Kamis, 24 April 2014

Celoteh Uma

posisi foto konvensional, pegang pipi, say "cheese"

‘Huaaaa, huaaa, dipukul kakak” tangis Uma, lapor kepada saya yang lagi mencuci piring.
Well, sibling fight is a common thing. It sometimes makes you wanna go out of the house.
Saya menghela napas panjang, itu sudah yang kesekian kalinya, dan cerdiknya kakak yang selalu mengambil kesempatan ketika saya lengah atau tak ada bersama mereka. Oh, anak lelaki…
“Kakak itu selalu ya… sudah, besok kita taruh kakak di asrama ya, biar ga nakal lagi,” tukas saya (pura-pura) geram.
Uma menghentikan tangisnya.
“Jangan,”
“Kenapa?”
“Kakak ga boleh pergi, Ayah enggak, Bunda enggak, Uma enggak,” katanya memastikan semua anggota keluarga kami tetap berada dalam satu kesatuan.
“Biar Uma ga dipukuli terus” kata saya menantang daya tahannya.
Emak yang aneh, jangan ditiru.
Dia tetap bersikukuh, menggelengkan kepala, belum sanggup memberikan jawaban yang jelas.
“Semua di rumah ini,” katanya kembali menegaskan tanpa alasan.

+++

Suatu ketika Ken bikin ulah, minum teh, lalu menyemburkannya ke sebagian besar teras, bikin licin, begitu sudah kering bikin lantai pliket. Saya ngomel dengan panjang kali lebar kali tinggi, seraya membuatkan susu untuk mereka. Uma sedang syahdu menikmati susunya di meja makan.
“Bunda bahagia?” tanyanya tiba-tiba.
Saya merasa aneh, menjawab pertanyaannya masih dalam nada marah,
“Ya bahagia, tapi kalo kakak bikin marah gini bla bla bla…”
“Bunda bahagia?” dia sepertinya tak peduli dengan penjelasan panjang saya. Ya iya lah kan emang belum bisa menangkap jawaban panjang.
“Ya bahagia,” terpaksa saya jawab demikinan karena saya tak mau melanjutkan amarah negatif dan berusaha konsisten dengan ajaran saya sebelumnya bahwa saya bahagia memiliki mereka berdua.
Uma tersenyum,”Uma juga bahagia.”

+++

Dua lelaki dan dua ego yang harus dibagi, entah bagaimana dan terkadang saya hanya bisa marah tak jelas. Hahaha, kerjaan yang wanita banget, ngomel melulu. Meski kalo kepanjangan saya juga risih. Gimana ga risi, yang diomelin cuek aja, lempeng aja..
“Bla bla bla…” omel saya seraya memberesi baju yang baru disetrika, sementara mereka sibuk bermain di ruang tengah. Sedikit membanting pintu hingga Uma datang.
“Bunda marah ke Ayah?”
“Ya.”
“Bunda marah ke kakak?”
“Ya.”
Lalu saya melanjutkan lagi omelan ke sana sini.
“Bunda, maafkan ke ayah ya” katanya dengan struktur bahasa yang kacau.
“Buat apa? Bla bla bla…” kata saya emosi.
“Bunda maafkan ke ayah ya,” katanya lagi memohon.
Saya tak sanggup meneruskan marah, rasanya bukan saya lagi yang harus memberinya pelajaran tapi dia yang sedang memberi pelajaran pada saya.

+++

“Bunda kuperiksa ya,” katanya seraya bergaya memasangkan stetoskop berupa tali yang bentuknya sama, ke badan saya.
“Bunda sakit apa ya?” tanya saya penasaran.
“Sakit hati,” saya terbahak, hampir saja setrika lepas dari pegangan karena tak kuat menahan tawa.
“Nih obatnya, diminum ya,” katanya seraya menyerahkan botol mainannya yang berwarna merah muda.
“Cepat sembuh ya,”   

+++
tuh kan, di mana pun, kamera siap, cheese...

Belakangan dia sering memaksa saya untuk mendongeng, berkali-kali dalam sehari, lalu mengatakan dengan sedikit mengeluh,
“Aku lho belum bisa cerita seperti mbak Risa.”
“Ya nanti pasti bisa, kan memang mbak Risa lebih besar,” hibur saya.
Risa yang lebih tua setahun, memang memiliki kemampuan belajar lebih, sudah bisa baca dan sedikit menulis. Saya sih lempeng aja, cuek aja, waktu si ibu membanggakannya.  
Saya tak terlalu menuntut dan memaksa anak-anak harus bisa apa. Bikin gambar aja masih kacau, bicara masih sering belepotan, emosi masih naik turun semaunya sendiri, mau dituntut apa coba. Uma sendiri yang seringkali merasa harus lebih dewasa dengan mengatakan dia tak bisa ini dan itu.
“Aku belum bisa kayak Bunda,” keluhnya ketika melihat saya bersiul. Padahal ya sekedar bersiul, bukan berbentuk nada lagu.
“Bunda dulu waktu seusia Uma juga belum bisa bersiul, uda tua baru bisa. Uma mau tua duluan?”
Dia menggeleng sambil tersenyum.
 “Nanti aku pasti bisa ya, bunda” katanya menyemangati dirinya sendiri.
“Tentu saja”

+++

“Uma kalau besar pengen jadi apa?”
Dia belum tahu konsep pekerjaan. Hanya tahu ayah ke kantor tapi sepertinya tak ingin seperti ayahnya yang selalu ditanyakan kapan pulang dan sering pulang malam.
“Jadi dokter?”
Dia menggeleng.
“Kerja di kantor kayak ayah?”
Dia menggeleng lagi.
“Jadi penulis?”
Matanya berbinar lalu menggangguk,”Ya kayak bunda”
Emaknya ge er, padahal buku antologi melulu dan ceriwis ngisi blog.
Di waktu lain saya akan mengulang pertanyaan itu, dia memiliki jawaban yang mencengangkan,
“Mau jadi Uma”
Hahaha, ternyata dia jauh lebih pe de daripada orang tua yang sibuk memikirkan jadi siapa ya kalo kita reinkarnasi nanti, harus lebih baik, harus begini, harus begitu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar