami tetap menyarankan,
“Yuk kita cari yang di sini dulu, di sana kan jauh…”
Saya menuruti
kemauan beliau untuk mencari sekolah lain di wilayah kami. Sekolah pertama di
tengah kota,
saya hanya ditemui adminnya, tak diperkenalkan dengan guru dan sistem
sekolahnya. Sekolah kedua, yang hampir mendekati sekolah di Jogja, tapi
hampirnya masih jauh, alias saya memaksa daripada harus jauh. Keduanya
menggunakan bahasa isyarat sebagai pengantar, dan sebenarnya saya sudah kecewa
dari awal.
Ketika saya
melihat seorang murid bisa berbicara dengan suara sengaunya, bu
guru sudah mematahkan duluan bahwa kemampuan bicara tergantung sisa
pendengaran.
“Anak tadi bisa
bicara ya, bu?” tanya saya.
“Itu karena
masih banyak sisa pendengarannya,” beliau menanggapi saya secepat kilat, hehe,
seolah takut jika saya berharap terlalu banyak.
Padahal belum
tentu. Jika anaknya cerdas, dengan gangguan pendengaran tingkat parah dia masih
bisa bekerja dengan mengandalkan alat bantu, mata, atau yang lain. Ken masuk yang
parah, tapi ga tau kemampuannya masuk yang mana.
Belum lagi
ketika beliau terlihat jengah dengan Ken yang banyak umek, dan mengatakannya
sebagai ADHD. Hiyaaa..
“Lho saya udah
beberapa kali ke psikolog dan ini bukan ADHD” protes saya.
“Ah kebanyakan
teori.” katanya sinis.
Hahaha, ndagel
guru ini, kuat teorinya siapa, yang observasi selama beberapa jam dalam beberapa
kali pertemuan, atau beliau ini yang baru ketemu beberapa menit dan langsung
memberikan diagnosa handalnya. dan langsung nuduh aja.
“Tuh lihat,”
tambahnya lagi dengan bahagia merasa dia benar.
Lha kok ndilalah
si Ken, seperti membenarkan tuduhan. Dia pukul-pukul meja dengan antusiasnya
dan tak mau melakukan kontak mata sama sekali. Sandiwara apa lagi ini, nak? Mungkin
saja dia merasa tak nyaman. Biasanya, di tempat baru dia lebih suka observasi
ke sana kemari
daripada pukul-pukul meja.
Demi sebuah
percobaan sekolah, terpaksa, Ken sekolah di situ. You know what, rasanya abis
dari sekolah bagus lalu ke sekolah standar itu, hmmm. Belum lagi gurunya yang
super acuh dan beberapa kali menggunakan unsur kekerasan yang diperhalus.
Karena murid baru, ibunya diperkenankan ikut kelas dan saya tahu sendiri
bagaimana kasar dan acuhnya.
“Kok muridnya
dijewer, pak?” tanya saya hati-hati. Meski agak maklum untuk menarik perhatian
mereka yang masih main dan susah memperhatikan. Beliau lalu menjelaskan serangkaian
alasan yang berhubungan dengan akupuntur. Ooo, saya tak paham, tapi saya sudah
mulai ancang-ancang angkat kaki, hihihi…
Mewek lagi, gagal
lagi. Oalah
nak, susah amat ya sekolah yang aman dan nyaman bagi muridnya, di mana murid,
guru, orang tua, dan semua petugas sekolah bersinergi demi kegiatan belajar
mengajar yang baik. Atau kurang banyak mencari ya, demi mengingat orang tua anak autis yang mencoba hingga 26 sekolah demi anaknya...
Ada satu hal yang saya lupa, mood anak.
Ini
adalah sekolah ketiga yang saya cobakan padanya. Sekolah pertama mogok
berkali-kali, sekolah kedua di sekolah impian itu yang hanya beberapa hari,
sekolah ketiga dia mogok lagi. Tak mau pakai baju batik seragam hari itu, malah
asik lihat kartun pagi di tv. Berkali-kali dirayu tak mempan, kali ini dia tidak tantrum seperti dulu. Dia melancarkan rayuan dengan membelai dan menciumi saya seolah mengatakan bahwa dia tak mau sekolah,
lalu membuang baju batik yang harus dipakainya.
Jika saya
sekolahkan di Jogja, mungkin dia akan lebih bahagia, meski masih ada
kemungkinan dia tak mau sekolah atau mogok.
Bingung.
Namun begitu melihat
kakak dan adiknya berebut pelukan dan gendongan ketika ayahnya pulang kerja, saya rasa
saya tak bisa memisahkan mereka begitu saja. Ada saat nanti mereka besar dan tak mau lagi
bersentuhan dengan ayahnya. Masa itu yang tak akan tergantikan. Toh, pendidikan
di sekolah juga bukan satu-satunya jalan menuju terdidik.
Seperti pesan
seorang teman, yang berkali-kali memastikan agar saya legowo dengan semua
keputusan,
“Anggap saja
sekolah singkat di Jogja sebagai pengalaman. Jangan disesali”
Sementara ada
teman yang menunggu, menyiapkan sebuah ajakan menggiurkan tentang sebuah karir.
Saya uda melambung, dan saya kembali memastikan dalam hati, yang sebenarnya
butuh Jogja itu saya, atau anak saya? Begitu pentingnya kah sekolah yang dini,
demi menggantikan waktu berkualitas bersama orang tua lengkap mereka dalam
durasi yang tak berulang?
Jalan menuju "normal" itu tak sama. Jika memang fasenya lebih lambat atau bahkan berbeda dengan pada umumnya? Teringat nyanyian Dory dalam film Finding Nemo yang selalu think positive, "just keep swimming, just keep swimming,..." Buat saya, "just keep trying, just keep trying..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar