Hai teman-teman ☺
Terima kasih menyempatkan berkunjung ke blog ini. Blog ini akan segera deaktif, jika semua blogpost sudah terpindahkan ke blog yang aktif sekarang.
Jika berkenan, silakan kunjungi dan drop komen di tuwuhingati.wordpress.com
Salam,
Esthy Wika
my Pensieve
Rabu, 24 Januari 2018
Sabtu, 25 Oktober 2014
Ibu-ibu, Bekerjalah
Akhir bulan lalu, genap lima tahun perjalanan saya menjadi seorang
ibu, sekaligus lima tahun usia anak sulung saya. Ah, masih
sama-sama unyu dalam hal pengalaman, masih banyak belajar memahami satu sama lain.
Waktu “usia”
saya masih setahun pertama, saya oon banget sebagai ibu. Berangkat kerja, mewek di hari-hari pertama lalu biasa aja. Tak pengen perlakuan yang terlalu istimewa untuk Ken, toh dia belum paham (menurut saya waktu itu).
Waktu dia dititipin ke nenek-neneknya atau bersama asisten, saya juga lempeng aja, tak terlalu pusing mau pakai parenting style manapun. Bahkan, naluri suami saya tumbuh lebih awal daripada saya. Dia yang sering bangun malam hari, karena saya pulas minta ampun. Kecapean sih, kerja pulang malam terus *alasan*. Dia juga yang marah-marah, kalau saya tinggalin anak mainan sendiri, lalu saya nonton kartun. Hihihi..
Drama
selanjutnya, saya pernah “kalah” sama seorang asisten yang judesnya minta
ampun, mau gendong anak saya aja nggak boleh. Ndilalah, si Ken ini udah usil
sejak bayi, jadi dia juga tak mau sama saya, tapi mau sama ayahnya dan orang lain. Hukuman buat ibunya yang cuek ini kali ya. Hiyaaa, bayangin betapa terlukanya perasaan seorang ibu. Buat
sebagian orang, itu aib, ibu macam apa yang tak dimaui anaknya. Buat ibu-ibu
muda lain, “Biasaaaa bu, ntar juga mau sendiri kok. Namanya juga anak-anak,
masih semaunya sendiri.”
Buat nenek yang
baik hati, ”Udaaah, ga usah dipikir, lihat di tivi, anak hilang yang terpisah
dari orang tuanya selama bertahun-tahun, masih mau kan nyari orang tuanya supaya bisa kumpul
bareng. Ikatan batin antara ibu dan anak itu tak akan tergantikan.”
Beberapa saat kemudian baru sadar, "Ya Allah, aku kan baru lairan beberapa minggu kemarin."
Saya lari terbirit-birit ke rumah. "Awas mbak, jahitannya (operasi). Ngapain lari-lari?"
"Aku lupa anakku sudah dua."
Awal-awal punya anak dua, saya masih pakai asisten. Ngos-ngosan juga mengatur keuangan dari satu penghasilan, dengan mental ibu bekerja yang sebelumnya mau apa aja langsung beli. Meski bukan itu sih masalah utamanya, tapi soal asisten yang masyaallah, ringan tangan sama Ken yang super aktif dan dia juga panjang tangan alias suka mengambil ini dan itu. Akhirnya memberanikan diri tanpa asisten di usia Uma belum genap lima bulan. Cape banget, tapi fun juga, hingga idealisme itu menggelegar *waaa*. Saya pernah pasang biodata di sebuah blog berjamaah, "Ibu rumah tangga yang bangga bla bla bla..." Pokoknya, macam rookies yang sok banget menjalani hari-hari barunya.
Idealis amat, sampai saya berpandangan, betapa teganya para ibu yang meninggalkan bayinya demi bekerja. Jadi waktu keemasan bayimu itu setara dengan gaji bulananmu, begitu?
Jadi tak mau menyusui biar tak rusak buah dadamu, begitu?
Jadi tak mau menyusui, karena kandungan susu formula itu lebih bagus, lebih nyaman dan tak ribet, begitu?
Jadi kerja itu sebagai aktualisasi dirimu, biar tak monoton dalam rumah dan tak kuper, begitu?
Lupa saya, kalau saya sudah melakukan hampir semuanya itu kepada Ken, dan dia langsung "menghukum" saya.
Ibu dari seorang teman, pernah memberikan 'fatwa' kepada anak-anaknya, bahwa semua wanita harus bekerja, tapi setelah anaknya berusia dua tahun. Iya, waktu itu cari kerja masih gampang, tak perlu rebutan kursi seperti hari-hari ini. Ketika anak-anak mulai main sendiri, meski belum sekolah, saya merasakan juga betapa manjurnya 'fatwa' itu. Tiba juga rasa ingin kembali bekerja rutin, meski tak sanggup juga membayangkan bagaimana mengatur hati dan tenaga.
Mindset bekerja
udah terlanjur sebagai kerja kantoran. Padahal kerja itu luas, bahkan tukang
bubur pun naik haji kan. Dalam artian kerja di sector informal pun, jika tekun menghasilkan duit lebih
pahala lebih, fleksibel waktu, dan banyak lagi. Semua itu pilihan masing-masing
dan tiap orang yang memahami bagaimana kemampuannya sendiri. Semua rumah tangga punya
kebutuhannya masing-masing. Masa anda menyuruh orang di rumah jika dia seorang ibu
tunggal dengan anak-anak yang butuh makan dan sekolah.
Kalau suami masih mampu, ya kita juga
mesti mampu menabung yang banyak untuk hari depan kita bersama untuk liburan
dan kebutuhan tersier lain. Kalau suami belum sepenuhnya mampu, ya kita emang harus turun tangan, karena
pasangan itu harus saling mendukung.
Senin, 07 Juli 2014
SeSaMa #3: Agak Paceklik
sumber |
Ramadhan tahun lalu.
Seminggu setelah menerima gaji bulanan dari suami.
Bulan itu kebetulan banyak sekali tagihan yang mesti dilunasi, hingga uang hampir habis dan tersisa tinggal 50 ribu rupiah. Padahal masih butuh sekitar tiga minggu lagi untuk bertahan. Apalagi saat itu ada keponakan yang sedang berkunjung. Beruntung juga sih, sedang bulan puasa, sehingga tak terlalu merasa berdosa ketika saya tak bisa mengajak dia jajan seharian. Dalam beberapa hari ke depan, masih butuh uang transport sekitar 50 ribu untuk ke tempat terapi wicara anak. Lalu kalau habis buat transport, makan apa? Ya Allah, “pandai” banget saya mengatur uang bulan itu ;)
Saya bingung, masa mau minjam, dengan alasan untuk menutupi kebutuhan hidup. Kok merasa belum sebegitunya, ini hanya kebetulan, mencoba optimis, hehehe... Ingat kata Yusuf Mansyur, kalau memiliki kesulitan, Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Sepertinya nasehat itu harus dicoba, bukankah Allah seperti prasangka hambaNya. Saya sengaja tidak bilang siapapun, sambil terus mikir, apakah jika aku terus berdoa akan ada uang jatuh dari langit, atau tiba-tiba orang datang ngasih duit, atau apa ya. Biasanya Allah memberi umpan dan kita menyediakan kail, supaya kita dapat makan rejeki dari dua arah, rejeki itu sendiri dan juga pelajaran berusaha. Tapi, saya punya kail apa yaa...
Sesiang itu saya komat-kamit berdoa kebingungan, mesti ngapain. Sebenarnya masih banyak juga piutang ke pelanggan,tapi sungkan juga nagih karena mereka belum waktunya bayar. Bolak balik saya browsing untuk mencari ide, lalu mengitari isi rumah untuk melihat barang apa yang layak jual. Apakah ini waktunya dagang turun gunung dengan beredar ke rumah-rumah? Tapi nanti bagaimana dengan anak-anak yang masih berlarian kian kemari, dua balita bersama gelendotan barang bakulan?
Coba sih, jual barang-barang itu via online. Bukan ke teman, ke orang lain aja. Saya buka akun di tokobagus, yang sekarang namanya olx. Saya upload beberapa barang yang dulu susah laku, diturunin dikit dari harga biasanya, lumayan kan beda 20-30 ribu, siapa tahu ada yang tertarik.
Beberapa orang mulai sms menanyakan dalam sehari, namun tidak meyakinkan karena mereka minta melihat langsung ketempat. Saya waspada dan mau ketemuan aja di toko tetangga yang letaknya di pinggir jalan raya. Ternyata dia menolak, wah udah indikasi tak beres ini. Saya mulai deg-degan, jangan-jangan menolak rejeki nih. Enggak salah juga kan, hati-hati dengan orang yang belum kita kenal. Lagipula kalau dia berniat baik, mestinya dia bersedia janjian di tempat yang disepakati untuk menindaklanjuti pesanannya. Ternyata tidak.
Esok siang, ada seorang wanita yang tertarik dengan sebuah barang yang harganya beberapa ratus ribu. Glek, saya menelan ludah menahan senang, semoga ini nyata. Setelah deal via sms, dia hanya memastikan barang masih benar-benar bagus. Saya beritahukan cacatnya hanya kardus penyimpanan yang koyak, tapi isinya masih utuh dan bagus. Di hari biasa, jika ada teman transfer, saya percaya aja pasti masuk. Hari itu, karena tak ada cukup uang, saya cek dulu ke atm sebelum mengirim barang kepadanya. Saya berangkat sembari komat-kamit lagi, hehehe, semoga ini nyata. Alhamdulillah, saya hampir tak percaya ketika saldo bertambah, bahkan kelebihan ongkir. Tak tega, bulan puasa pula, saya kembalikan dalam bentuk pulsa.
Sekitar 2-3 hari kemudian, seorang anak kuliah naksir barang seken yang saya pajang dan memborongnya, bahkan meminta saya melengkapi dengan barang yang bisa saya hutang dulu di toko langgganan. Alhamdulillah, padahal baru aja kenal. Mumpung masih ada keponakan di rumah, jadi saya bisa titipkan anak-anak sementara saya ke kantor ekspedisi yang letaknya di pinggir jalan raya.
Setelah uang ada di tangan, legalah saya bercerita kepada semua orang bahwa saya baru saja melewati masa itu. Tak mahir dagang online nih, ribet wira-wirinya dan malas berurusan dengan hape terlalu lama, takut banyak urusan terbengkalai.
“Kalau gitu ayok sekarang traktir aku ke hokben, Te” ajak keponakan dengan lugunya.
Saya mendelik sewot.
“Eh, lu kate duit ni buat seneng-seneng aje. Mau sahur dan buka pake tempe tahu dan air putih?” Keluar deh galak dan pelitnya ;)
Dia tertawa.
Ketika cerita ke teman dekat, dia terenyuh, “Kenapa enggak pinjam aku aja?”
Pengennya sih saya bilang, ini semua karena harusnya kita menggantungkan semua pada Allah. Tapi sungkan ah, ilmu cekak begini.
“Terima kasih ya, tapi kapan-kapan kalau sudah kepepeeet banget. Selama masih berusaha, ya harus diusahakan dulu semaksimal mungkin.”
Dari situ, saya belajar banyak, "transaksi" dengan Allah nampaknya fiktif, tapi selama kita percaya, sebesar itulah yang akan kita terima.
Fa-biayyi alaa'iRabbi kuma tukadzdzi ban
Maka nikmat Tuhankamu manakah yang kamu dustakan.
Sebagai penutup, ketika saya buka akun lagi untuk jual dagangan yang ada, dalam kondisi berlebih, tiba-tiba penjualan seret, padahal harga udah jedug. Sepertinya mesti lebih tekun lagi jika berniat jualan online :)
SeSaMa #2: Ghibah
sumber |
"Great minds discuss ideas. Average minds discuss events. Small minds discuss people.” - Eleanor Roosevelt.
Kalau ketemu teman yang enak diajak ngobrol, apa sih yang kita omongin? Susah kan, kalau gak ngomongin orang, ayo ngaku aja lah. Saking 'enaknya', bahkan ghibah itu diibaratkan memakan daging, tapi bangkai. Puasa yang bermakna juga ditandai dengan 'no ghibah days'. Tapi tak semua membicarakan orang itu buruk. Buruk jika kita membicarakan sesuatu yang tidak dia sukai.
Seorang ibu. Call her, menace of the alley ;)
Sekali anda bertatap muka dengannya dan atau berurusan dengan orang di sekitarnya, tak lama lagi akan segera beredar berita tentang anda kepada orang lain, juga tentang orang lain kepada anda. Nah, bayangkan jika anda hidup di sekitarnya setiap hari, hahaha... Bapak-bapak saja, yang biasanya hampir bebas dari dunia pergosipan, jadi ikutan kuatir jika mereka jadi bahan hari ini, dengan dengan "bumbu penyedap" yang tak akan bisa ditemui di tukang sayur manapun. Astaghfirullah, pahala saya berkurang nggak ya? Kadang saya refleks menjauh jika bertemu, takut diajak ghibah jamaah, dan kebanyakan di antaranya enggak bener, kebanyakan bumbu.
Almarhum mbah kakung dan kakak saya memiliki kebiasaan yang hampir sama, selalu nggelibet kalau orang-orang di sekitarnya sedang khusyu membicarakan orang lain. Apalagi mbah kakung memiliki sepuluh orang anak, yang tujuh di antaranya adalah wanita. Beeuh, bisa dibayangin kan riuhnya. Reaksi yang dilakukan adalah mulai dari dehem-dehem sampai menegur langsung,
"Lha memang kalian dapat menfaat apa dari membicarakan mereka?"
Semua langsung senyap.
Waktu masih sekolah dulu, saya pernah dapat edaran sebuah tabel dosa dan pahala, isinya centang yang sudah kita lakukan hari ini, mulai dari ghibah, sholat wajib dan sunnah, dsb. Saya sempat isi dalam beberapa hari, setelah itu buyar. Ternyata centang saya terlalu banyak, dosanya. Mesti gimana dong?
Ribut-ribut di media sosial, membuat semua orang mempunyai lahan berbayar kuota untuk ghibah jamaah, tentang sesuatu yang kadang belum pasti kebenarannya.
Lalu hukum ghibah yang benar itu gimana?
1. Haram jika berkaitan dengan aib hingga kemudian memunculkan namimah (adu domba). Yang mendengar harus memperingatkan atau mengalihkan. Kalau enggak, ya bersama menanggung dosa.
2. Wajib bila itu bisa menyelamatkan seseorang dari bencana.
3. Boleh bila merasa terdzalimi, meminta pertolongan, untuk memperingatkan, dan juga sebagai pelajaran hidup apabila yang bersangkutan memperlihatkan kefasikan di depan umum, seperti mabuk.
Lebih lengkapnya, silakan baca di sini.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. maka kamu tentu merasa jijik. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat dan Maha penyayang (49:12)
Rasanya, kebiasaan ini lekat banget dengan kodrat wanita, terutama ibu rumah tangga *langsung nutup pintu*. Ketika anak mulai besar dan waktu luang mulai banyak, kemungkinan yang bisa diambil ibu rumah tangga hanya berujung dua, terlalu nyaman dengan rumah atau malah kelewat idealis *nyengir lebaaar*.
Saya sedang berusaha. Diawali dengan cara sepele saja, tak mengungkapkan keburukannya di tulisan media sosial, atau meminta ijin dulu jika mau menuliskannya. Bagaimanapun hubungan di dunia nyata itu jauh lebih berarti daripada hubungan maya. Berusaha empatik aja, mau gak sih misalnya saya dalam posisi dibicarakan tanpa ijin. Pernah sih, mengalami masa-masa, semua-mua dilaporin ke wall, sampai ditegur seorang teman.
"Jangan-jangan urusan kita ini kamu ungkap di wall juga," katanya kuatir. Ouch...
Ternyata banyak juga yang jauh lebih parah, sindir sana sini, bahkan sebut nama langsung, sampai ada yang trauma ga mau bermedsos lagi. Aduh, kasihan banget ya.
Bagaimana menghindarinya?
Temanmu adalah dirimu, jadi mulai pilah-pilih teman yang lebih banyak membicarakan hal positif. Jika kebetulan terlibat dalam area bersama, coba taruh posisi kita pada yang sedang dibicarakan, mau gak sih. Jika berani, coba tebus dosa dengan menemui yang bersangkutan dan meminta maaf telah membicarakannya. Hehehe, do you think it's so silly?
Sebuah kisah.
"Aku baru saja membicarakan sesuatu yang tak menyenangkan orang lain," curhatnya pada orang bijak.
"Belilah sebuah bulu-bulu (kemoceng), lalu buang satu per satu di sepanjang jalan yang tadi kamu lewati," ujar sang bijak.
Beberapa saat kemudian, dia kembali.
"Lalu apalagi?"
"Sekarang punguti semua bulu yang kamu buang tadi."
"Bagaimana mungkin?"
"Begitulah kata-kata, sekali kamu ucapkan, akan susah untuk mengambilnya kembali."
Waaa, kita sudah membicarakan apa dan siapa saja hari ini? Penting untuk kebaikan kita atau tidak? Secara fisik, puasa memang menahan lapar dan haus. Namun jika ada bagian syahwat lain yang tak terkekang, berapa banyak 'tabungan' yang tersisa?
Khilaf adalah nama tengah manusia. Mari saling mengingatkan, semoga puasa kita sempurna hingga akhir Ramadhan. Amin.
Kamis, 03 Juli 2014
SeSaMa #1: Intro
source |
Apa yang menjadi
persiapanmu beberapa bulan lalu, menjelang datangnya Ramadhan?
Saya, nyicil
baju lebaran buat anak-anak, hahaha. Jadinya waktu lebaran udah ga terlalu repot cari baju buat mereka, atau tak perlu meluangkan waktu terlalu banyak. Repotnya sekarang kalau beli baju,
harus berurusan dengan si kecil yang udah mulai tahu urusan emaknya, yang hampir tiap hari nagih kapan baju barunya dipake. Dibilangin buat lebaran, eh dianya maksa buat ngaji harian di masjid. Hehehe, susah juga ya keluar dari mindset bahwa lebaran tak harus dengan baju baru.
Intro yang agak
keren, saya memberanikan diri ikut ODOJ. Saya bilang berani, karena dengan
bacaan yang masih amburadul, pemahaman yang sepatah-sepatah, serta kebelumlihaian membagi waktu dengan baik, ini sebuah langkah
yang nekad. Iyaah nekad. Tapi (ikutan jargon kampanye), jika bukan sekarang kapan lagi? Apalagi untuk bisa ikut pengajian keluar itu susah. Ya susah niatnya, waktunya, dan alasan-alasannya, hehehe... Apa ya kemudian tak boleh ibadah dilakukan di rumah?
"Bacalah oleh kalian Qur'an, karena dia akan datang pada hari kiamat kelak sebagai pemberi syafa'at bagi orang-orang yang rajin membacanya." [HR Muslim 804]
Di awal ikut sangat semangat, lalu mengendur di tengah-tengah. Gimana mau semangat kalau tiap dapat
beberapa ayat, dua titipan yang sedang masa jahil itu, berlarian mengitari emaknya, sambil pukul-pukulan. Syukurlah, as a woman and also a multitasker, dua tangan, mata, serta kaki ini bekerja semaksimal mungkin. Kabar baiknya, ada saat mereka ikutan mengambil bacaan ngajinya sendiri atau menyediakan tangan mungilnya sebagai pena penunjuk bacaan. Saya belum cari hukumnya sih, apakah kondisi seperti ini dibolehkan ketika membaca kitab suci?
Di tengah pro
dan kontra tentang ODOJ, seperti semua debat yang selalu abadi di negara ini
adalah, seberapa banyak sih yang kita tahu tentang sesuatu, hingga berani mendebatnya mati-matian? Mbok ya berbaik sangka pada berusaha kreatif menjalankan ibadah. Hidayah itu mahal bo', yang
paham sampai khatam puluhan kali hingga mengkaji sana-sini, masih bisa lho membelokkan makna ayat hingga semisal, menghalalkan pernikahan
sejenis, naudzubillah. Apalagi, yang ilmunya cekak, kayak awak-awak ini, udaaaah, sinau, sinau, sinau...
Intro inilah yang entah bagaimana caranya bisa bikin mata melek lebih lama. Memang tidur adalah ibadah dan selalu lekat dengan hari-hari panjang di bulan Ramadhan. Tapi bukannya lebih baik lagi jika tidur digantikan dengan aktifitas bermanfaat. Tak hanya bikin mata melek di pagi hari setelah sahur, tapi juga tidur siang tidak terlalu "kesirep". Ah, saya jadi agak paham kenapa ngaji mesti dibanyakin waktu bulan penuh rahmat ini, salah satunya ya anda tidak kebanyakan tidur melebihi waktu delapan jam. Hahaha, "sangat menjelaskan." Tidur itu kan kondisi setengah mati, jadi syukurilah ketika kita bangun masih dalam kondisi lengkap dan selamat. Tidur itu memang ibadah, namun jika dia dibandingkan dengan waktu habis untuk ghibah atau menghitung jam menuju berbuka, hehehe...
Soal bacaan yang amburadul, ada sifat ilmu yang hampir sama satu dan lainnya. Semakin sering akan semakin mahir, semakin memiliki keinginan untuk lebih baik, dengan cara apapun. Mumpung keponakan saya yang lagi mondok libur lama, saya minta diajarin baca yang bener. Saya diketawain melulu, gara-gara "Bukan seperti itu, teee..." Hehehe, usia memang hampir berbanding lurus dengan keras kepala ya.
Intro nasionalnya, yang lagi
in, ghibah capres. Waa, panas banget, sampai bikin pusing karena semua hanya
dipenuhi oleh pembelaan berlebihan pada kandidat jagoan, klarifikasi hoax,
hingga serangan balik kepada kandidat lawan. Puasa sebentar, lalu balik perang lagi. Kapan nih capenya?
Berita soal penutupan Dolly yang masih berjalan maju mundur, yang sudah pasti manfaat dan mudharatnya, hanya menempati trend dalam beberapa hari, selanjutnya balik lagi civil war. Entah apakah ini semua akan berakhir pasca 9 Juli, atau malah lebih keruh. Debat berkepanjangan ini sudah banyak membuat kita kehilangan banyak empati dan simpati, saling hujat dan umpat. Tak
sadarkah kita, bahwa pengeroposan mental kita yang “mereka” serang. Sebenarnya kandidat presiden itu manusia biasa, ada kurang lebihnya. Yang mesti dipilah-pilih, mereka mengusung kepentingan apa bersama orang-orang plural yang berada di belakangnya. Eh, kok jadi belok ke politik gini ya, maap.
Jika mengingat hakekat waktu yang tak kenal kompromi, ada baiknya kita siapkan Ramadhan beberapa bulan sebelumnya. Sah-sah aja kan, membeli baju baru dan menyediakan kue-kue *teteeep*, dengan tujuan agar bulan ini bisa diisi dengan ibadah yang penuh. Lebih baik lagi jika memperbanyak ibadah sebelumnya, supaya mulai terbiasa dan juga mendapat banyak manfaatnya di bulan yang penuh berkah ini.
Sepakat? Salam lima
jari :D
Jumat, 13 Juni 2014
Gratis
tak perlu bayar |
Semalam sebelum
insiden es krim beberapa waktu lalu, suami saya berniat mengajak kami semua ke Taman Bungkul
untuk ikutan menikmati es krim gratis. Hehehe, wajar dong, kan undangan terbuka. Saya juga bersiap
membangunkan mereka pagi-pagi supaya bisa dapat tempat. Setelah berpikir agak
lama,
“Ga jadi deh,
Kang,”
“Kenapa?”
“Anak-anak kan baru sembuh, ntar
kecapean, panas, rame banget,”
“Ya terserah,”
Sebenarnya dalam
hati lebih banyak pertimbangannya. Seperti mikir berapa harga es krim termahal, sanggup ga sih membelinya. Kalaupun dapat gratisan emang kuat
berapa banyak sih. Terpenting dari itu, saya mencoba memenuhi nazar sendiri
untuk anti gratis, anti KW, anti minta oleh-oleh dan traktiran, dan anti
mainstream lainnya. Ingat ya, masih dalam taraf berusaha, kalau melenceng, peace ah ;p
“Biar aja es krimnya bisa buat orang-orang yang belum pernah merasakan enaknya es krim,” kata saya lagi.
“Biar aja es krimnya bisa buat orang-orang yang belum pernah merasakan enaknya es krim,” kata saya lagi.
Bersyukuuur
banget, saya ga ikut jadi bagian pawai perusakan taman. Kemungkinan besar,
melihat kondisi awal, saya akan lebih memilih tempat lain yang bisa
dinikmati bersama anak-anak, daripada sekedar mikir gratisan tapi mesti terlibat dalam keributan dan
kerusuhan.
Seberapa besar
sih hasrat kita akan gratis?
Lumrah, wanita
banget lah. Kadang manut aja diiming-imingi diskonan beli 2 gratis 1. Padahal
setelah dihitung-hitung, eh harganya dinaikkan dulu baru dikasi diskon. Banyak kan yang seperti itu.
Apalagi kalau
urusannya sama dunia perbakulan macam saya ini, mesti tebal telinga mendengarkan
raungan minta gratisan sana-sini, kalo ga ngasi dibilang pelit lah, ga maintain langganan lah, dan sebagainya, hehehe...
Pernah saya cerita
sama ibu kalau saya berhasil ngelakuin dagangannya seorang teman tiap bulan hingga bisa
beberapa juta, lumayan lah untuk emak-emak seperti saya yang hanya
berkeliling beberapa kali dan repot dengan anak-anak.
“Trus kamu
dikasi bonus apa?”
“Oalah mak, itu
aku cari untung sendiri, untung dia ya urusan dia. Kalo dia mau ngasi ya alhamdulillah,
kalo ga ya sudahlah. Duitnya keuntungan itu kan sama dengan gajinya orang kantoran,
bedanya kalau pedagang ya dikumpulin sedikit demi sedikit.”
“Enggak apa,
nanya aja kok,” tukas ibu saya kalem.
Kalau saya kadang masih
suka bikin kuis dan program ini gratis itu, tapi ada nih teman bakul yang
lempeng aja kalo mendapat kicauan dari pelanggannya yang minta gratisan karena sudah bikin barang dagangan dia laku banyak banget.
“Gratis gimana,
untung aja hanya lima
ribu, itupun masih dibayar beberapa kali,”
Kebetulan saya
bukan pedagang asli, alias tak semuanya dihitung dengan cermat, jadi kasi
gratis dan bonus, ya kasi aja, ga pake perhitungan njelimet. Tapi begitu jalan-jalan
ke matahari atau ke mall besar, suka mendelik sewot.
“Aiih, ini yang
segede gaban dengan omzet miliaran rupiah ngasi bonus pelit amat. Kenapa mesti
pedagang pracangan kayak saya gini yang mesti nanggung kicauan orang doyan
gratisan.”
Belum lagi kalo
ke tukang sayur, yang menawar minta ampun sengitnya. Saya sih menawar
seperlunya, ga boleh ya udah, ambil atau tinggalkan. Setidaknya, belanja itu,
lepaskan hasrat dulu untuk memiliki sesuatu. Jika berusaha nawar tak sampai juga, ya
biarin aja dia pergi, toh itu bukan rejeki kita kan.
Urusan duit
seribu dua ribu aja bisa rame kalo ketemu sama ibu rumah tangga. Saya beli kentang di tukang sayur dapat harga 4000 waktu itu. Begitu si pedagang pergi, ibu-ibu
pada ribut, "Harusnya tadi kamu tawar dulu pasti bisa kena 3000..."
Hihihi, saya bukan
ibu rumah tangga sejati kali ya, urusan tawar menawar itu seperlunya aja.
Prinsipnya gini lho, kenapa aja ga sekalian nawar di mall yang harganya
selangit, tetap aja dibeli? Ngasi kekayaan sama cukong kan, nguyahi segoro. Sementara sama pedagang,
ga berlebihan kok, pasti udah tahu bedanya pedagang A dan B, beda tipis, anggep
aja rejekinya. Bahkan kadang karena udah langganan, si tukang sayur suka lupa
saya utang berapa. Untungnya punya beberapa langganan, ambil sembarang, bayar besok atau kapan-kapan, asal sama-sama tahu. Saya agak malas nawar juga, dapet ikan busuk ya
ga bawel. Paling hanya bisa bilang aja ke bakulnya, "Ikannya busuk bos," males
nagih yang baru, males rame. Eh, kok jadi kelihatan saya malas amat ya ;p Masalah tukang sayur itu curang, udaaah, ada "dewan peradilan" sendiri dan
itu bukan saya.
Suatu hari
pernah iseng bertanya pada si tukang sayur langganan
“Sampean itu
lupa melulu, piye kalau aku gak bayar?”
“Ya gak papa
mbak, ada kok yang lebih banyak.”
“Hah?”
“Iya, bisa sampai seratus dua ratus ribu ga dibayar-bayar.”
“Trus dia tetep
belanja aja?”
“Iya.”
“Ga sampean
tagih?”
“Ga, biar aja.”
“Rugi dong?”
“Alhamdulillah
selalu saja ada rejeki, ga sampai rugi."
Hehehe, ga kenal
deh istilah menyumbat rejeki orang, karena memang benar rejeki itu sudah ada
jatahnya masing-masing, dengan cara apapun.
Ternyata bukan
urusan perbakulan saja, urusan penulisan buku pun jadi sasaran untuk cari gratisan.
Eh, saya pernah kayaknya minta gratisan, tapi honestly hanya sebagai basa basi
aja kok, ga dikasi ya cuek aja, namanya usaha, hahaha… Sekarang mikirnya,
mereka (penulis) itu usaha menulis dengan susah payah, melalui proses edit, revisi, dan
sebagainya. Bahkan kadang saya mesti beli buku yang ada nama saya, karena
penulis yang bersangkutan hanya mendapat jatah 3 buku dari penerbit.
Beginilah repotnya ketika pekerjaan mainstream adalah yang terima gaji tiap bulannya, sehingga di luar pekerjaan itu dianggap tidak bekerja, sehingga bisa diperlakukan untuk dimintai gratisan. Padahal keuntungan dari penjualan barang, adalah sebuah bentuk gaji yang diperoleh dengan cara berbeda, jemput bola, jual dan laku.
Seorang teman yang bercita-cita menjadi dokter dan alhamdulillah sekarang menjadi dokter beneran, pernah berusaha "menyadarkan" teman-temannya."Wah asik nih kalau kamu jadi dokter. Aku kan bisa berobat gratis," kata saya gembira banget, waktu itu.
Wajahnya datar, diam sesaat, lalu...
"Bukan aku ga mau ngasi gratisan, tapi kalau aku kasi gratis sama kalian teman-temanku, sama dengan aku mematikan nafkah dokter lain karena kalian semua maunya berobat ke aku, menyalahi kode etik, bla bla bla..."
"Udaaah, bilang aja kamu pelit..." serbu teman yang lain.
Begitu kita sudah sama-sama menjalani profesi masing-masing, saya malah sungkan jika masih menggunakan prinsip lama itu. Berapa sih, harga sebuah hubungan pertemanan? Jika ukurannya gratis ongkos perawatan, murah sekali ya. Semua profesi butuh cari makan juga lho, masalah yang bersangkutan memberikan keringanan, itu urusan dia. Jika memang kita butuh gratis atau keringanan, tentu butuh alasan yang kuat, antara lain dalam kondisi tidak mampu. Jika masih mampu, well, sepertinya kita juga mampu kan memberi "harga" pada diri kita sendiri kaaan...
Gratisan itu mental nina bobo
yang mesti dikikis, mental yang tak mau repot tak mau rugi merasa udah dijajah
selama ratusan tahun jadi harus minta disayang-sayang melulu. C’mon, move on,
dear.
Jadikan gratis
sebagai bonus kejutan, jangan diminta,
Jadi sekali
waktu ada yang ngasi gratis tiba-tiba, rasanya mulia banget, kadang
malah tak pecaya ya, masih ada yang bersedia ngasi gratis dengan begitu
baiknya *lebay*
Minggu, 08 Juni 2014
Easy When You're Not
sesuatu yang belum sempat dijalani ;) |
Beberapa waktu
lalu, sebuah perusahaan implant untuk telinga menelpon saya dan menawarkan
apakah saya berniat menanam plat dengar (implant) untuk anak saya, yang
gangguan dengarnya tergolong parah. Dengan lugas saya menjawab tak ada uang. Jangankan
implant, alat bantu dengar saja kami baru sanggup membeli yang semi digital, lebih murah dan juga berhubungan dengan kondisi anak. Awalnya memang sempat sedih, tapi setelah
mendapat pencerahan dan pengalaman di sana
sini, Insha Allah tak apa. Kecerdasan tak melulu ditentukan oleh alat bantu yang baik, alat hanyalah salah satu penunjang. Alasan gayanya sih, ga tega anak jadi robot karena
harus dipasang plat di dalam rumah siputnya supaya telinganya bisa bekerja
dengan proses hampir mendekati telinga normal. Padahal dengan harga satu plat
kurang lebih seharga rumah di suatu tahun, rasanya mustahil untuk bisa
menyediakan angka sejumlah itu dalam waktu singkat.
Intervensi
implant yang dini memang bisa membuat anak berbicara senormal yang lain, dengan
tingkat kegagalan 25-30%. Kemungkinan gagal antara lain tak adanya stimulant.
Lagipula implant bukan satu-satunya solusi kok, toh tak tak semua anak tuna rungu terlahir dan keluarga yang mampu kan. Sebagai penyemangat, bahwa keterbatasan bukanlah halangan, saya selalu mematrikan dalam benak, kisah Heller Keller dan Thomas Alva Edison.
Tapi kemudian,
bagaimana jika saya memiliki uang cukup banyak yang memungkinkan saya untuk
implant berapa kali pun? Masihkah ada kemungkinan idealis, anak saya tak akan
implant? Terkadang, kekuatiran berbanding lurus dengan jumlah harta benda yang
kita punyai. Karena punya uang, gampang aja pergi ke dokter. Betul, demikian?
Nyaman itu
racun, saudara.
Macaulay
Culkin kecil, keren dan larisnya minta ampun. Begitu besar, eh terkena
pengaruh obat bius, nikah usia muda dan tak bisa lagi mengulang kejayaan masa
kecilnya. Kabarnya, orang tua si Mac imut ini dulu memforsir sehingga dia
kehilangan masa kanak-kanaknya demi pekerjaan. Misalnya saya ada di posisi orang tuanya, bisa nggak ya saya tidak mempekerjakannya. Seperti si Mulan Jameelah yang
mempekerjakan Safeea yang usainya baru tiga tahun. Banyak yang menuduh pasangan ini (Mulan-Dhani) kemaruk, hehehe..
Bobo Ho, yang bernama asli Hao Shaowen, tak berkenan mengulang kejayaan masa kecilnya. Si gundul yang jahilnya minta ampun, yang selalu jadi appetizer yang unik pada semua film yang dibintanginya. Begitu beranjak remaja, dia tak lagi menlanjutkan karirnya yang pernah begitu cemerlang di dunia seni. Dia memilih bekerja di toko es krim demi membiayai kuliahnya. Itu semua atas permintaan orang tuanya dan dia menuruti sebagai bentuk baktinya kepada mereka.
Gampang sekali
untuk mengatakan, hai orang-orang berdermalah. Padahal sewaktu kita punya uang, bisa tidak sih tercapai cita-cita itu. Salut banget yang masih konsisten berhubungan
dengan uang, karena seperti yang banyak dibilang, uang itu banyak “penunggunya”.
Maksudnya, jika anda sudah punya banyak, belum tentu anda ingat akan apa yang
ingin dilakukan, apalagi yang tak berhubungan langsung dengan kesejahteraan kita.
Seperti juga kampanye dan demo, gampang banget utuk menebar janji ketika kita belum benar-benar
berada di dalamnya, belum mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi pemimpin
dengan gelimangan lembaran kemewahan dan berbagai fasilitas yang melenakan
diri. Hehehe, nyambung lagi deh ke capres.
Mensyukuri itu penting.
Berusaha juga tak kalah penting.
Berangan-angan juga tak dilarang, asal jangan berlebihan, dan masih ingat daratan. Jadi?
Langganan:
Postingan (Atom)