Ide adalah
anak-anak.
Saya menyebutnya
sebagai anak-anak, karena semua ide pada dasarnya masih dalam bentuk bayi yang
telanjang, suka menangis, rewel, yang harus dirawat, dimandikan, disusui,
diberi makan, diberi pakaian yang layak, dididik dengan perilaku yang baik, sehingga
ketika orang melihat atau bergaul dengan mereka, akan nampak kualitasnya.
Sejatinya, ide
itu ada dalam diri kita sendiri yang membutuhkan stimulan dalam bentuk yang
berbeda-beda.
Beberapa penulis
(maaf jika termasuk anda yang membacanya), sempat mengatakan bahwa mereka
merekrut teman untuk menjadi rekan penulis bukan untuk mencuri idenya, “Saya
sendiri tak kehabisan ide kok,” tegasnya.
Awalnya saya
merasa itu sebagai jumawa, sombong, tapi lambat laun saya mengakui benar
adanya.
Semua yang kita
jalani dengan ikhlas selalu diawali dengan cinta. Jika tidak , maka susah untuk
membuatnya on the track, tetap berjalan, konsisten, meski mengalami kejenuhan.
Jenuh itu manusiawi, dan cinta akan membuatnya kembali.
Dari cinta dan
ikhlas itulah kemudian timbul kepekaan, kepekaan yang akan menangkap dengan
mudah apa yang dibutuhkan cintanya.
Menulis adalah
proses pembelajaran tanpa henti. Tanpa disadari, saya sering merasa tertampar
oleh tulisan saya sendiri, saya juga sering menghasilkan beberapa artikel hanya
dari sebuah ide yang saya lantunkan begitu saja di atas keyboard laptop. Well,
ok, saya memang amatir, sangat amatir, but that’s the way I deal with my
passion. Menulis tanpa henti, sehingga ide akan terus datang dengan sendirinya.
Karena itu saya
tak heran ketika beberapa penulis mengatakan bahwa mereka tak akan kehabisan
ide. Menulis itu sendiri juga melatih kepekaan, mendapatkan bahan tulisan bisa
dimana saja dan kapan saja, karena masing-masing penulis telah membesarkan dirinya
dengan terus berlatih menulis apapun (yang menarik baginya), di manapun, dan
kapanpun.
Perbedaan
mendasar tentang penggunaannya adalah akhlak.
Penulis yang
menghargai profesinya akan menyebut siapa dan dari mana sumbernya, meskipun
bukan orang terkenal sekalipun. Penulis ini tidak akan mengklaim hasil karya
yang bukan dihasilkan dari buah pemikirannya. Menulis itu bekerja dengan hati,
entah bagaimana rasanya jika menuliskan sesuatu yang bukan kita lahirkan dari
diri kita sendiri.
Jam terbang
tinggi pun bukan patokan kebaikan akhlak.
Seorang dosen
sebuah perguruan tinggi yang akan meraih gelar professor, ternyata menjiplak
karya orang lain sebagai bahan tulisannya.
Ada juga kok yang bersusah
payah mengirimkan karyanya, ditolak, ternyata terbit dengan nama penulis lain.
Ada juga penulis yang banyak karyanya adalah
jiplakan dari penulis lain dan merasa bangga, bahkan sangat marah ketika
dituduh menjiplak.
Maswaditya mengatakan,
dalam bukunya Sila Keenam: Kreatif Sampai Mati, bahwa tak ada ide yang
benar-benar orisinil di dunia ini. Semuanya selalu terinspirasi dari yang
sebelumnya. Meskipun demikian, itu tetap bukan merupakan surat
ijin untuk menjiplak kan.
Seperti halnya
anak-anak, di tangan orang tua yang berbeda akan tumbuh menjadi anak yang
berbeda.
Menulis dengan
menuliskan sumber adalah menghargai diri sendiri, karena pada akhirnya nanti
kita akan diperlakukan sama. Jika tidak, ya sudah, kehormatan akhlaknya hanya
sampai sebatas itu, ga lebih.
“Ah, idemu kan biasa aja, ga pernah
dicuri”.
Hahaha, siapa
bilang? Sering kok, dan saya juga sakit hati. Tapi berhubung saya pelupa, so
let it go lah. Sapa tau saya lupa naruhnya dimana hingga bisa diambil
sembarangan.
Ada kok yang langsung maen
ambil lalu ditambah dan kurangi sesuai dengan keinginan dia, tanpa mencantumkan
nama saya. Sebel sih, tapi sudahlah itu derajat kedalaman akhlaknya. Saya kira
cukup sebanding.
Tentu sebagai
pemilik utama sebuah karya, tetap harus diusahakan untuk mendapatkan haknya kembali.
Jika gagal, paling tidak kita sudah berusaha sehingga tak akan penasaran akan
hasilnya. Seperti kisah Hazmi Srondol dengan Indomienya.
Ketidaklancaran
keinginan adalah sebuah detoks antara ambisi dengan takdir.
Bukan berarti
kita menyerah pada takdir, tapi bahwa semuanya tak selalu bisa kita jangkau.
Bekerja keras tentu, tapi juga harus cerdas. Jika konsisten pada sebuah masalah
dengan abai pada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, berapa banyak
kesempatan yang sudah terbuang sia-sia?
Semua orang memiliki
“hakim” nya masing-masing kok, ada yang mendengarkan dan ada yang abai. Yang
mendengarkan ya akan berperilaku pantas sebagaimana dia ingin diperlakukan.
Yang abai, ya nunggu waktu untuk sadar atau bahkan menunggu campur tangan orang
lain demi membuatnya paham.
Ada yang bilang, jujur
ajur. Ada yang
bilang, jujur mujur.
Terserah mau dilihat
dari sudut pandang mana. Selalu ada yang menginginkan instant dan serba cepat,
bisa kok, tapi nilainya dimana? Padahal hasil bukan menjadi tujuan utama yang membuat
kita kaya akan ilmu dan pengalaman. Justru proses menuju pencapaian hasil
itulah yang membuat kita jadi jauh lebih kaya dan berpengalaman daripada mereka
yang mendapatkan hasil secara instant.
Awal menulis
memang susah karena ada tuntutan pribadi harus begini dan begitu. Ikut lomba
harus dapat ini dan itu kalo tidak ya malu. Tapi lama-lama sejalan dengan
seringnya menulis dengan gaya
apapun, perasaan itu hilang dengan sendirinya. Bodo amat mau dibilang jelek
atau bagus, penulis sudah “mati” ketika karyanya dibaca orang. Jangan pernah
berusaha menyamakan persepsi, karena kita akan terus gagal ketika berusaha
untuk merangkul semua persepsi dan berharap memberikan jempolnya. Selalu ada
uda sisi mata uang, pro dan kontra.
gambar dari www.publital.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar