Kamis, 20 Maret 2014

MENCURI IDE? HMM…




Ide adalah anak-anak.

Saya menyebutnya sebagai anak-anak, karena semua ide pada dasarnya masih dalam bentuk bayi yang telanjang, suka menangis, rewel, yang harus dirawat, dimandikan, disusui, diberi makan, diberi pakaian yang layak, dididik dengan perilaku yang baik, sehingga ketika orang melihat atau bergaul dengan mereka, akan nampak kualitasnya.

Sejatinya, ide itu ada dalam diri kita sendiri yang membutuhkan stimulan dalam bentuk yang berbeda-beda.
Beberapa penulis (maaf jika termasuk anda yang membacanya), sempat mengatakan bahwa mereka merekrut teman untuk menjadi rekan penulis bukan untuk mencuri idenya, “Saya sendiri tak kehabisan ide kok,” tegasnya.
Awalnya saya merasa itu sebagai jumawa, sombong, tapi lambat laun saya mengakui benar adanya.

Semua yang kita jalani dengan ikhlas selalu diawali dengan cinta. Jika tidak , maka susah untuk membuatnya on the track, tetap berjalan, konsisten, meski mengalami kejenuhan. Jenuh itu manusiawi, dan cinta akan membuatnya kembali.
Dari cinta dan ikhlas itulah kemudian timbul kepekaan, kepekaan yang akan menangkap dengan mudah apa yang dibutuhkan cintanya.

Menulis adalah proses pembelajaran tanpa henti. Tanpa disadari, saya sering merasa tertampar oleh tulisan saya sendiri, saya juga sering menghasilkan beberapa artikel hanya dari sebuah ide yang saya lantunkan begitu saja di atas keyboard laptop. Well, ok, saya memang amatir, sangat amatir, but that’s the way I deal with my passion. Menulis tanpa henti, sehingga ide akan terus datang dengan sendirinya.

Karena itu saya tak heran ketika beberapa penulis mengatakan bahwa mereka tak akan kehabisan ide. Menulis itu sendiri juga melatih kepekaan, mendapatkan bahan tulisan bisa dimana saja dan kapan saja, karena masing-masing penulis telah membesarkan dirinya dengan terus berlatih menulis apapun (yang menarik baginya), di manapun, dan kapanpun.

Perbedaan mendasar tentang penggunaannya adalah akhlak.

Penulis yang menghargai profesinya akan menyebut siapa dan dari mana sumbernya, meskipun bukan orang terkenal sekalipun. Penulis ini tidak akan mengklaim hasil karya yang bukan dihasilkan dari buah pemikirannya. Menulis itu bekerja dengan hati, entah bagaimana rasanya jika menuliskan sesuatu yang bukan kita lahirkan dari diri kita sendiri.

Jam terbang tinggi pun bukan patokan kebaikan akhlak.
Seorang dosen sebuah perguruan tinggi yang akan meraih gelar professor, ternyata menjiplak karya orang lain sebagai bahan tulisannya.   
Ada juga kok yang bersusah payah mengirimkan karyanya, ditolak, ternyata terbit dengan nama penulis lain.
Ada juga penulis yang banyak karyanya adalah jiplakan dari penulis lain dan merasa bangga, bahkan sangat marah ketika dituduh menjiplak.

Maswaditya mengatakan, dalam bukunya Sila Keenam: Kreatif Sampai Mati, bahwa tak ada ide yang benar-benar orisinil di dunia ini. Semuanya selalu terinspirasi dari yang sebelumnya. Meskipun demikian, itu tetap bukan merupakan surat ijin untuk menjiplak kan.

Seperti halnya anak-anak, di tangan orang tua yang berbeda akan tumbuh menjadi anak yang berbeda.
Menulis dengan menuliskan sumber adalah menghargai diri sendiri, karena pada akhirnya nanti kita akan diperlakukan sama. Jika tidak, ya sudah, kehormatan akhlaknya hanya sampai sebatas itu, ga lebih.

“Ah, idemu kan biasa aja, ga pernah dicuri”.
Hahaha, siapa bilang? Sering kok, dan saya juga sakit hati. Tapi berhubung saya pelupa, so let it go lah. Sapa tau saya lupa naruhnya dimana hingga bisa diambil sembarangan.  
Ada kok yang langsung maen ambil lalu ditambah dan kurangi sesuai dengan keinginan dia, tanpa mencantumkan nama saya. Sebel sih, tapi sudahlah itu derajat kedalaman akhlaknya. Saya kira cukup sebanding.

Tentu sebagai pemilik utama sebuah karya, tetap harus diusahakan untuk mendapatkan haknya kembali. Jika gagal, paling tidak kita sudah berusaha sehingga tak akan penasaran akan hasilnya. Seperti kisah Hazmi Srondol dengan Indomienya.

Ketidaklancaran keinginan adalah sebuah detoks antara ambisi dengan takdir.

Bukan berarti kita menyerah pada takdir, tapi bahwa semuanya tak selalu bisa kita jangkau. Bekerja keras tentu, tapi juga harus cerdas. Jika konsisten pada sebuah masalah dengan abai pada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, berapa banyak kesempatan yang sudah terbuang sia-sia?

Semua orang memiliki “hakim” nya masing-masing kok, ada yang mendengarkan dan ada yang abai. Yang mendengarkan ya akan berperilaku pantas sebagaimana dia ingin diperlakukan. Yang abai, ya nunggu waktu untuk sadar atau bahkan menunggu campur tangan orang lain demi membuatnya paham.

Ada yang bilang, jujur ajur. Ada yang bilang, jujur mujur.
Terserah mau dilihat dari sudut pandang mana. Selalu ada yang menginginkan instant dan serba cepat, bisa kok, tapi nilainya dimana? Padahal hasil bukan menjadi tujuan utama yang membuat kita kaya akan ilmu dan pengalaman. Justru proses menuju pencapaian hasil itulah yang membuat kita jadi jauh lebih kaya dan berpengalaman daripada mereka yang mendapatkan hasil secara instant.

Awal menulis memang susah karena ada tuntutan pribadi harus begini dan begitu. Ikut lomba harus dapat ini dan itu kalo tidak ya malu. Tapi lama-lama sejalan dengan seringnya menulis dengan gaya apapun, perasaan itu hilang dengan sendirinya. Bodo amat mau dibilang jelek atau bagus, penulis sudah “mati” ketika karyanya dibaca orang. Jangan pernah berusaha menyamakan persepsi, karena kita akan terus gagal ketika berusaha untuk merangkul semua persepsi dan berharap memberikan jempolnya. Selalu ada uda sisi mata uang, pro dan kontra.

gambar dari www.publital.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar