Jumat, 21 Maret 2014

The Ababils

"Aku akan bunuh diri jika cintaku ditolak Evita..."
Isi status bbm seorang abege, yang segera ditindaklanjuti oleh orangtua si Evita (bukan nama sebenarnya), kejadian selanjutnya sudah pasti, unfriend.


Seorang murid, yang ternyata tantenya kenal dengan saya (whadda a small world), memasuki fase yang sama. Suatu hari si Rani, sebut saja demikian (kalo pake Bunga uda banyak ya...), pasang status galau di fesbuk. Hanya karena salah komen, semua anggota keluarganya, antara lain tante sampe mamanya sendiri menerima pemblokiran.
"Aduuh bu, kerjaannya pacaran melulu..."
Saya terbahak seraya mengingat bahwa Rani ini, sewaktu saya masih menjalani guru kursusnya sekitar 6 tahun lalu, termasuk most wanted dengan gaya acuh dan metal yang bikin para pria kecil penasaran.
"Segera berteman lagi ya, bu" saran saya, mengingat banyak berita kejahatan yang bermula dari hubungan maya.

Sementara di dalam kelas sendiri, saya sering "dibantai" para abege. Saya udah mengajar sejak kuliah, sehingga wajah lugu tur ndeso ini bisa jadi bulan-bulanan mereka. Mulai dikatakan muka mirip setan, celometan tanpa henti, hingga dicuekin sepanjang jam pelajaran. Rasanya pengen lari dari kenyataan, tapi bisanya lari ke kantor dan mengadu, hehe... Tampang galak yang biasanya jadi andalan, ga mempan sama sekali. Seorang guru senior menengahi dan mereka berinisiatif untuk meminta maaf.

Cerita soal abege selalu hampir sama, selalu berani melakukan apapun dan sama sekali tak paham soal resio dan konsekuensi. Padahal begitu uda gedean, mau kuliah, mereka terlihat malu-malu ketemu saya. Syukurlah, meski mangkel, ga dendam, didn't leave a scar, jadi ya hubungan baik-baik aja. Ada yang unfriend, tapi ya di dunia nyata tetep berteman.
Sebelum punya anak, saya hampir  ga kepikiran bahwa penanganan utama dari semua persoalan itu ya pendampingan orang tua. Anak-anak bemasalah yang ga segera selesai itu, ternyata diawali dari orang tua yang abai.

Kembali pada si Evita (12), yang ditaksir belasan anak lelaki, antara lain dengan menerima sms dan bbm dengan jumlah tak terhingga, mendapati nama lengkapnya dipahat di bangku kelas, ditulis dibuku dengan banyak lambang cinta, hingga ditunggu di perempatan setelah belokan kedua perumahan dari arah utara (aiiih, navigasi apa ini). Well, men are born for challenges. Si ibu panik, tapi dengan anggunnya, beliau interogasi anaknya,
"Siapa aja nih, yang naksir kamu?"
"Banyak ma, ada 15an, sering kirim sms cinta, tapi kucuekin."
Lucunya, beberapa di antara para pejantan ini ada yang mantan tetangga, bahkan anak dari teman ibunya sendiri. Para emak jadi kelimpungan dan sekaligus sungkan. Tapi baguslah, masih ada komunikasi satu sama lain. Uniknya lagi, ayah si Evita sempat tak sepaham dengan ibunya, yang dianggap malah mengijinkan si Evita untuk pacaran.
"Lho bukannya punya anak abege, kita harus jadi teman. Gimana kalo dia lari mengadu kepada orang lain karena merasa ga nyaman dengan orang tuanya."  
Evita ini memang cantik dan enggak genit, rajin mengaji, suka menabung, dan lumayan penurut. Si ibu bahkan terpaksa melarang anaknya mengaji karena seperti mendatangi sarang penyamun. Para pejantan ini bukannya setor bacaan ayat, malah bergerombol menunggu Evita datang.
Waktu saya tanya gimana prosesnya, saya amazed. Ada semacam komitmen antara Evita dan ibunya, seperti mengingatkan apa sih cita-citamu, mau sekolah apa, gimana, dan sebagainya. Tahap pertama dari komitmen itu adalah tak ada bbm, gadget hanya boleh semingu sekali, kalo butuh apa-apa pake hape ibunya.
"Semudah itu?"
"Ya enggak, bu. Awalnya ga mudah, dia sempat menangis sedih, tapi karena ada komit dari awal, prosesnya dia sadari, ya dia manut."
Biasanya saya yang membusa tentang teori ini dan itu, tapi beliau malah memenangkan keadaan dengan kondisi minim teori. Para ibu (orang tua) yang terjun menangani anaknya seperti mendapat titisan ilmu tersendiri, sebagai ejawantah dari kasih sayang ibu yang tulus kepada anaknya.

Abege itu proses menuju dewasa, karena proses, ya masih kacau balau. Mengutip cerita dari orang tua yang sekarang udah jadi kakek nenek, bahwa mereka (orang tua) tak pernah melewatkan pendampingan kepada anaknya hingga mereka benar-benar harus lepas semisal kuliah di luar kota, di usia yang agak matang untuk menentukan pilihan dengan berbekal pendampingan di tahun-tahun sebelumnya.

Masih sinau teruuus jadi ortu, peluang gagal selalu ada, meski tetap harus ingat bahwa kasih sayang dan perhatian orang tua adalah biaya termahal sekaligus termulia yang selalu bisa disediakan.

gambar dari nyunyu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar